tirto.id - Sekujur tubuh Kangga dibungkus kain putih. Ia digendong seorang pria paruh baya yang tergesa-gesa turun dari mobil. Tanpa ada yang memberi aba-aba, pria itu meletakkan Kangga di atas timbangan platform, jenis timbangan yang sering ada di toko grosir beras, lalu pergi mencuci tangan.
Mayat Kangga terdiam lama di atas timbangan itu.
Lima belas menit kemudian, pria paruh baya lain, memakai kaus polo merah muda dan celana bahan hitam, memindahkan jasad Kangga ke sebuah troli, lalu mendorongnya ke ruang kremasi.
Semula saya mengira bara akan dinyalakan hari itu juga. Namun, karena mayat Kangga tiba di sana mendekati pukul 3 sore, kremasi ditunda hingga esok. Di sana ada aturan: berhenti melakukan kremasi setelah jam tiga.
Hari itu, selain Kangga, tak ada yang datang untuk dikremasi. Keesokan harinya, tepat jam 10 pagi, proses kremasi Kangga dimulai.
Pria baya berkaus polo kemarin mulai menyiapkan api di tungku besar. Ia menyiram tubuh Kangga dengan minyak tanah. Meletakkan jasad Kangga, lengkap dengan kain putih yang membungkusnya, di dalam tungku.
Lalu, api menyala nyalang seiring minyak disemburkan dari tabung merah muda berisi 30 liter minyak tanah. Tabung itu tingginya sedada saya. Bisa menampung sampai 60 liter minyak, tapi sengaja dikosongkan separuh agar semburan api lebih kencang.
“Untung yang ini enggak bau, dan dibungkus kain,” kata pria baya berkaus polo, kali ini berwarna biru tua.
Penampilan pria itu selalu rapi: mengenakan kaus polo dimasukkan ke dalam celana. Namanya Tukidjo, dan ia akan berusia 59 tahun pada 4 Maret nanti.
Warga Cilandak, Jakarta Selatan, ini sudah 26 tahun bekerja sebagai petugas kremasi. Sejak 1992, setiap pagi kecuali Sabtu, ia berangkat ke Pondok Pengayom Satwa di Ragunan, Jakarta Selatan, lalu berurusan dengan kangga-kangga lain.
“Ini jenis anjing kampung biasa,” kata Tukidjo soal Kangga. “Paling sejam setengahlah proses kremasinya.”
Karier Langka dan Dedikasi
Sebelum bekerja sebagai petugas kremasi, Tukidjo pernah jadi karyawan toko mebel dan kuli bangunan. “Saya dulu ikut mbangun (gedung) Kementerian Pertanian itu,” katanya, tersenyum. Ia menunjuk arah mata angin menuju arah gedung Kementerian Pertanian, di daerah Ragunan.
Keputusannya melamar ke Pondok Pengayom Satwa semata ingin punya pekerjaan tetap. Ia tak punya latar belakang apa pun yang berkaitan dengan hewan, apalagi jasa penguburan atau kremasi.
Maka, nyaris separuh hidupnya kemudian diabdikan di yayasan yang didirikan Soeprapti ini. Soeprapti adalah istri dari R. Soeprapto, Gubernur DKI Jakarta periode 1945-1982.
“Dulu pertama masuk, paling diajari pakai alatnya. Gimana pasang tabung, masukin minyak...,” cerita Tukidjo. “Sisanya ya belajar sendiri, otodidak.”
Kini, siapa pun yang ingin menguburkan atau mengkremasi binatang peliharaan di Pondok ini akan bertemu Tukidjo. Di divisi itu ia ditemani Wagirin, petugas lain yang hari itu kebetulan tidak jaga. Tugas mereka, menurut Tukidjo, cukup sederhana tapi kadang bisa melelahkan.
“Sehari paling bisa tiga sampai empat kali kremasi,” katanya. Mereka cuma punya satu tungku besar, yang akan dipakai bergantian jika peminat jasa kremasi ramai.
“Semakin berat hewannya, semakin lama prosesnya.”
Itu sebabnya, harga kremasi cukup mahal. Untuk hewan berbobot 5 kilogram ke bawah dikenakan Rp450 ribu. Tiap kenaikan satu kilo, akan ditambahkan Rp35 ribu.
Kangga termasuk proses yang ringan, kata Tukidjo. Beratnya cuma 10 kilogram, dan tidak ada ritual aneh-aneh dari sang pemilik.
“Pernah ada yang melakukan semacam upacara dulu sebelum dikremasi. Semacam didoakan," cerita Tukidjo. "Pernah ada yang tabur-tabur kertas di tungku, tapi nanti minta abunya tidak tercampur abu kertas."
"Kalau yang ini,” Tukidjo menunjuk jasad Kangga yang sudah menghitam di dalam api, “nanti abunya cuma di-Gojek-kan, kalau sudah selesai.”
Tukidjo sangat menyenangi pekerjaannya. Ia tahu tak banyak jasa kremasi hewan di Jakarta. “Bahkan setahu saya cuma di sini aja yang ada,” katanya. Tak banyak karier yang bisa memberikan pengalaman seperti yang didapat Tukidjo.
“Saya pikir, enggak banyak orang yang bisa lihat bagaimana ikatan manusia dan hewan itu bisa kuat banget,” ia tersenyum. “Banyak yang menganggap hewan-hewan ini seperti manusia juga. Bahkan, lebih manusiawi mungkin.”
Perpisahan yang Layak
Tak cuma jasa kremasi, Pondok Pengayom Satwa di Ragunan punya lahan di sebuah pelataran untuk makam satwa.
Tukidjo berkata kurang lebih sudah ada 700 makam di sana. Nisannya berjajar rapat-rapat. Kebanyakan cuma selapis nisan putih, lengkap dengan nama dan catatan petuah sang majikan. Tak sedikit pula nisan yang dipugar keramik dan dibikin mewah.
Biaya pemakaman hewan di Pondok antara Rp300 ribu sampai Rp700 ribu, tergantung ukuran hewan. Ada juga retribusi perpanjangan Rp75 ribu per tahun.
Namun, jumlah makam yang diperpanjang tiap tahun memang tak banyak. “Paling banyak itu ya memang cuma setahun. Terus mungkin lupa,” kata Tukidjo.
Menurutnya, para pemilik hewan ini memang cuma membutuhkan perpisahan yang layak. “Mereka terlalu sayang dengan peliharaannya yang sudah dianggap kawan, keluarga sendiri. Jadi, butuh perpisahan yang layak juga, supaya sedihnya tersalurkan.”
Saya melihat nisan-nisan hewan itu. Mereka dihiasi macam-macam kata perpisahan dari para pemiliknya.
Here lies our faithful friends and family members: Sangha and Meredith. Your left paw prints on our heart.
Innalillahi wa innailaihi rajiun UNYIL, thanks for guarding our family. Love, Bunda & K’ Sheba.
Tempat Menemukan Keluarga
Max, kucing jenis Maine Coon berwarna abu-abu, adalah salah satu pasien hari itu. Ade, sang empunya, membawanya ke Pondok Pengayom Satwa atas saran salah satu klinik hewan di Mampang, Jakarta Selatan.
“Dia udah lima hari diam mulu. Kagak kencing-kencing juga. Saya kira sakit apaan, kan,” kata Ade. “Ternyata mesti operasi pasang apaan gitu. Mahal banget di sana, sampe Rp2,9 juta. Di sini juga tujuh ratus sembilan-sembilan sekian lah, hampir 800 (ribu),” tambahnya.
Pondok Pengayom Satwa di Ragunan bagi kalangan pencinta hewan Jakarta dan sekitarnya sudah lama dikenal sebagai pusat layanan hewan serba-lengkap. Tak cuma punya tempat kremasi dan pemakaman, mereka menyediakan jasa klinik, ruang inap, penitipan, adopsi, dan jasa memandikan kucing.
Kini mereka menampung kurang lebih sekitar 80 ekor anjing dan 50 ekor kucing. Penghuninya akan lebih ramai di musim lebaran.
“Kalau dulu kita juga menampung hewan yang majikannya sudah tidak sanggup pelihara lagi, supaya kita yang rawat. Tapi, sekarang sudah dibatasi, karena tempatnya sudah terbatas,” kata dokter Lily Wurangin, salah satu dari tiga dokter hewan yang jaga di Pondok.
Biaya operasional jadi kendala. Ongkos makan hewan-hewan di sana bisa Rp40 juta per bulan. “Belum termasuk vitamin dan vaksin,” kata dokter Lily, yang bekerja di Pondok sejak 2002.
Pendapatan dari adopsi, klinik, kremasi, penitipan, dan pemakaman adalah satu-satunya sumber pemasukan yang harus mereka putar, termasuk untuk menggaji 18 karyawan, tak terkecuali para dokter.
Di Pondok Pengayom Satwa, saya juga bertemu Sutopo, petugas yang bertanggung jawab soal keamanan Pondok. Ia sudah bekerja sejak 1992, tiga bulan setelah Tukidjo. Ia berkata sudah kadung mencintai tempat ini dan segala ritme di dalamnya.
Sutopo sesekali ikut membersihkan kandang atau membantu dokter memegangi hewan yang akan dioperasi atau dirawat.
“Kalau bersih, saya bisa dapat tujuh belaslah sebulan (Rp1,7 juta)” katanya, tersenyum.
Ia bilang sudah sering diwanti-wanti pihak yayasan tentang pendapatan mereka yang kecil. Tapi, itu tak jadi masalah buatnya. Sutopo sudah kerasan.
“Sudah terbiasa juga berurusan sama binatang. Jadi dekat juga sama mereka. Lagian, mana ada yang mau terima saya kerja lagi, sudah tua begini?” katanya, kini usianya hampir 55 tahun.
Sutopo hidup sebatang kara di Jakarta. Ia belum menikah dan kampungnya di Magelang, Jawa Tengah. Pulang kampung jadi sebuah kemewahan yang cuma bisa diimpikannya, tanpa pernah terlaksana. Ia tak punya rumah, kontrakan, atau bahkan indekos. Sehari-hari Sutopo tidur di kursi besi di ruang tunggu Pondok. Ia bahkan tak punya kasur atau lemari.
“Baju ditaruh mana, Pak?”
“Kalau baju mah dijemur-jemur aja. Digantung.” Ia tertawa.
“Keluarga saya ya ini... Buduk… sini… sini…” Ia memanggil anjing tua yang bermalas-malasan di teras depan Pondok.
“Wah dia dulu datang kemari botak. Enggak ada bulu... banyak banget lukanya, dilempari anak-anak sini,” cerita Sutopo. “Saya yang narok obat luka. Dia juga sering berjemur. Jadi sekarang ada bulunya. Dulu ya buduk banget, makanya dipanggil Buduk.” Pria ini kembali tertawa.
Selain 18 karyawan, serta ratusan anjing dan kucing yang dirawat, Pondok Pengayom Satwa memang punya anggota keluarga tambahan. Selain Buduk, ada Pinpin, Polly, dan Topi. Biasanya mereka akan berlari menyambut tamu. Merekalah yang biasanya menemani Sutopo menjaga Pondok, setiap malam.
“Kadang keluarga itu, kan, enggak cuma terikat karena darah,” kata Sutopo. “Ini kalau dia bisa ngomong, kali dia juga berterima kasih sama saya.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam