Menuju konten utama

Waktu 2 Bulan Tak Cukup Kejar Target Lifting Minyak, Pak Bahlil

Optimalisasi lifting migas yang dijanjikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, diragukan banyak pihak. Pasalnya, waktu tersisa hanya tinggal dua bulan.

Waktu 2 Bulan Tak Cukup Kejar Target Lifting Minyak, Pak Bahlil
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengucapkan sumpah jabatan saat pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Senin (19/8/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

tirto.id - Baru dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia berjanji akan mengoptimalisasi peningkatan lifting minyak bumi dan gas (migas). Optimalisasi tersebut menjadi salah satu fokus yang akan dilakukan Bahlil di sisa waktu dua bulan masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Bahlil dilantik oleh Presiden Jokowi pada Senin (19/8/2024), menggantikan Arifin Tasrif. Posisi Bahlil yang sebelumnya sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM diisi oleh Rosan Perkasa Roeslani. Perombakan ini dilakukan Jokowi untuk memudahkan masa transisi presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.

“Di waktu yang tersisa ini saya akan fokus perintah Bapak Presiden Jokowi dan perintah Bapak Presiden Prabowo, untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Pak Arifin terkait dengan optimalisasi peningkatan lifting minyak kita terhadap sumur-sumur idle yang sudah diberikan oleh SKK Migas dan perbaikan tata kelola," ujar Bahlil usai Serah Terima Jabatan (Sertijab) di Gedung Sarulla, Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, Jakarta.

Dengan waktu yang singkat, optimalisasi lifting migas yang dijanjikan oleh Bahlil jelas diragukan jika melihat situasi dan kondisi di lapangan pada hari ini. Karena dengan waktu yang cukup pendek atau tinggal tersisa dua bulan lagi, sulit bagi Bahlil mengejar target produksi lifting migas.

“Dengan waktu yang pendek siapapun sebetulnya agak sulit berbuat banyak. Sehingga harus pilih salah satu prioritas kira-kira apa yang bisa diselesaikan dalam waktu satu dua bulan ke depan,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).

Jika kita berkaca pada realisasi lifting minyak pada semester I-2024, baru mencapai 576 ribu barel per hari atau Barrel Oil Per Day (BOPD). Posisi ini masih di bawah target APBN 2024 yang sebesar 635 ribu BOPD.

Realisasi tersebut juga tidak mencapai target Work Program & Budget (WP&B) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mencapai 596,4 ribu BOPD.

Sedangkan untuk salur atau lifting gas pada semester I-2024 baru mencapai 5.301 juta standar kaki kubik gas per hari (MMSCFD). Capaian tersebut juga masih lebih rendah daripada yang ditetapkan di APBN 2024 sebesar 5.785 MMSCFD, serta lebih rendah daripada yang ditetapkan di WP&B sebesar 5.443 MMSCF

Melihat capaian di atas, lifting minyak pada akhir 2024 diperkirakan hanya sebesar 595 ribu BOPD atau 99 persen dari target yang ditetapkan WP&B sebesar 596,4 ribu BOPD, dan 94 persen dari target yang ditetapkan APBN 2024 sebesar 635 ribu BOPD.

Sedangkan perkiraan lifting migas pada akhir 2024 tersebut lebih tinggi daripada target yang ditetapkan di WP&B, yakni sebesar 5.544 MMSCFD, namun tetap lebih kecil daripada target yang ditetapkan di APBN 2024 sebesar 5.785 MMSCFD.

“Mustahil bagi Bahlil bisa meningkatkan lifting minyak,” timpal Fahmy Radhi, pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).

Fahmy mengatakan, cadangan minyak Indonesia saat ini semakin menurun. Kondisi ini menyebabkan investor hulu migas hengkang dari Indonesia.

"Kecuali, Bahlil bisa memaksa Pertamina untuk investasi. Itu pun butuh waktu minimal satu tahun untuk produksi,” imbuhnya.

ilustrasi minyak bumi.

ilustrasi pertambangan minyak bumi. FOTO/iStockphoto

Strategi SKK Migas Kejar Target Lifting

Meski terbilang mustahil, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi D Suryodipuro, mengatakan pihaknya tetap berupaya untuk mengejar ketertinggalan produksi. Bahkan saat ini ia mengeklaim sudah ada tren kenaikan lifting minyak.

“Jika sampai semester I tahun 2024 lifting minyak sebesar 576 ribu BOPD, maka per Agustus ini, sebagaimana kami pernah sampaikan ke media, bahwa pada tanggal 17 Agustus 2024 produksi minyak di hari itu mencapai 607 ribu BOPD,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).

Hudi mengakui memang banyak tantangan di awal tahun yang berdampak pada produksi minyak sehingga kesulitan mengajar produksi. Beberapa tantangan yang dimaksud seperti banjir dan beberapa unplanned shutdown yang menyebabkan lost production opportunity (LPO) karena sumur dan fasilitas yang menua.

Maka, kata Hudi, untuk sisa waktu sampai akhir 2024, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kinerja produksi dan lifting minyak agar terus membaik. Terlebih pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, sudah memberikan dukungan agar 11 tantangan di hulu migas dapat diselesaikan.

“Dan semuanya itu ada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah seperti persetujuan izin lingkungan, peraturan terkait ruang laut dan pertanian, perpajakan migas yang kurang kondusif dan kurangnya dukungan dari sebagian pemerintah daerah,” jelasnya.

Saat ini, SKK Migas juga terus mendorong realisasi kegiatan pengeboran sumur pengembangan, work over maupun well service sehingga akan berdampak signifikan terhadap kinerja produksi dan lifting di semester II-2024.

Di sisi lain, pihaknya juga sedang berupaya keras agar proyek Forel dapat selesai di kuartal IV-2024 sehingga akan ada tambahan produksi sebesar 10.000 BOPD, juga memastikan pengeboran sumur kedua BUIC di Banyu Urip bisa mengalirkan minyak di November 2024.

Tren Penurunan Lifting Migas Era Jokowi

Namun, di luar apa yang diupayakan tersebut, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat secara tren lifting migas di era Jokowi sebenarnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2002 lifting minyak saat itu bisa mencapai 1,2 juta barel per hari. Sementara 2024 targetnya hanya 635 ribu barel per hari.

Lifting turun terus bukan hanya sekarang,” ujar Bhima kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).

Jika becermin pada tahun sebelumnya pun meleset dari target. Pada 2023, target lifting migas dalam APBN ditetapkan sebesar 660.000 barel per hari untuk minyak mentah dan sebesar 1.100.000 barel setara minyak per hari untuk gas bumi. Namun sampai dengan akhir Desember tahun 2023, realisasi lifting minyak mentah hanya mencapai 605.500 barel per hari dan realisasi lifting gas bumi hanya mencapai 964.000 barel per hari.

Produksi minyak PHE ONWJ Semester I

Foto aerial Anjungan Central Plant (depan) dan Anjungan Bravo Flow Station (belakang) Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di Laut Jawa, Jawa Barat, Sabtu (17/8/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wpa.

Hal serupa juga terjadi sepanjang 2022, realisasi lifting minyak bumi hanya mencapai 612.000 barel per hari atau 87,1 persen dari target sebesar 703.000 barel per hari yang tercantum pada APBN 2022. Pada 2021, pemerintah juga menargetkan lifting minyak sebesar 705.000 barel per hari, tetapi hanya terealisasi sebanyak 659.000 per hari.

“Jadi Pak Bahlil masih menggunakan cara pikir boomers yang sudah ketinggalan zaman. Sektor migas kita itu sudah sunset alias sudah redup. Indonesia jadi net importir minyak, lifting turun terus bukan hanya sekarang,” kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, melihat ada beberapa membuat capaian lifting migas di era Jokowi turun atau tak pernah mencapai target. Salah satunya adalah persoalan investasi.

Karena masalah investasi di hulu migas itu dari tahun ke tahun trennya juga turun. Ini karena kondisi lapangan migas Indonesia sudah berumur dan tingkat risikonya tinggi. Sementara biaya untuk eksplorasi dan eksploitasinya bertambah mahal.

“Kedua juga kerangka kebijakan dan regulasi sektor migas kita menimbulkan risiko,” kata Fabby saat dihubungi Tirto, Rabu (21/8/2024).

Faktor lainnya adalah kondisi geopolitik dunia. Menurut Fabby, kondisi geopolitik membuat perusahaan migas berhati-hati dan menahan diri untuk berinvestasi. Ditambah lagi negara-negara dunia sudah meninggalkan energi fosil dan beralih menggunakan energi baru terbarukan.

“Itu membuat investasi migas jadi kurang menarik, ya walaupun energi fosilnya nggak akan berakhir besok. Tapi kalau dilihat dari berbagai skenario tadi, paling tidak akan ada penurunan drastis ya setelah 2030-2050 mungkin volume minyak, itu mungkin bisa kurang dari 50 persen dari volume minyak sekarang,” jelasnya.

Berdasarkan data Februari 2024, cadangan minyak RI tercatat sebesar 4,7 miliar barel. Sedangkan cadangan untuk gas sebesar 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Dengan asumsi recovery sekitar 40-50 persen, maka cadangan minyak diproyeksikan akan habis dalam waktu 12 tahun ke depan. Sementara untuk gas sekitar 22 tahun.

Baca juga artikel terkait LIFTING MINYAK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi