tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengancam bakal mempidanakan pihak-pihak yang menyembunyikan keberadaan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Nurhadi merupakan tersangka suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA pada 2011-2016.
Nurhadi dinyatakan buron bersama dengan dua tersangka lainnya sejak 11 Februari 2020. Mereka yakni Rezky Herbiyono selaku menantu Nurhadi dan Direkut PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
"Kami ingatkan ke semua pihak, sembunyikan orang yang kami cari dengan sengaja tentunya itu dilarang oleh ketentuan UU bahwa yang merintangi penyidikan diancam UU dengan pasal 21 UU Tipikor," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri di Kantor KPK, Jakarta, Senin (17/2/2020) malam.
KPK juga meminta pengacara Maqdir Ismail untuk melaporkan keberadaan Nurhadi. Maqdir merupakan kuasa hukum Nurhadi saat proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Saat sidang praperadilan, Maqdir menyebut Nurhadi sedang berada di Jakarta.
"Silakan pak Maqdir datang ke KPK dan laporkan serta infokan ke kami, di mana posisi tersangka, yang disampaikan katanya ada di Jakarta. Sehingga pasti penyidik KPK akan tindak lanjutinya," ujar Ali.
Dalam perkara ini, Nurhadi diduga menerima suap Rp33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui menantunya Rezky Herbiyono. Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
Nurhadi dan dua orang lainnya juga pernah menggugat KPK melalui praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan status tersangka yang disematkan KPK. Namun hakim menolak praperadilan tersebut dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK adalah sah.
Namun ketiganya tak menyerah, mereka mengajukan praperadilan kembali ke PN Jakarta Selatan. Petitumnya sama tapi lebih mendetail lagi, yakni mempermasalahkan penetapan tersangka pada penerbitan SPDP dari KPK.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan