tirto.id - Direktur Lokataru Haris Azhar menduga buronan KPK eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mendapat perlindungan ekstra di salah satu apartemen di Jakarta. Makanya tak mudah untuk ditemukan apalagi ditangkap.
Dugaan tersebut, Haris klaim berdasarkan informasi yang diperolehnya secara mandiri.
"Cek lapangan ternyata dapat proteksi yang cukup serius, sangat mewah proteksinya. Apartemen itu nggak gampang diakses oleh publik, lalu ada juga tambahannya dilindungi oleh apa namanya pasukan yang sangat luar biasa itu," ujar dia, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (18/2/2020).
Ia juga menduga KPK sebenarnya tahu informasi Nurhadi dan menantunya berada dalam apartemen dengan proteksi super tersebut. Hal itu pula yang menurut Haris membikin KPK gentar.
"KPK kok jadi kayak penakut gini enggak berani ambil orang tersebut. Dan itu kan akhirnya menjadikan pengungkapan kasus ini jadi kayak terbengkalai," ujarnya.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri meminta Haris untuk membuka bukti-bukti terkait pernyataan tersebut secara benderang.
"Kami menyarankan Sdr. Haris Azhar untuk membeberkan secara terbuka di mana lokasi persembunyian Tsk NH dan menantunya, serta menyebutkan siapa yang menjaganya secara ketat," ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (18/2/2020).
KPK menetapkan Nurhadi, menantunya Rezky Herbiyono, dan Direktur Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto sebagai DPO KPK pada 11 Februari 2020 lalu. Ketiganya ditetapkan DPO usai mangkir 3 kali sebagai saksi dan 2 kali sebagai tersangka pada 9 dan 27 Januari lalu.
Kasus ini berawal ketika Nurhadi diduga menerima suap Rp33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui menantunya Rezky Herbiyono. Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
Nurhadi dan dua orang lainnya juga pernah menggugat KPK melalui praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan status tersangka yang disematkan KPK. Namun hakim menolak praperadilan tersebut dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK adalah sah.
Akan tetapi, ketiganya tak menyerah, mereka mengajukan praperadilan kembali ke PN Jakarta Selatan. Petitumnya sama, tapi lebih mendetail lagi, yakni mempermasalahkan penetapan tersangka pada penerbitan SPDP dari KPK.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz