tirto.id - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II, Thomas Djiwandono, mengklaim penggunaan dana desa yang telah disalurkan pemerintah sejak 2015 mampu menekan jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal. Hal ini tercermin dari data Indeks Desa Membangun (IDM) yang dirilis oleh Kementerian Desa pada 2024.
Jumlah desa tertinggal pada 2024 berdasarkan IDM tercatat sebesar 5.292 desa. Jumlah itu turun dari 2019 yang masih sebanyak 17.626 desa. Penurunan juga diikuti desa sangat tertinggal dari 3.536 desa pada 2019 menjadi 2.332 desa di 2024.
Selain itu, jumlah desa mandiri juga mengalami peningkatan dari yang sebelumnya hanya 840 desa pada 2019 menjadi 17.122 desa pada 2024. Pun dengan desa maju yang pada 2024 berjumlah 22.905 desa, naik daripada 2019 yang berjumlah 8.647 desa. Sementara jumlah desa berkembang pada 2024 tercatat sebesar 24.055 desa, turun dari 2019 yang sebanyak 38.185 desa.
“Hal ini menjadi salah satu bukti dampak positif adanya dana desa bagi kemajuan desa selama kurun waktu 2015 sampai dengan 2023,” beber Thomas dalam Seminar Transparansi Dana Desa dan Pengentasan Kemiskinan di Kantor Kemenkeu, Selasa (6/8/2024).
Pria yang karib disapa Tommy itu menjelaskan, bahwa pada 2015, pemerintah pertama kali mengalokasikan dana desa sebesar Rp20,8 triliun. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan hingga dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024 dialokasikan senilai Rp71 triliun yang diberikan kepada 75.259 desa di 434 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
“Arah kebijakan penggunaan dana desa diprioritaskan antara lain untuk mendukung penanganan kemiskinan ekstrem, program ketahanan pangan, program pencegahan dan penurunan stunting, serta program sektor prioritas di desa sesuai potensi dan karakterisasi desa itu sendiri,” ujar Tommy yang juga merupakan keponakan dari Prabowo Subianto.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai, klaim pemerintah bahwa dana desa mampu menurunkan jumlah desa tertinggal dari 17.626 desa pada 2019 menjadi 5.292 desa pada 2024 memang cukup beralasan karena didukung oleh beberapa indikator lain. Seperti jumlah penduduk miskin desa yang juga turun.
Pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin desa 15,54 juta jiwa, dengan persentase penduduk miskin desa 12,85 persen. Sedangkan pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin desa 13,58 juta jiwa, dengan persentase penduduk miskin desa 12,22 persen.
“Meski fakta turunnya kemiskinan desa adalah nyata, namun menurut saya kita perlu lebih hati-hati menerima klaim keberhasilan dana desa ini setidaknya untuk dua alasan,” ujar Yusuf kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).
Pertama, menurut Yusuf, dalam lima tahun terakhir penanggulangan kemiskinan termasuk di pedesaan, banyak bertumpu pada bansos, bukan pemberdayaan ekonomi rakyat atau penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas. Kedua, peruntukan dana desa sejak pandemi hingga kini mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan arah serupa seperti di tingkat nasional, yaitu diarahkan menjadi bansos.
Maka, ke depan fokus dana desa perlu dikembalikan ke semangat awalnya, yaitu untuk pemberdayaan ekonomi dan pembangunan infrastruktur desa, dengan di saat yang sama memperbesar kembali ukuran anggaran-nya. “Desa perlu kembali mengejar ketertinggalan ekonomi dan infrastruktur-nya,” ujar dia.
Dana Desa Belum Mampu Menggerakan Ekonomi
Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rudy Suryanto, mengatakan, jika dilihat dari efektivitas dan arah kebijakan pembangunan dana desa belum sepenuhnya bisa dikatakan maksimal. Artinya masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mencapai arah kebijakan penggunaan dana desa itu sendiri. Salah satunya soal pemberdayaan masyarakat di tingkat desa.
Menurut Rudy, penggunaan dana desa dari sisi pemberdayaan masyarakat masih menjadi catatan atau belum maksimal. Karena salah satu program unggulan untuk pemberdayaan masyarakat itu adalah pendirian dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sementara jika merujuk pemeringkatan BUMDes, mayoritas masih di level perintis dan pemula.
“Artinya memang dia secara dampak itu belum signifikan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Itulah kenapa dana desa ini belum cukup efektif dalam menggerakkan masyarakat di sektor ekonomi,” ujar Rudy yang juga merupakan Founder Bumdes.id saat dihubungi Tirto, Rabu (7/8/2024).
Sehingga, kata Rudy, memang harus dilihat kembali bagaimana efektivitas dari penggunaan dana desa. Bagaimana ke depan bisa diarahkan untuk menciptakan lapangan-lapangan kerja baru di desa, menggerakkan ekonomi masyarakat, pengembangan industri kreatif, wisata desa, menghidupkan BUMDes.
“Itu yang menurut kita perlu jadi prioritas di pemerintah baru ke depan,” ujar dia.
Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menambahkan jika melihat efektivitas dana desa, banyak indikator yang bisa menjadi penilaian. Salah satu hal paling mudah memang adalah melihat angka kemiskinan.
Karena jika dilihat agregat kemiskinan di pedesaan sejak dikucurkannya dana desa 2015 sampai 2023 hanya turun 3,73 persen dari 17,89 (2015) menjadi 14,16 persen (Maret 2023). Meski secara tren menunjukkan penurunan tetapi tidak signifikan.
“Sementara itu, pemerintah sudah menggelontorkan total anggaran dana desa (2015-2024) mencapai Rp609,68 triliun tentu ini bukan kabar yang baik,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).
Capaian yang senada juga terkait penurunan kemiskinan ekstrem yang digarap lima tahun terakhir. Dari 2,14 persen (2021) menjadi 1,12 persen (Maret 2023) dengan target 0 persen (2024). Itu pun belum dikatakan maksimal penurunannya karena sampai saat ini persentase penduduk miskin ekstrem Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,83 persen, berhasil turun 0,29 persen poin terhadap Maret 2023 sebesar 1,12 persen.
“Di lain sisi, tentu kita harus apresiasi upaya yang sudah dilakukan pemerintah dalam membangun desa. Misalnya pembangunan sarana prasaran penunjang ekonomi pedesaan, seperti jalan, jembatan, pasar. dan fasilitas layanan lain,” kata dia.
Faktor Penyebab Belum Efektifnya Dana Desa
Lebih lanjut, Baidul melihat masih banyak faktor yang menjadi penyebab belum efektifnya dana desa. Di antaranya masih terjadi tumpang tindih aturan tentang penggunaan dana desa dan keterlambatan penerbitan aturan tentang penggunaan program tersebut.
Selain itu, penyebab lainnya dipicu juga oleh tidak optimalnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan dan penganggaran. Serta rendahnya komitmen transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa.
“Karena ini berpotensi terjadi penyelewengan dana desa,” kata Baidul.
Penyelewengan terhadap penggunaan dana desa memang masih cukup rawan dan tidak bisa dihindarkan. Karena faktanya kasus korupsi paling banyak terjadi di sektor desa pada 2022. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor tersebut dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu.
Jumlah itu setara dengan 26,77 persen dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.
Secara rinci, 133 kasus korupsi berhubungan dengan dana desa. Sementara, 22 kasus korupsi lainnya berkaitan dengan penerimaan desa.
Laporan tersebut juga mencatat pada 2021 ada 154 kasus korupsi di wilayah desa. Dari total kasus tersebut 245 orang tersangka setidaknya terlibat dan total kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp233 miliar.
Jumlah ini naik tajam dari 2015, ketika program Dana Desa pertama kali diimplementasikan, dengan 17 kasus korupsi di wilayah desa dengan total kerugian hanya Rp10,1 miliar.
Sejalan dengan temuan ICW, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) juga sempat menyebut ada 601 kasus korupsi terkait dana desa yang melibatkan 686 kepala desa atau perangkat desa antara 2012-2021. Kondisi ini membuat korupsi dana desa masuk dalam tiga besar kasus korupsi terkait pengelolaan keuangan.
Yusuf Wibisono mengatakan memang menjadi krusial untuk terus memperbaiki tata kelola dana desa agar korupsi dan inefisiensi yang selama ini menggerogoti efektifitas dana desa dapat ditekan. Karena faktanya hingga kini korupsi dan inefisiensi dana desa masih marak terjadi.
“Modus korupsi dan inefisiensi dana desa tergolong sangat sederhana, yang seharusnya dapat dicegah, seperti mark-up anggaran proyek, penggelapan dana, program atau kegiatan fiktif, dan pemotongan anggaran,” ujar Yusuf.
Untuk meminimalisir tersebut, dibutuhkan edukasi dan partisipasi aktif masyarakat desa untuk mengontrol pengelolaan dana desa, serta meningkatkan pengawasan dari pihak kecamatan dan kabupaten.
Di sisi lainnya, menurut Rudy Suryanto, penyimpangan terhadap dana desa tersebut justru dinilai masih cukup kecil dibandingkan dengan kasus lain. Sehingga bukan menjadi satu-satunya isu yang kemudian harus dipersoalkan lebih lanjut.
“Itu kan 600-700 kasus dari 74 ribu desa. Jadi kita harus objektif juga ya, ini dari 74 ribu desa sekian kita. Jadi kalau kita lihat itu dibandingkan korupsi di BUMN, atau instalasi lain, itu korupsi di desa itu paling kecil sebenarnya,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz