Menuju konten utama

Kelahiran Pesawat Jet yang Menghadirkan Kemewahan di Udara

De Havilland Comet menginisiasi dunia penerbangan sipil baru, yakni membuat masyarakat sampai tujuan jauh lebih cepat sampai tujuan dibandingkan sebelumnya.

Kelahiran Pesawat Jet yang Menghadirkan Kemewahan di Udara
Kemewahan di Udara

tirto.id - Tak lama sebelum Adolf Hitler tewas di tangannya sendiri pada 30 April 1945, para pemimpin Inggris tersadar bahwa kekuasaan mereka di dunia telah berakhir.

Didukung kehendak pelbagai negara jajahan di seluruh dunia memerdekakan diri--termasuk jajahan Inggris, Perang Dunia Kedua yang baru saja berakhir itu melahirkan kemunculan kekuatan baru, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Duopoli kekuatan dunia ini kelak saling berseteru dalam Perang Dingin.

Inggris, yang pernah merasakan manisnya dunia dengan menguasai seperempat Bumi melalui kekuatan maritimnya, tak terima dengan kenyataan baru itu. Maka, menurut Sam Howe Verhovek dalam Jet Age: The Comet, the 707, and the Race to Shrink the World (2010), Inggris segera mencanangkan rencana baru untuk tetap jadi salah satu kekuatan utama di dunia.

"Kerajaan yang saat itu dikuasai George VI mencanangkan rencana baru untuk menguasai dunia. Bukan dengan senjata atau peperangan, tentu saja, melainkan dengan memanfaatkan turunan Hukum Ketiga Newton, mesin jet."

Sebuah mesin yang, pikir Inggris, dapat digunakan untuk membangun "Kerajaan Langit". Bertahta di langit bukan untuk menembaki musuh-musuh kerajaan, melainkan untuk membuat masyarakat dunia saling terhubung satu sama lain dengan mudah nan cepat.

Memanfaatkan mesin jet, "Kerajaan Langit" itu diterjemahkan Inggris melalui penciptaan De Havilland Comet.

Berawal dari Komite Brabazon

Kala Perang Dunia Kedua berakhir, sebagian besar kekuatan militer Inggris seketika terbengkalai. Tak ingin menyia-nyiakan kekuataan mereka, terutama tentang kekuatan produksi, Pemerintah Inggris bergerak cepat dengan membantuk Komite Brabazon.

Ini adalah sub-kabinet yang salah satu tugas utamanya adalah memikirkan nasib dunia aviasi Inggris usai PD II. Karena tak ingin lagi membangun pesawat tempur, Komite Brabazon memutuskan bahwa Inggris, demi tetap eksis sebagai poros dunia mendampingi Amerika Serikat dan Uni Soviet, harus mengalihkan kekuatan yang dimilikinya untuk membangun pesawat komersial.

Dalam sebuah rapat, pesawat yang mereka inginkan untuk dibangun sesegera mungkin adalah pesawat transatlantik, yang sanggup terbang 640 kilometer per jam tanpa jeda melintasi Samudera Atlantik dengan membawa muatan minimal seberat 1 ton.

Diberi perintah Komite Brabazon, pelbagai perusahaan aviasi Inggris saling-sikut mengajukan proposal penciptaan pesawat itu. Ada Bristol Aeroplane Company yang mengajukan konsep pesawat bernama Brabazon Type 167. Juga ada Airspeed Limited dengan konsepnya bernama Ambassador. Lantas Vickers punya proyek Viscount; Avro dengan Tudor; Armstrong Whitworth dengan Apollo; serta De Havilland dengan Dove dan Comet.

Proposal itu, kecuali Comet, merupakan rancangan pesawat-pesawat yang diajukan untuk membangun kembali kejayaan Inggris itu mengusung mesin piston berbaling-baling sebagai penggerak pesawat. Suatu tipe mesin yang, tutur Sam Howe Verhovek, tidak dikehendaki Komite Brabazon.

Musababnya, pesawat bermesin piston menghasilkan gonjangan keras bak bajaj di jalanan. Hal ini dikhawatirkan membuat penerbangan jarak jauh hanya menghasilkan ketidaknyamanan semata.

Dan, terlebih, dengan syarat mampu terbang 640 kilometer per jam tanpa jeda melintasi Samudera Atlantik dengan membawa muatan minimal seberat 1 ton, mesin piston yang dibutuhkan harus dibuat sangat besar--dan pada akhirnya sangat kompleks.

Di sisi lain, kali pertama menciptakan pesawat pada 1909 bersama Istrinya, Louise, yang membantunya menciptakan sayap pesawat dengan hanya memanfaatkan kanvas yang disambung dengan mesin jahit, Geoffrey de Havilland terobsesi membangun pesawat yang lebih cepat, terbang lebih tinggi, serta mampu mengangkut muatan lebih berat.

Untuk proyek itu, Havilland sempat "menumbalkan" dua anaknya menjadi pilot ujicoba hingga membuat mereka tewas pada 1943 dan 1946. Haviland pula yang kemudian mengusulkan penggunaan mesin jet dalam salah satu pesawat yang diajukannya, Comet.

Kemewahan di Udara

Kemewahan di Udara

Mesin jet yang diajukan Havilland bukan mesin jet biasa yang dianggap boros bahan bakar, melainkan mesin jet bertipe turbojet. Tipe ini, sebut Verhovek, "mengeluarkan tenaga pendorong (atas reaksi) gas buang panas usai menghirup udara atmosfer." Dengan kata lain, pesawat ini irit bahan bakar dan mampu menggapai segala syarat yang diinginkan Komite Brabazon itu.

Keputusan diambil. Pesawat yang dibuat untuk mengembalikan kejayaan Inggris akhirnya jatuh ke tangan de Havilland di tahun ketika Hitler meninggal.

Dikontrak untuk membuat 21 pesawat, De Havilland Comet akhirnya mengudara untuk pertama kalinya dalam rangka ujicoba pada 12 Mei 1950, dengan terbang dari London menuju Kairo.

Sebagaimana diwartakan The New York Times, ujicoba ini membuat "langit dunia berubah," karena, penerbangan yang berjarak 3.500 kilometer itu, berhasil ditempuh dalam waktu 5 jam 8 menit dan 27 detik (Pada penerbangan pulang, Comet melakukannya dalam 5 jam dan 30 menit).

Menempatkan empat mesin turbojet-nya yang seakan terselip di sayap pesawat (mesinnya dinamai Ghost), "Comet terlihat hampir seperti pesawat kertas [...] Sulit untuk melihat (mesin seperti) apa yang mendorongnya," tulis Verhovek.

Terlebih, tegas Verhovek, "Comet terbang dua kali lebih cepat dan dua kali lebih tinggi dibandingkan pesawat apapun di zaman yang kala itu masih dikuasai pesawat berbaling-baling."

Berselang dua tahun kemudian, atau tepat pada 2 Mei 1952, dalam penerbangan yang dilaksanakan oleh maskapai Inggris kala itu, British Overseas Airways Corporation alias BOAC (kini British Airways), De Havilland Comet resmi melayani publik. seketika, decak kagum bermunculan.

Muncul di tahun Ratu Elizabeth berkuasa pertama kali, Majalah Times merilis headline berjudul "The Year of the Coronation and the Comet". Tahun itu, tak hanya satu ratu yang muncul bertakhta, tetapi dua. Comet, sebut Time, "merupakan ratu baru di angkasa." Ratu yang menjadi penanda zaman baru bagi umat manusia: Zaman Jet.

Tentu, sebagai "ratu angkasa," De Havilland Comet pun bertugas selayaknya ratu sungguhan. Mengatasnamakan Inggris, De Havilland Comet terbang dari London ke pelbagai lokasi-lokasi tempat kekuasaan Inggris di pelbagai penjuru dunia masih atau pernah berada, seperti Karachi (Pakistan), Mumbai (India), Kairo (Mesir), hingga Singapura dengan memanfaatkan BOAC.

Pan America (Pan Am) turut memesan 3 unit Comet sebagai armada baru mereka. Naas, tak sempat 3 unit pesanan Pan Am direalisasikan oleh de Havilland, petaka menghampiri Comet. Pada Mei 1953, dalam penerbangan BOAC bersandi 783, Comet jatuh di Kalkuta, India.

Kala itu, 37 penumpang dan enam kru tewas. Lalu, selang delapan bulan kemudian, penerbangan BOAC bersandi 781 dengan pesawat yang sama jatuh di Roma, Italia, yang menawaskan 29 penumpang serta enam kru pesawat.

Akhirnya, karena dua kecelakaan yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas, De Havilland Comet dilarang terbang. Dan, kala musibah menghampiri de Havilland ini terjadi, Boeing tiba dengan merilis pesawat yang hampir serupa, yakni sama-sama bermesin jet, bernama 707.

Sang ratu angkasa akhirnya turun tahta digantikan 707. Untunglah, zaman yang dimulainya tidak ikut-ikutan menghilang. Malahan, sebagaimana dipaparkan Julia Cooke dalam Come Fly the World: The Jet-Age Story of the Women of Pan Am (2021), zaman jet semakin menggila.

Musababnya, usai merilis 707, Boeing kemudian menciptakan "Queen of the Skies" sesungguhnya bernama 747. Sebuah pesawat yang, bukan hanya cepat dan dapat mengudara lebih tinggi, tetapi mampu membuat Pan Am, maskapai asal Amerika Serikat yang didirikan pada 19 Oktober 1927 oleh Henry Arnold, Carl Spaatz, dan John Jouett, menghadirkan kemewahan di angkasa bagi publik yang tak pernah terjadi sebelumnya. Kongsi 747 dan Pam Am, menggiring kemunculan masa emas perjalanan dengan pesawat, alias Golden Age of Air Travel.

Kala "Golden Age of Air Travel" tiba, terbang bukan sebatas mengantarkan penumpang sampai tujuan, tetapi juga soal "pengalaman" dalam bentuk makanan mewah, interior bak hotel, serta segala tetek-bengek gaya hidup premium.

Pengalaman eksklusif dan mewah itu yang dipercaya sebagian besar kalangan, melahirkan jenis baru perjalanan udara yang melampaui kemewahan di pesawat umum: jet pribadi.

"Golden Age of Air Travel" tak berlangsung lama karena. Pan Am bangkrut dihantam kenaikan harga bahan bakar akibat Perang Teluk pada 1990 silam dan menggiring maskapai-maskapai lain di seluruh dunia memilih meninggalkan "pengalaman" itu untuk menekan biaya operasional. Dan, karena orang-orang kaya tak ingin menanggalkan pengalaman kemewahan di udara ini, maka jet pribadi bermunculan.

Tak diketahui secara pasti berapa jumlah pesawat jet pribadi di seluruh dunia. Namun, merujuk publikasi The New York Times, tak kurang dari 100.000 pesawat jet hilir-mudik di langit Amerika Serikat, dan kian meningkat jumlahnya ketika Covid-19 menghantam dunia.

Ini terjadi karena ketika banyak maskapai tak beroperasi diterpa pandemi, kian banyak orang yang tertarik terbang dengan jet pribadi. Meskipun, tentu, membutuhkan kocek super besar, yakni tak kurang dari USD60 juta--untuk pesawatnya dan segala tetek-bengek yang dibutuhkan seperti membayar pilot, bahan bakar, serta perizinan.

Atau, jika tak ingin membeli jet pribadi, keinginan menikmati "pengalaman" ini dapat ditebus dengan biaya sewa sebesar USD4 ribu hingga USD20 ribu per jam terbang.

Baca juga artikel terkait PESAWAT JET atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Mild report
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nuran Wibisono