tirto.id - Eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi beserta menantunya Rezky Herbiyono berhasil ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah rumah di Jalan Simprug Golf, Jakarta Selatan, Senin (1/6/2020) malam. Keduanya merupakan tersangka dugaan kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA tahun 2011-2016.
KPK juga menetapkan tersangka Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto--yang masih dalam pengejaran. Ketiganya dimasukkan ke dalam dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 11 Februari 2020.
Penangkapan Nurhadi dan Rezky sempat menemui hambatan. Menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, tim yang bertugas kesulitan untuk masuk ke rumah persembunyian. "Pintu tidak dibuka. KPK berkoordinasi dengan RT setempat untuk buka paksa agar disaksikan," ujar Ghufron, Selasa (2/6/2020).
Ghufron belum bisa memastikan pemilik rumah tersebut. Namun Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menerangkan bahwa ketika penangkapan berlangsung, didapati istri, anak, cucu, serta pembantu di dalam rumah.
KPK juga menciduk istri Nurhadi, Tin Zuraida. Nawawi mengatakan Tin ditangkap karena ia "telah dilakukan pemanggilan sebagai saksi berulang kali tapi tidak pernah dipenuhi." Tin dipanggil pada 11 dan 24 Februari 2020.
Penangkapan Nurhadi, yang telah berstatus DPO kira-kira 100 hari, dipimpin langsung oleh penyidik senior KPK Novel Baswedan, klaim Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Twitter. "Kendati matanya dirampok penjahat yang 'dilindungi', tapi mata batin, integritas, dan keteguhannya tetap memukau," katanya.
Kepada reporter Tirto, Selasa (2/6/2020), Nurul Ghufron mengatakan "kurang tahu" apakah benar kepala satgasnya saat itu Novel. Ia hanya menyebut "Mas Novel termasuk tim itu," dan menegaskan kalau "KPK itu kerja tim, KPK tidak mengandalkan Superman."
Sampai Selasa 2 Juni pukul 14.20, Nurhadi dan Rezky Herbiyono masih berada di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. "Perkembangannya akan kami sampaikan lebih lanjut," kata Nurul.
Nurhadi Licin
Kasus Nurhadi adalah pengembangan perkara yang berasal dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada 20 April 2016, terkait suap Rp50 juta kepada mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Duit diduga untuk mengatur perkara Peninjauan Kembali (PK).
Nama Nurhadi pertama kali masuk 'radar' KPK saat bekas pegawai PT APA Doddy Ariyanto Supeno masuk ke rumah yang bersangkutan di Hang Lekir sambil menenteng tas pada 12 April 2017. Sembilan hari kemudian, KPK menggeledah rumah tersebut dan mendapati Nurhadi tengah mengguyur duit ke toilet dan membasahi dokumen daftar perkara yang ia pegang di MA--menurut Tempo.
Nurhadi jadi saksi. Baru pada 16 Desember 2019 ia ditetapkan sebagai tersangka terkait suap pengurusan perkara. Ia tak pernah sekalipun datang pemanggilan yang dijadwalkan pada 9 dan 27 Januari 2020. Karena itulah pada Februari KPK memasukkan namanya ke dalam DPO.
Beberapa lokasi disisir KPK dengan hasil nihil. Misalya saat menggeledah rumah mertua Nurhadi di Tulunganggung pada 26 Februari 2020. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan saat itu KPK hanya menyita sejumlah dokumen yang terkait perkara beserta alat komunikasi. Hasil nihil juga didapatkan tim KPK saat menggeledah rumah adik ipar Nurhadi, Subhan Nur Rachman, juga di Surabaya pada hari yang sama.
Sehari kemudian, KPK menggeledah sebuah kantor di Senopati, Jakarta Selatan. Saat itu tim lagi-lagi hanya berhasil menyita sejumlah dokumen terkait.
Memasuki awal Maret, KPK menggeledah dua rumah Nurhadi di Patal Senayan dan Hang Lekir--daerah relatif elite di bilangan Jakarta Selatan. Lagi-lagi tim KPK pulang dengan tangan kosong.
Kemudian tim KPK bergerak ke sebuah vila yang diduga milik Nurhadi di Ciawi, Bogor, Jawa Barat pada 9 Maret 2020. Di sana mereka hanya berhasil menemukan belasan motor mahal dan empat mobil mewah terparkir di gudang.
Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar mengatakan Nurhadi mendapatkan perlindungan ekstra saat bersembunyi di salah satu apartemen di Jakarta. Hal itulah yang menurutnya membuat KPK tak mudah menciduk Nurhadi. Menurutnya Nurhadi "dapat proteksi cukup serius" dan "sangat mewah."
Dugaan Haris dimentahkan Maqdir Ismail, kuasa hukum Nurhadi. Maqdir menuding Haris sengaja mengatakan demikian untuk mendiskreditkan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, yang memang sejak awal pencalonan sudah ditolak oleh banyak koalisi masyarakat sipil antikorupsi.
"Bisa dibayangkan Haris Azhar tahu keberadaan Pak Nurhadi, sementara KPK yang mempunyai peralatan hebat tidak bisa mengetahui keberadaan Pak Nurhadi," kata Maqdir. Haris sendiri mengatakan saat itu sebenarnya KPK tahu keberadaan Nurhadi, tapi karena satu dan lain hal mereka tidak bergerak.
Menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, hari ini (2/6/2020), Nurhadi memang mustahil bersembunyi lama jika "tanpa bantuan dari pihak lain." Ia pun mendesak KPK turut pula mendalami itu.
Desakan tersebut akan dijalankan oleh KPK. Nurul Ghufron mengatakan kalau benar ada yang membantu pelarian Nurhadi, maka ia atau mereka "diduga melanggar Pasal 21 UU 31/99 jo UU 20/01. Pihak itu akan kami tindak tegas." Pasal tersebut mengatur tentang orang yang merintangi penyidikan-penuntutan. Ancaman hukumannya paling lama 12 tahun.
DPO Ajukan Praperadilan
Nurhadi tak hanya 'licin'. Ia juga mengupayakan jalur hukum agar lolos dengan cara mengajukan praperadilan sebanyak dua kali.
Praperadilan pertama ditolak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Januari 2020. Hakim tunggal Akhmad Jaini menyatakan penetapan Nurhadi sebagai tersangka sah secara hukum.
Lalu Nurhadi, Rezky, dan Hiendra sama-sama mengajukan praperadilan pada 5 Februari 2020, juga di PN Jaksel. Kali ini Hakim tunggal Hariyadi yang tidak menerima permohonan. "Menyatakan permohonan praperadilan Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III tidak dapat diterima," kata Hariyadi.
Menurut peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman, sudah semestinya praperadilan Nurhadi ditolak, mengacu pada Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2018.
SEMA tersebut mengatur dua hal. Pertama, tersangka yang melarikan diri atau berstatus DPO tidak dapat mengajukan permohonan praperadilan. Kedua, jika praperadilan tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau keluarga, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino