tirto.id - “Angin, angin... bertiuplah kencang! Jatuhkan buah asem buatku!” teriak Kiswanti di bawah pohon asem di dekat makam kampungnya.
Pikirnya, jika dapat lebih banyak buah asem, ibunya bisa membuat lebih banyak jamu. Itu juga berarti pemasukan lebih. Dengan begitu ia berharap ada sisa uang—selain untuk kebutuhan harian—yang bisa ia gunakan untuk mendaftar sebagai anggota perpustakaan sekolahnya.
Keinginannya mencecap buku-buku terhalang iuran wajib dua setengah rupiah. Ia tak mampu, tapi tak jua mau menyerah pada keadaan. Karena itulah, Kiswanti begitu ingin beroleh buah asem sebanyak-banyaknya.
Rupanya, seorang guru memperhatikan tingkah Kiswanti: Untuk apa ia bertingkah semacam itu?
“Asem-asem ini untuk ibu saya membuat jamu, agar saya bisa jadi anggota perpustakaan,” ujar Kiswanti.
Sang guru yang pengertian menjawab, “Baiklah, kamu boleh menjadi anggota perpustakaan tanpa bayar, tapi dengan syarat: jadilah petugas perpustakaan. Kamu harus mencatat buku yang datang, buku yang dipinjam, dan yang dikembalikan.”
Cerita Kiswanti kecil di Desa Ngidikan, Bantul, Yogyakarta, itu membuat saya berhenti mencatat. Kiswanti, kini 55 tahun, sejenak ambil jeda di tengah ceritanya. Jemarinya mengusap pelupuk matanya.
Kiswanti tak bisa menempuh pendidikan lebih tinggi dari tingkat dua SMP. Apa mau dikata, biaya sekolah terlalu berat untuk ditanggung orangtuanya yang bekerja sebagai buruh tani. Namun, Kiswanti kecil tak pernah menanggalkan kecintaannya pada buku. Tak ingin sang anak berputus-asa, ayahnya meyakinkan bahwa Tuhan akan tetap mengabulkan cita-citanya kelak.
“Itulah ‘dendam’ saya. Kelak saya ingin membuat perpustakaan dan sekolah gratis. Itu saya tulis besar-besar dan saya tempel di dinding rumah,” ujar Kiswanti.
Sejak itu hidup Kiswanti seakan ditujukan pada satu arah: mendirikan perpustakaan gratis.
Ia bekerja apa saja, dari buruh pengupas kacang tanah, pemecah buah melinjo untuk emping, hingga pemetik padi. Penghasilannya ia sisihkan untuk membeli buku.
Pada 1987, ia merantau ke Jakarta. Dari seorang sahabat pena, ia beroleh pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Alih-alih uang, Kiswanti minta digaji buku. Di Jakarta pula ia kemudian bertemu dengan pria yang kemudian jadi suaminya. Kepadanya, Kiswanti mengajukan sejumlah syarat pranikah, salah satunya minta diizinkan kerja dan hasil kerja itu diperuntukkan merintis perpustakaan.
“Saya tetap bekerja untuk mengumpulkan buku. Hingga tahun 1994, saya pindah ke Parung. Di sinilah doa-doa saya dikabulkan Tuhan,” kata Kiswanti.
Kiswanti dan suaminya datang ke Lebak Wangi dengan membawa 250 eksemplar buku yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya. Dengan modal itulah Kiswanti dan suaminya memantapkan diri membangun Warung Baca Lebak Wangi alias Warabal di Bogor.
Akses Bacaan
Bermula dari rumah sederhana pada 1994, kini Warabal menempati sebuah gedung berlantai dua. Warabal berkembang dari semula hanya perpustakaan kini mencakup balai pendidikan dan pelatihan, bank sampah, hingga koperasi simpan pinjam. Kiswanti tak seorang diri mengurus cita-citanya itu. Kini ada 25 relawan yang membantunya mengelola Warabal.
Ketika Kiswanti datang ke Kampung Lebak Wangi, akses listrik, telepon, dan jalan yang baik nisbi belum ada. Ia melihat banyak anak perempuan tak diizinkan sekolah. Bukan karena masalah ekonomi, tapi karena orangtua mereka menilai sekolah tidaklah penting. Itu bikin hatinya geram.
“Justru perempuan itu harus punya pendidikan setara laki-laki. Karena perempuanlah yang akan lebih banyak mengasuh dan mendidik anak. Perempuan adalah perpustakaan bagi anak-anaknya,” ujar Kiswanti.
Kiswanti dan Warabal adalah salah satu potret dari gerakan literasi yang digagas orang-orang akar rumput.
Mirip dengan Kiswanti, kondisi masyarakat yang rudin adalah motif utama orang-orang ini bergerak. Tak perlu jauh-jauh mencari ke pelosok, di Jakarta dan sekitarnya saja buku—dan pendidikan umumnya—masih menjadi sesuatu yang mewah bagi sebagian warga.
Di antara penggerak literasi akar rumput itu ada Andri Gunawan, yang menggagas Komunitas Motor Literasi; serta Kinong alias Sutisno yang bergerilya di jantung ibu kota dengan Bemo Buku.
Andri menilai ia telat mengenal buku. Ia baru menyadari pentingnya buku usai lulus SMA. Kala itu ia mulai belajar teknik komputer secara otodidak dengan bantuan buku-buku tutorial. Dari situlah ia memperluas bacaan. Tak puas sendirian, ia menularkan minat baca kepada kawan-kawan dekatnya
“Lalu saya mengajak teman-teman saya membentuk Komunitas Gerakan Anak Cerdas Indonesia. Saya dan teman-teman belajar membaca buku-buku baru,” ujarnya saat ia bertandang ke Warabal pada akhir Januari lalu.
Andri tergerak manakala mulai mengamati lingkungan sekeliling kampungnya di Tangerang. Buta huruf dan anak-anak putus sekolah adalah kenyataan sehari-hari. Fasilitas perpustakaan dan bacaan bagi masyarakat begitu minim.
Andri dan kawan-kawan tersulut bahwa keadaan macam itu harus diakhiri. Mula-mula mereka mencoba mengajar membaca dan melatih anak-anak putus sekolah dari pintu rumah ke pintu rumah. Mereka yang telah siap lalu diikutkan sekolah di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan program Kejar Paket.
Usaha itu mulai membuahkan hasil pada 2011. Andri dan komunitasnya bisa meluluskan 15 anak jenjang SMA, 10 anak jenjang SMP, dan 20-an anak jenjang SD.
“Sejak saat itu kami sadar, bukan minat baca masyarakat yang rendah, tapi akses pada bacaan yang tak ada,” ujar Andri.
Pada 2016, Andri bergabung dalam Forum Taman Baca Masyarakat (Forum TBM) Kabupaten Tangerang. Dalam wadah itulah ia menyadari kelangkaan akses terhadap bacaan bukan masalah di kampungnya semata, tapi juga kampung-kampung lain di Tangerang. Bersama Forum TBM itulah Andri ikut andil dalam program “Satu Kampung Satu TBM”.
Program itu sukses. Dalam setahun, 120 TBM berdiri di seantero Kabupaten Tangerang. Karena kesuksesan itu, pada Maret 2018, Andri dipercaya sebagai ketua Forum TBM Provinsi Banten.
Kini ia punya jaringan donatur yang luas. Sumbangan buku lebih mudah didapat. Forum TBM harus membina 700-an TBM di seluruh Banten, dan kebanyakan taman bacaan ini berada di pelosok. Jadi, persoalan yang ia hadapi masih sama belaka saat ia mulai bergerak di kampungnya dulu: akses dan distribusi.
Forum TBM tak bisa sendirian mendistribusikan bacaan ke pelosok Banten. Maka, cara paling memungkinkan adalah kolaborasi. Andri terpikir untuk mendekati komunitas motor. Logikanya sederhana: komunitas motor adalah komunitas paling jamak di Indonesia. Mereka hampir ada di seluruh kota di Indonesia.
“Mulanya kami ikut nongkrong di komunitas vespa dan moge. Dari itulah kami tahu bahwa komunitas hanya untuk berkumpul dan senang-senang. Tak ada program apa-apa. Makanya, kami menawarkan ke mereka untuk bersama-sama membuat komunitas motor literasi,” tutur Andri.
Kegiatan pertama kolaborasi itu bergulir pada 2017. Di bawah bendera Komunitas Motor Literasi (Moli), mereka menggelar touring sambil mendistribusikan buku. Sepuluh komunitas ikut keliling sambil mendonasikan buku ke sejumlah taman bacaan masyarakat di daerah Banten selatan.
Gerilya Buku di Ibu Kota
Jika Andri Gunawan dan Komunitas Moli bergerak ke pelosok, lain hal dengan Kinong yang bergerilya di ibu kota.
Jakarta boleh jadi adalah pusat dari semua kemajuan yang bisa diusahakan negara. Sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah pencicip pertama kemajuan ekonomi. Tapi, percayalah, di antara hutan beton itu masih ada warga yang tak bisa dengan mudah mengakses buku.
Untungnya, ada Kinong yang mau berpayah-payah mengoperasikan Bemo Buku, menembus permukiman padat Jakarta Pusat. Sudah sekira lima tahun ini ia melakukannya nyaris seorang diri. Ia melakukannya sambil tetap narik bemo untuk penumpang.
“Pagi saya narik bemo, terus jam 9 saya masukin buku-buku ke bemo dan keliling ke sekolah-sekolah,” katanya saat membawa Bemo Buku ke PAUD Nusantara di bilangan Karet Tengsin, akhir Januari lalu.
Pria bernama asli Sutisno ini berhenti narik bemo sejak terbit larangan pada 2017. Untuk menyambung hidup dan menambal biaya operasional Bemo Buku, ia berjualan minuman seduh di kolong jembatan.
Kinong merombak bagian belakang bemo menjadi rak buku. Sebagian besar pasokan buku-buku itu dari berbagai donasi. Umumnya buku cerita. Sekali waktu Kinong menggelar layar tancap keliling. Film dan pemutarnya tentu bukan miliknya sendiri, melainkan pinjaman dari Dinas Pariwisata.
Sayang sekali, sejak ada larangan bemo, ia tak bisa lagi menggelar layar tancap. Pun semakin terbatas wilayah jelajah bemonya yang semakin butut.
Dulu ia biasa berkeliling dari Bendungan Hilir, Karet, hingga Tanah Abang. Kini ia hanya menjelajah sekolah-sekolah di Bendungan Hilir karena bemonya lebih sering mogok.
Kinong bukanlah orang dengan kelimpahan finansial. Tapi mengapa ia mau berkeliling menyebar buku sambil jungkir balik menafkahi keluarga?
Sederhana, ujarnya, ia ingin jadi orang berguna seperti seorang yang pernah menolongnya pada 1996.
“Waktu itu saya nganggur dan enggak bisa bayar SPP selama empat bulan. Anak saya enggak boleh ikut ujian. Anak itu nangis seharian. Tiba-tiba ada orang baik yang membiayai. Ternyata, masih banyak orang baik di Jakarta,” kisahnya.
Meski tak bisa lagi tiap hari, ia tetap keliling manakala mesin bemonya membaik. Ia mengaku ingin benar memperbaiki bemonya, tapi apa daya tak ada dana lebih.
“Sekali ke bengkel bisa habis jutaan. Dari dagang doang enggak cukup. Selain ini, kita masih harus kasih makan keluarga,” ujarnya.
Keluhan soal finansial pun diungkapkan Kiswanti. Mereka sadar belaka, menjaga napas hidup perpustakaan dan melek literasi sambil menyambung hidup jauh lebih pelik daripada memulainya.
Solusinya adalah kolaborasi. Laiknya Andri Gunawan, Kinong masih mendapat bantuan meski sangat terbatas dari Komunitas Internet Keliling, yang digagas Enrico Halim, dosen Universitas Tarumanegara.
Kiswanti memilih mengajak warga kampung ikut terlibat menghidupi Warabal. Dimulai dari membuka kelas PAUD, TPQ, dan kursus-kursus seperti menjahit dan memasak dengan iuran seikhlasnya.
“Untuk mengelola hasil menjahit dan katering, kami membentuk koperasi simpan-pinjam. Kredit dari koperasi itu hanya boleh digunakan untuk keperluan pendidikan, kesehatan, dan modal usaha. Kami juga membuat bank sampah. Jadi, semiskinnya orang, mereka masih bisa berkontribusi,” tutur Kiswanti.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono