Menuju konten utama

Pasang Surut Pasar Buku Palasari Bandung Bertahan di Era Digital

Meskipun penjualan menurun, Datuk tetap membuka toko buku kecilnya di Pasar Buku Palasari setiap hari.

Pasang Surut Pasar Buku Palasari Bandung Bertahan di Era Digital
para pedagang di Pasar Buku Palasari yang menjajakan dagangannya kepada pelanggan.. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - Pasar Buku Palasari yang beralamat di Jalan Lodaya, Kota Bandung, dulunya adalah surga bagi para pecinta buku, tempat di mana ribuan judul buku dijajakan oleh ratusan pedagang. Namun, seiring berjalannya waktu, tempat ini kini menghadapi tantangan besar akibat digitalisasi dan perubahan kebiasaan membaca masyarakat.

Salah satu pedagang yang tetap bertahan di tengah segala perubahan ini adalah Datuk (80 tahun), yang telah 42 tahun mengabdikan hidupnya untuk berjualan buku fisik di sebuah toko kecil bernama Toko Buku Edelweiss.

Datuk memulai usahanya sejak 1982, ketika Pasar Buku Palasari baru saja berdiri. Sebelum itu, ia berjualan di sekitar Jalan Cikapundung, Kota Bandung, bersama sekitar 20 pedagang buku kaki lima lainnya. Namun, Pemerintah Kota Bandung saat itu merelokasi mereka ke Palasari sebagai bagian dari upaya merapikan tata kota. Perpindahan ini awalnya menjadi tantangan besar bagi Datuk. Penjualannya menurun drastis, dan ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru.

Namun, seiring berjalannya waktu, Pasar Buku Palasari berkembang pesat. Pada tahun-tahun puncaknya, sekitar 1982 hingga 1984, pasar ini menjadi tempat favorit para pecinta buku dan pelajar yang mencari buku-buku untuk keperluan sekolah. Datuk mengenang masa-masa kejayaan tersebut dengan penuh kebanggaan.

“Tahun 1982, 1983, 1984 itu paling top lah Palasari ini, di atas tahun 1982. Tapi sekarang ya begini [sepi pengunjung],” kata dia mengenang.

Meskipun Pasar Buku Palasari sempat berjaya, tapi perjalanan waktu dan perubahan zaman membuatnya semakin redup. Datuk merasakan betul penurunan jumlah pembeli yang datang ke tokonya.

“Menurun sekali (pelanggan), lebih dari tujuh puluh lima persen, jadi yang belanjanya hanya sedikit. Banyak yang sudah tutup, banyak yang enggak dapat duit gara-gara dulu pernah Corona (Pandemi Covid-19), ditambah sekarang yang online, jadi dapat uangnya hanya sekedar untuk makan saja," terang Datuk.

Pasar Buku Palasari

Datuk dan Istrinya yang sedang mencarikan buku yang ditanyakan oleh pelanggan.tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Meskipun penjualan menurun, Datuk tetap membuka toko buku kecilnya setiap hari. Bersama istrinya, ia menjaga toko dari pukul delapan pagi hingga lima sore. Sistem berjualan di Pasar Buku Palasari cukup unik. Ketika ada pembeli datang, para pedagang langsung sigap menawarkan dagangan mereka.

Akan tetapi, karena usianya yang sudah renta, Datuk tidak sering ikut serta dalam menawarkan dagangannya dengan suara lantang seperti pedagang lain. Ia lebih memilih duduk di samping tokonya yang sedang tutup, sambil membaca buku lama dan sesekali memperhatikan kendaraan yang lalu-lalang. Datuk hanya akan mencari-cari buku jika ada pelanggan yang langsung bertanya kepadanya.

“Silakan kak, cari buku apa?” demikian tawaran yang kerap terdengar dari para pedagang yang saling bersahutan.

Jika seorang pembeli tidak menemukan buku yang diincarnya di satu toko, pedagang tersebut akan memberitahukan kepada sesama pedagang lainnya untuk membantu mencari buku tersebut. Sistem ini memudahkan para pelanggan untuk mendapatkan buku yang mereka cari tanpa harus berkeliling ke setiap toko satu per satu, mengingat jumlah toko buku di Palasari mencapai sekitar 300 kios.

Pasar Buku Palasari bukan hanya sekadar pasar buku biasa. Ia memiliki sejarah panjang sejak berdirinya pada 1960-an. Awalnya, pasar ini berupa pasar rakyat yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Melalui program Instruksi Presiden (Inpres) pada 1977, pasar ini direnovasi menjadi bangunan dua lantai, dengan para pedagang buku menempati lantai bawah.

Pasar Buku Palasari menjadi pusat perburuan buku-buku berkualitas di Bandung. Namun, pasar ini juga pernah mengalami masa-masa kelam. Pada awal Januari 1993, kebakaran besar melanda pasar ini dan menghanguskan seluruh bangunan dua lantai beserta ribuan buku dagangan para penjual. Kebakaran serupa kembali terjadi pada 24 Agustus 2007, menghanguskan 67 kios pedagang dan kembali menimbulkan kerugian besar.

Setelah kebakaran tersebut, pasar ini kembali bangkit, meskipun tidak sepopuler dulu. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi Pasar Buku Palasari adalah perubahan kebiasaan membaca masyarakat yang semakin beralih ke media digital. Buku-buku elektronik dan platform pembaca digital semakin populer, mengurangi permintaan akan buku cetak. Pandemi Covid-19 juga memperparah keadaan, menyebabkan penurunan drastis dalam penjualan dan banyaknya toko yang tutup.

Pasar Buku Palasari

Pedagang buku yang sedang duduk di depan kiosnya menunggu pembeli.. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Tantangan Digitalisasi dan Masa Depan Pasar Buku Palasari

Datuk mengakui bahwa persaingan dengan toko buku online dan perusahaan penerbitan besar membuatnya pesimistis. “Menghidupi keluarga dari berjualan buku di toko kecil sudah tidak bisa lagi diandalkan,” kata dia.

Meskipun demikian, ia tetap membuka tokonya setiap hari, dengan harapan ada satu-dua pelanggan yang datang mencari buku.

Pasar Buku Palasari yang dulu berjaya, kini menghadapi kenyataan yang pahit. Banyak kios yang tutup atau tidak lagi berjualan. Namun, masih ada beberapa pedagang yang bertahan, seperti Datuk, yang menawarkan beragam buku cetakan baru maupun bekas, mulai dari kamus, buku novel, buku pelajaran, komik, hingga peralatan sekolah.

Salah satu pembeli di Pasar Buku Palasari yang Tirto temui adalah Rizky, mahasiswa Universitas Padjajaran. Ia mengatakan bahwa pasar ini adalah tempat langganannya untuk membeli buku, terutama buku-buku perkuliahan.

“Sengaja dari Nangor (Jatinangor) ke sini, biasanya beli di sini biar lebih murah aja,” kata Rizky.

Ia menambahkan, membeli buku secara offline di toko buku masih menjadi opsi favoritnya karena bisa melihat langsung kondisi buku dan menawar harga sesuai keinginan.

Rizky menyayangkan toko buku offline yang sudah sangat menurun jumlahnya dan banyak yang menutup toko karena kurangnya minat pelanggan. Sebagai pecinta buku, ia berharap toko buku bisa terus eksis.

“Ya walau teknologi semakin maju, tapi peran toko buku buat aku itu sangat penting. Kalau jumlahnya enggak bertambah, seenggaknya yang ada saat ini bisa bertahan,” kata Rizky berharap.

Pasar Buku Palasari memang mengalami penurunan, tetapi dengan adaptasi dan inovasi, pasar ini masih memiliki peluang untuk bertahan dan berkontribusi dalam budaya literasi di Bandung dan sekitarnya.

Kesuksesan Pasar Buku Palasari di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan para pedagangnya untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen modern dan memanfaatkan teknologi digital.

Baca juga artikel terkait TOKO BUKU atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Abdul Aziz