tirto.id - Pada perdagangan Kamis (22/8/2024) sore, rupiah ditutup melemah di level Rp15.600 per dolar Amerika Serikat), turun 100 poin atau 0,65 persen dari hari sebelumnya, yakni Rp15.500 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar Garuda ini kembali melanjutkan pelemahannya pada perdagangan Jumat (23/8/2024), yang dibuka di level Rp15.643 per dolar AS atau turun 0,28 persen dari posisi sebelumnya.
Namun, kemudian rupiah ditutup menguat 108 poin atau 0,69 persen menjadi Rp15.492 per dolar AS. Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai, penguatan rupiah ini terjadi seiring dengan batalnya Sidang Paripurna DPR RI yang berujung rencana pengesahan revisi UU Pilkada ditunda.
“Menyusul pernyataan DPR, Komisi Pemilihan Umum menyatakan, pendaftaran pasangan calon kepala daerah akan berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Ibrahim, kepada Tirto, Jumat (23/8/2024).
Hal ini lantas membuat kepercayaan investor untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia kembali meningkat. Mereka percaya, situasi dan kondisi politik di Tanah Air sudah kembali kondusif.
“Hal ini membuat masyarakat maupun investor kembali tenang dan percaya akan penegakan demokrasi di Indonesia,” kata Ibrahim menambahkan.
Dari sisi lain, ketahanan rupiah juga disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil di kisaran 5 persen dan tingkat inflasi sebesar 2,13 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,09 pada Juli 2024, yang artinya masih berada dalam target Bank Indonesia (BI) sebesar 2,5 plus atau minus 1 persen untuk sisa tahun 2024.
Selain itu, suku bunga acuan BI (BI 7 Days Repo Rate/BI7DRR) yang masih sebesar 6,25 persen juga masih menarik untuk investor. Belum lagi, kini BI juga memiliki instrumen anyar untuk menstabilkan nilai tukar Garuda, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memiliki imbal hasil (yield) untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan masing-masing pada level 7,30 persen, 7,39 persen, dan 7,43 persen.
“Data-data ekonomi masih kuat, pertumbuhan ekonomi masih 5 persen, inflasi masih dalam batas target BI, suku bunga yang tinggi juga membuat rupiah lebih menarik," kata analis mata uang, Lukman Leong, saat dihubungi Tirto, Sabtu (24/8/2024).
Dengan positifnya data-data ekonomi Indonesia itu, maka membuat rupiah berdaya tahan.
Rupiah yang sudah kuat karena fundamental ekonomi nasional, diperkuat lagi oleh faktor eksternal. Salah satunya karena nilai tukar dolar yang mulai melemah seiring dengan makin kuatnya sinyal penurunan suku bunga Bank Sentral AS yang makin kencang pada September nanti.
“Selama ini pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal, terutama dari prospek suku bunga The Fed dan perlambatan ekonomi di Cina. Kekisruhan politik domestik memang menekan rupiah, namun biasanya bersifat sementara dan tidak terjadi eskalasi,” kata Lukman.
Sementara itu, dalam Media Gathering Bank Indonesia di Bali, Jumat (23/8/2024) sore, Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menilai, pertumbuhan di kisaran 5 persen dan inflasi di sekitar 2 persen dalam waktu beberapa lama membuktikan bahwa ekonomi Indonesia berkelanjutan. Memang ada faktor domestik seperti pemerataan tingkat ekonomi, namun fundamental saja sudah cukup untuk menjaga agar rupiah terjaga stabil, bahkan ketika gejolak politik terjadi.
“Nah, apabila digabungkan faktor-faktor fundamental baik eksternal maupun internal, itu yang seharusnya memang mempengaruhi pergerakan rupiah, khususnya pergerakan modal (aliran modal masuk),” jelas Erwin.
Dengan fundamental ekonomi kuat, faktor politik lantas menjadi inrelatif. Tidak seperti saat krisis 1998, yang mana sejumlah aksi massa membuat mata uang Garuda babak belur. Saat ini, fenomena Garuda biru ynag sempat viral di media sosial hanya membuat rupiah merosot sehari dan kemudian bangkit lagi.
“Cuma sekarang dengan lebih kokohnya ekonomi Indonesia, sekali lagi inrelatif terhadap global, ya seharusnya sih memang itu akan lebih diperhatikan oleh investor global maupun domestik. Mungkin itu yang menyebabkan saat ini faktor-faktor politik domestik tidak sebesar yang sebelumnya. Karena ada penguatan faktor-faktor yang lain yang lebih fundamental,” kata Erwin.
Menurut Erwin, saat ini baik masyarakat maupun pasar secara umum sudah mulai sadar, bahwa meski terjadi gonjang-ganjing politik, yang paling diperhatikan investor adalah seberapa kuat fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, dengan fundamental ekonomi yang kuat sebuah negara akan tahan dari berbagai macam masalah, termasuk politik.
“Itu menunjukkan kedewasaan kita terhadap politik gitu. Saya tidak mengatakan bahwa faktor politik domestik itu tidak penting. Dua hal tadi itu, yang pertama bahwa inrelatif faktor-faktor fundamental ekonominya menjadi lebih kuat, dan yang kedua kita belajar banyak di dalam 2 dekade ini bagaimana peran politik itu pada akhirnya lebih sedikit pengaruhnya ketimbang faktor-faktor ekonomi gitu dan itu yang pada akhirnya mempengaruhi market,” tambah Erwin.
Dihubungi terpisah, analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan, yang membuat rupiah sering kali anjlok saat terjadi gejolak politik, terutama di masa-masa prareformasi adalah karena pada saat itu tidak ada kepastian hukum dan dasar aturan terkait aksi demonstrasi. Dengan nihilnya aturan tersebut, demonstrasi bisa berlangsung berhari-hari, bahkan aksi protes tersebut juga tak jarang disorot oleh media asing sehingga membuat investor pasar uang maupun saham yang berada di luar negeri mengetahui riuhnya kondisi Indonesia.
“Karena pergerakan saham, pergerakan mata uang rupiah itu, kan, dilihat dari kondisi politik dalam negeri. Kalau kondisi dalam negerinya terjadi demonstrasi, kemudian media-media asing menyoroti, ya kemungkinan besar akan berpengaruh. Kemudian apalagi yang berhubungan dengan keputusan politik yang sudah inkrah, tetapi ditolak,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Sabtu (24/8/2024).
Kini, usai adanya aturan terkait tata laksana demonstrasi, investor seakan mendapat kepastian bahwa pemerintah bakal berupaya menjaga keamanan dan ketertiban nasional.
Ibrahim mencontohkan, saat terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kedua, kubu pendukung capres Prabowo Subianto menggelar aksi massa besar-besaran, bahkan sampai terjadi kericuhan di beberapa titik seperti salah satunya di sekitar Sarinah. Pada saat itu, rupiah memang sempat anjlok selama beberapa hari. Namun setelah kondisi stabil, mata uang Garuda kembali menguat.
“Kalau dulu, zamannya Pak Harto, zaman-zaman sebelumnya, demonstrasi itu bisa sampai pagi. Karena apa? Belum ada hukumnya. Karena posisi saat ini sudah berbeda, untuk menghindari demonstrasi berlama-lama, akhirnya regulasi diubah. Yang pertama harus izin dulu ke kepolisian, kedua batas waktu demo itu dibatasin. Itu yang sehingga para investor itu sedikit tenang,” imbuh Ibrahim.
Direktur Laba Forexindo Berjangka itu menambahkan, dengan keputusan DPR untuk membatalkan Rapat Paripurna pengesahan revisi UU Pilkada dan langkah KPU untuk mengikuti putusan MK, bakal membuat investor makin percaya bahwa gejolak politik akibat Garuda Biru telah usai. Dia bahkan memperkirakan, pada akhir Agustus rupiah bakal perkasa dan mendekati Rp15.000 per dolar AS.
“Spekulasi penurunan suku bunga yang begitu kencang di Amerika, di Eropa, dan di Inggris, ini membuat rupiah digdaya. Kalau saya lihatin pada saat Banggar DPR mengatakan tidak akan melakukan revisi, kemudian KPU akan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR, ya kemungkinan besar KPU akan mengikuti kebijakan dari MK. Jadi, tidak usah takut bahwa akan ada garansi mengikuti,” ujar Ibrahim.
Sebaliknya, Lukman Leong menilai, jika goncangan politik terjadi lagi, maka rupiah bisa jadi bakal terseok kembali. Bahkan, menurut dia, nilai tukar rupiah bisa melemah hingga di atas Rp16.000 per dolar AS.
“Eskalasi bisa membawa rupiah kembali di atas Rp16.000 per dolar AS,” kata Lukman.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz