Menuju konten utama

Mama Yos, Pembebas Buta Literasi dari Pinggir Danau Sentani

Prinsip Yosina hanya ada satu, tiada anak yang bodoh, sehingga ia terus mengembangkan metode mengajar di rumah bacanya di pinggir Danau Sentani.

Mama Yos, Pembebas Buta Literasi dari Pinggir Danau Sentani
Yosina atau Mama Yos mendirikan rumah baca di pinggir Danau Sentani, Jayapura, Papua, Kamis (18/9/2024) . tirto.id/M Fajar Nur

tirto.id - Banjir bandang memporak-porandakan wajah Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada 2019 lalu. Di momen duka itu, kamu bakal mendapati speedboat mondar-mandir di Danau Sentani saat hari-hari yang cerah. Jika beruntung, kamu dapat berjumpa sosok perempuan yang membawa tas berisi lusinan buku cerita bergambar untuk anak-anak di dalamnya.

Itu Yosina, saat ini berusia 49 tahun, tengah bolak-balik mengantar buku-buku cerita kepada anak-anak di pengungsian ketika bencana banjir bandang melanda distrik Sentani lima tahun silam.

Ia menceritakan kisah itu saat ditemui Tirto di kediamannya di Kabupaten Jayapura, Kamis (18/9/2024) lalu.

Banjir bandang Sentani pada 2019 telah menewaskan 105 korban jiwa dan memaksa 4.000 orang mengungsi. Menurut penuturan Mama Yos – sapaan akrab Yosina – rata-rata warga baru bisa kembali beraktivitas ke kampung masing-masing, dua bulan setelah bencana.

Kampung kediaman Mama Yos tepat di pinggir Danau Sentani atau sekitar lima belas menit menyeberang dengan speedboat dari dermaga Khalkote, Kabupaten Jayapura, Papua.

Ia sendiri harus menelan pil pahit imbas banjir tersebut sebab terpaksa berhenti dari rutinitas favoritnya sehari-hari: mengajar. Yosina memang seorang pengajar, tidak cuma memberikan pengajaran biasa, boleh dibilang ia merupakan pendidik sejati.

Yosina mengajar sejak 2000, dimulai sukarela dari rumah ke rumah. Pada 2009, berdiri PAUD pertama di kampungnya, Mama Yos menjadi guru honorer di sana hingga kini.

Namun, cinta utama Mama Yos pada pendidikan justru datang dari ruang depan rumahnya. Di ruangan kurang lebih 4x4 meter itu, Yosina menghibahkan sebagian tempat tinggalnya menjadi rumah baca bagi anak-anak di kampung. Dalam rumah baca itu terdapat perpustakaan mini berisi buku cerita bergambar dan berbagai buku pengetahuan umum.

“Saat bandang Sentani datang itu 2019 terjadi seperti kita terpisah, air buat kita terpisah. Itu jadi kendala untuk saya. Aduh kasian adik-adik, kita harus kumpul lagi, jadi saya harus bawa buku ke dorang di pengungsian,” kata Yosina.

Rumah baca yang diampu Yosina memang bukan sekadar tempat singgah untuk meminjam buku. Mama Yos turut memberikan pembelajaran dasar soal materi membaca dan berhitung bagi anak-anak secara sukarela. Dia punya harapan mampu memberantas buta huruf pada bocah-bocah di kampungnya.

Dalam sepekan, Mama Yos mendedikasikan dua hari waktunya mengajari anak-anak membaca di rumah baca. Rutinitas ini sudah ia lakukan sejak 2014, ketika rumah baca itu didirikan.

Perpustakaan rumah baca Mama Yos

Mama Yosina Deda di pingir Danau Sentani, Jayapura, Papua, Kamis (18/9/2024) . tirto.id/M Fajar Nur

Yos dibantu Wahana Visi Indonesia (WVI) – lembaga non-pemerintah bidang kemanusiaan dan hak anak – dalam menggagas dan menyiapkan modul pembelajaran di rumah baca.

“Guru kelas itu harus paham sekali dengan metode bagaimana tematik membaca, menulis, itu dasar yang harus dimiliki, anak itu miliki. Kadang-kadang mama lihat kendala besar itu di pengajaran sekolah dasar,” ujar Yosina.

Niat Yosina mengajari anak-anak membaca dan berhitung secara cuma-cuma berawal dari rasa mirisnya melihat kondisi di kampung.

Anak-anak SD, kata Mama Yos, kala itu banyak yang tidak lancar dan belum mampu membaca meski sudah ada yang kelas 5 SD. Bahkan, Mama Yos pernah mengajari seorang anak SMP yang belum lancar dan paham membaca.

Mama Yos tidak ingin anak-anak di kampungnya, terutama generasi muda Papua, terus dipandang terbelakang karena buta huruf. Mama Yos yakin membaca merupakan gerbang awal untuk meraih pendidikan tinggi dan memperjuangkan hak-hak hidup.

Ia semakin mantap merawat kegiatan di rumah baca setelah mendapat pelatihan sebagai tutor atau pengajar dari WVI.

“Anak-anak belajar [ke rumah baca] setelah pulang sekolah, kalau ada PR mereka su bawa. Kita ajar mereka itu seperti matematika, perkalian, kita pakai apa yang ada di lingkungan sini seperti batu, lidi, daun, agar mereka memahami,” tutur Yos.

Metode Mengajar

Prinsip Mama Yos hanya ada satu: tidak ada anak yang bodoh. Berangkat dari situ, Yosina jadi dapat mengembangkan metode mengajarnya sendiri. Ia menuturkan, anak-anak harus dibiarkan bebas berekspresi dan bahagia saat belajar. Yosina tak ingin anak-anak terbebani saat datang ke rumah baca.

Saat reporter Tirto ikut kegiatan rumah baca yang diampu Yosina, anak-anak setingkat kelas 1-4 SD melingkar di ruang depan rumah Yosina. Ada 32 anak hadir di situ. Yosina berbisik, jumlah tersebut bahkan bisa tembus sampai 50 anak saat libur sekolah. Ruangan sempit itu mendadak riuh dengan keceriaan saat mereka bernyanyi bersama.

Bocah-bocah itu menyanyikan macam-macam tema lagu seperti pengenalan huruf, angka, binatang, hingga puji-pujian kepada Tuhan. Mama Yos yakin, bernyanyi dapat merangsang anak lebih mengerti dan menyadari bunyi penyebutan huruf. Selain itu, anak-anak mempelajari bentuk kalimat yang ada di lirik lagu sehingga mendapatkan contoh langsung.

Usai bernyanyi, Yosina membahas beberapa kata yang muncul di lirik lagu. Misalnya lagu bertema binatang. Yosina mengambil contoh kata ‘cicak’, dan membiarkan anak-anak mengeja dan menebak susunan huruf pada kata tersebut.

“Saya tak pernah bilang ‘hei kamu itu salah’, tidak ada. Saya bilang kamu ini bagus, kamu ini sudah berani, tapi mama boleh ada tambahan sedikit. Jadi mama puji dulu anaknya,” kata Yosina menceritakan caranya mengajar.

Metode lain yang sering dipakai Yosina dalam mengajarkan anak-anak membaca adalah penggunaan analogi dan bercerita. Menurutnya, yang paling utama dari belajar membaca adalah anak-anak mengetahui bunyi huruf. Ia juga menggunakan benda-benda yang ada di sekitar rumah baca untuk mencontohkan bunyi huruf sambil bercerita kepada anak-anak.

Mengajarkan anak-anak agar bisa membaca, menulis, hingga mampu menghitung memang butuh kesabaran. Yosina menyayangkan guru sekolah yang tidak peduli pada anak-anak yang belum mahir membaca.

Ia menilai kasus seperti itu sering terjadi, anak dibiarkan tak memahami bacaan dan menjadi malu untuk mengetahui dan memperbaiki kekurangannya.

“Kita harus paksa guru untuk dekati anak dengan kasih sayang, terus guru punya kelebihan apa? Guru harus bisa sekreatif mungkin untuk mendidik anak, tidak ada anak yang bodoh,” tegas Yosina.

Perpustakaan rumah baca Mama Yos

Mama Yosina Deda di pingir Danau Sentani, Jayapura, Papua, Kamis (18/9/2024) . tirto.id/M Fajar Nur

Namun, bukan berarti perjuangan Yosina tanpa hambatan. Ia masih sering mendapat ujian terutama dari orang tua anak-anak yang belajar di rumah baca. Pernah, kata dia, orang tua protes sebab anak-anak mereka datang ke rumahnya hingga sore hari dan jarang di rumah.

Karena protes itu, Mama Yos sempat mengantarkan satu-satu anak didiknya di rumah baca kembali ke rumah masing-masing untuk menjamin keselamatan mereka. Setelah itu, barulah para orang tua memahami bahwa anak-anak mereka belajar membaca di rumah Yosina.

Tantangan lainnya adalah kondisi internal keluarga anak-anak di rumah baca yang memiliki latar belakang beragam. Ada yang memiliki orang tua kasar dalam mendidik, ada anak yang punya trauma bermain di luar, hingga ada anak dengan kondisi ekonomi yang tidak mampu.

Yosina dengan sabar mencarikan solusi dari masing-masing masalah anak didiknya.

“Sa tanya, kamu senang kah ikut rumah baca? Senang kata dia, tapi ayah saya kasar kalau mabuk dia pukul, saya tidak boleh keluar. Akhirnya mama bujuk orang tuanya, minta tolong jangan seperti itu, ini anak mau belajar membaca, jangan kasih dia trauma,” ucap Yosina.

Asa Mama Yos

Seorang pendidik, kata Yosina, harus memahami kondisi psikologis anak-anak. Guru tidak bisa hanya memberikan pengajaran satu arah tanpa membangun dialog dua sisi. Selain itu, Yosina percaya bahwa anak perlu dibebaskan untuk memilih minat bacanya.

Metode itu memang betul-betul dilakukan Yosina. Setelah sesi belajar, anak-anak dibebaskan untuk melakukan kegiatan apapun di rumah baca. Ada yang pergi ke perpustakaan ambil buku, ada yang menggambar di papan tulis dan buku gambar, ada pula yang bermain di halaman rumah Yosina. Mereka riang tertawa, menjadi anak-anak sebagaimana mestinya.

Salah satu anak di rumah baca, Gabi, menyatakan bahwa sesi belajar bebas adalah momen yang paling disukai. Ia bisa membaca berbagai jenis buku di perpustakaan meski belum bisa membaca dengan sempurna. Bocah usia delapan tahun itu asik membolak-balik buku cerita bergambar kartun binatang.

“Saya suka [melihat] gambar-gambarnya yang ada di buku,” kata Gabi kepada reporter Tirto sambil ditemani orang tuanya.

Zonal Program Manager Papua Wahana Visi Indonesia (WVI), Sabtarina Febriyanti, mengaku program rumah baca memang sudah lama dilakukan WVI di Papua. Hal ini berangkat dari rapor pendidikan Papua yang masih jauh dari standar nasional.

Tahun lalu WVI melaporkan, dari 2.119 siswa kelas 3 di 171 sekolah dasar, baru sebanyak 58 persen siswa yang dapat membaca dengan pemahaman.

Adapun sebanyak 12 persen siswa masuk kategori pembaca pemula dan 30 persen lainnya masuk kategori bukan pembaca atau bahkan belum bisa membaca. Rata-rata siswa kelas 3 sekolah dasar di Papua baru bisa membaca 31 kata per menit dari idealnya 60-80 kata per menit.

Menurut Rina, kendala utama persoalan literasi di Papua disebabkan persoalan akses dan keterbatasan kemampuan guru. Ditambah, fasilitas sarana dan prasarana belum merata yang membuat tidak semua anak mudah mengakses bacaan. Ongkos kirim 1 kilogram buku ke wilayah Papua dari Jakarta saja membutuhkan biaya yang besar.

“Kami tuh ada mekanisme pengukuran. Jangan sampai hanya ada rumah baca. Rumah baca doang sudah enggak ada kegiatan, Makanya teman-teman itu ada indikator agar rumah baca harus aktif,” kata Rinia ketika ditemui Tirto di Jayapura, Papua, Kamis (18/9).

Rina menyebut, tutor rumah baca memang paling menentukan atas keberhasilan pendirian rumah baca. Ia mengapresiasi kerja-kerja tutor seperti Mama Yos yang dinilainya punya niat tulus dalam memperbaiki pendidikan di Papua.

“Supaya rumah baca ini berjalan dengan baik, maka tutornya pun juga harus ramah anak. Sehingga kegiatannya menarik, anak-anak mau datang,” sambung Rina.

Mama Yos sendiri mengaku, tidak sekali dua kali berpikir untuk berhenti mengajar di rumah baca. Apalagi, ibu dari empat orang anak itu sempat mengalami kondisi sakit. Namun, ia tak dapat membohongi kegembiraan dan rasa harunya ketika melihat anak-anak didiknya di rumah baca menjadi orang-orang sukses.

Anak-anak didik Mama Yos ada yang sudah menjadi seorang polwan. Ada yang menjadi TNI dan bekerja di pemerintahan. Mereka semua rata-rata mengucapkan terima kasih atas kehadiran rumah baca Mama Yos. Beberapa bahkan berjanji akan membantu rumah baca jika mereka sudah mendapatkan penghasilan dan pekerjaan yang berhasil.

Semangat Yosina belum padam lagi. Ia masih terus bermimpi anak-anak di kampungnya melek literasi dan mampu memperbaiki nasib. Kini, Yosina tak sendiri, sudah ada beberapa tutor yang membantunya mengajar di rumah baca. Tak sedikit dari mereka adalah anak didik Yosina saat masih belum mampu mengeja dan mengenal huruf, termasuk putri Yosina sendiri.

“Kalau ada anak yang datang ke rumah baca, mama akan bilang: kamu pintar, kamu itu bisa. Karena kamu itu Tuhan yang utus, kamu harus tunjukkan yang tidak bisa jadi bisa, itu lah kenapa kamu belajar,” ucap Yosina.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto