tirto.id - Vonis terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dianggap terlalu rendah. Aktivis anti korupsi Zaenur Rohman, juga peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, menilai vonis yang sedemikian ringan itu karena “ada jiwa korsa sesama insan di MA.”
Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono divonis enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Rabu (10/3/2021) malam. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
Hakim menyatakan Nurhadi dan menantunya terbukti menerima suap dan gratifikasi penanganan perkara di lingkungan MA sepanjang 2011-2016 sebesar Rp 49 miliar. Uang tersebut dipakai untuk berbagai hal, dari mulai membeli lahan sawit, tas Hermes, jam tangan, mobil Land Cruiser, Lexus, Alphard, membayar utang, berwisata ke luar negeri, ditukar dengan mata uang asing, hingga merenovasi rumah.
Saat pembacaan vonis, hakim mengatakan hal yang meringankan Nurhadi dan Rezky adalah keduanya “belum pernah dihukum” dan “punya tanggungan keluarga.” Selain itu, terdakwa satu, Nurhadi, juga disebut “telah berjasa dalam pengembangan kemajuan MA.”
Zaenur mengatakan alih-alih meringankan, status Nurhadi sebagai aparat penegak hukum semestinya jadi alasan untuk memberatkan vonis. “Jabatan dia sebagai sekretaris MA dan memperjualbelikan perkara telah menghancurkan kepercayaan publik, menghancurkan integritas dan martabat MA,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Senin (15/3/2021).
Sementara hal yang memberatkan Nurdhadi dan Rezky yakni mereka tidak mengakui perbuatannya secara eksplisit dan mereka tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah dan merusak nama baik MA.
Dua hari setelah pembacaan vonis, KPK mengajukan banding. Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan amar putusan belum memenuhi keadilan dan hakim tidak mengabulkan hukuman pidana tambahan uang pengganti. “Memori banding akan kami serahkan ke Pengadilan Tinggi Jakarta,” ujar Ali.
Zaenur menilai upaya banding sebagai langkah baik sebab vonis terhadap Nurhadi bisa berdampak pada disparitas putusan dalam kasus sejenis dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Ia berharap sanksi Nurhadi berubah menjadi sama dengan tuntutan jaksa atau menjadi lebih tinggi seperti halnya Pinangki, seorang mantan jaksa yang juga terlibat korupsi. Vonisnya lebih berat 2,5 kali lipat dari tuntutan jaksa.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola juga menilai vonis terlalu ringan. “Putusan ini semakin memperdalam keputusasaan publik terhadap imparsialitas penegakan hukum korupsi yang melibatkan aktor peradilan,” Ujar Alvin kepada reporter Tirto, Senin. “Vonis ringan hakim terhadap Nurhasi mencerminkan masih kuatnya pengaruh mafia peradilan,” tambah Alvin.
Alvin menilai vonis 6 tahun tidak layak sebab salah satunya Nurhadi tidak kooperatif di awal-awal penyidikan.
Nurhadi ditangkap KPK di sebuah rumah di Jakarta Selatan pada 1 Juni tahun lalu setelah buron selama lebih dari 100 hari. Penangkapan beserta pengejaran sebelumnya memang menemui sejumlah hambatan.
Saat KPK menggeledah rumah pada 12 April 2017, mereka mendapati Nurhadi mengguyur duit ke toilet dan membasahi dokumen daftar perkara yang ia pegang. Setelah jadi tersangka pada akhir Desember 2019, ia tak pernah sekalipun mendatangi pemanggilan. Nurhadi akhirnya masuk DPO pada Februari 2020.
Berkali-kali KPK mendatangi sejumlah tempat untuk mencari bukti tapi selalu pulang dengan tangan kosong.
Ketika itu Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar mengatakan Nurhadi mendapatkan perlindungan ekstra sehingga sulit ditangkap.
Baik Zaenur dan Alvin mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa majelis hakim yang menangani persidangan Nurhadi. “KY harus memastikan tidak ada pelanggaran kode etika maupun faktor non yuridis yang memengaruhi putusan,” imbuh Zaenur.
Terkait itu, Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan masih membutuhkan waktu untuk menelaah. “Ya, sabar. Nanti pendapat KY akan kami sampaikan melalui humas,” ujar Mukti kepada reporter Tirto.
Menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, vonis terhadap Nurhadi bisa saja penjara seumur hidup, denda Rp 1 miliar, dan seluruh aset hasil kejahatannya dirampas untuk negara. “Karena Nurhadi melakukan kejahatannya saat menjabat sebagai pejabat tinggi lembaga kekuasaan kehakiman,” ujar Kurnia dalam keterangan tertulis.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino