tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011-2016 sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) sejak 11 Februari 2020.
Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah mantan Sekretaris MA, Nurhadi (NHD). Dua tersangka lainnya dalam status DPO, yakni Rezky Herbiyono (RHE) swasta atau menantu Nurhadi, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto (HS).
Maqdir Ismail, pengacara mantan Sekretaris MA, Nurhadi menilai tindakan KPK yang memasukkan kliennya dalam status DPO berlebihan.
"Terkait dengan penetapan Pak Nurhadi masuk dalam daftar DPO, menurut hemat saya itu tindakan yang berlebihan," ucap Maqdir saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (14/2/2020) seperti dikutip dari Antara.
Status DPO itu diberikan karena ketiga tersangka tersebut mangkir dari panggilan KPK sebanyak dua kali untuk diperiksa sebagai tersangka.
Maqdir juga menyinggung soal surat panggilan apakah sudah diterima secara patut oleh para tersangka tersebut.
"Tidak sepatutnya seperti itu, coba tolong pastikan dulu apakah surat panggilan telah diterima secara patut atau belum oleh para tersangka. Lagi pula sebaiknya mereka tunda dulu pemanggilan karena kami sedang mengajukan permohonan praperadilan. Permohonan penundaan pemanggilan ini kami sudah sampaikan kepada KPK," kata dia.
Tiga tersangka itu memang kembali mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan. Sebelumnya mereka juga telah mengajukan gugatan praperadilan, namun ditolak oleh Hakim Tunggal Akhmad Jaini dalam putusannya yang dibacakan Selasa (21/1/2020).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menampik pernyataan Maqdir. Ia menegaskan, "Tidak lah, sebelumnya KPK juga seperti itu karena ada beberapa tersangka yang kami jemput."
"Kalau kami tahu keberadaan yang bersangkutan, tetapi sampai saat ini tidak tahu keberadaan yang bersangkutan makanya kami keluarkan DPO," ucap Alexander di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, 14 Februari 2020.
Ia pun menyinggung soal pemanggilan yang sudah dilakukan secara patut oleh lembaganya, tapi Nurhadi tidak pernah memenuhi panggilan.
"Kami, kan, dalam dalam pemanggilan baik saksi tersangka itu semua berdasarkan ketentuan yang jelas. Yang bersangkutan sudah kami panggil secara patut, ketika yang bersangkutan jadi saksi tidak hadir, ketika jadi tersangka kami panggil dua kali tidak hadir, kami datangi ke rumahnya kosong," ungkap Alexander.
Lantaran itulah, kata dia, KPK memutuskan untuk menetapkan status DPO kepada Nurhadi.
Ada dalam Proteksi Mewah
Ribut-ribut soal keberadaan Nurhadi, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar justru menyebut mantan Sekretaris MA itu mendapatkan proteksi yang "mewah".
"Sebenarnya, kan, kalau info-info yang tidak resminya sebetulnya semua orang tahu, semua orang dalam artian yang terkait dengan pengungkapan kasus ini tahu bahwa Nurhadi dan menantunya (Rezky Herbiyono) ada di mana," ucap Haris di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa keduanya mendapatkan "golden premium protection" sehingga KPK menjadi "takut" untuk menangkap keduanya.
"Cuma juga mereka dapat perlindungan yang premium, "golden premium protection" yang KPK kok jadi kaya penakut gini, tidak berani ambil orang tersebut dan akhirnya pengungkapan kasus ini jadi terbelangkai," ungkap Haris.
Ia pun menyebut bahwa sebenarnya KPK sudah mengetahui keberadaan Nurhadi dan menantunya tersebut. Keduanya disebut tinggal di salah satu aparteman mewah di Jakarta.
"Kalau informasi yang saya coba kumpulkan, bukan informasi resmi yang dikeluarkan KPK. KPK sendiri tahu bahwa Nurhadi dan menantunya itu ada di mana, di tempat tinggalnya di salah satu apartemen mewah di Jakarta," tuturnya.
Namun, ia kembali menyatakan KPK tak berani untuk menangkap Nurhadi karena apartemen tersebut tidak mudah diakses publik dan dijaga sangat ketat.
"Tetapi KPK tidak berani untuk ngambil Nurhadi karena cek lapangan ternyata dapat proteksi yang cukup serius sangat mewah proteksinya. Artinya, apartemen itu tidak gampang diakses publik lalu ada juga tambahannya dilindungi oleh pasukan yang sangat luar biasa," ujar Haris.
DPO Hanya Formalitas
Tak hanya itu, status DPO Nurhadi juga dikritik keras oleh Haris. Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu mengatakan penetapan status DPO oleh KPK terhadap Nurhadi hanya formalitas belaka.
Menurut dia, berdasarkan pengakuan pengacaranya, Nurhadi berada di Jakarta sehingga KPK seharusnya langsung mencari Nurhadi.
"DPO formalitas karena KPK tidak berani tangkap Nurhadi dan menantunya. Artinya, memang syaratnya sudah terpenuhi untuk di-DPO-kan tetapi kenapa tidak dicari karena ada informasinya cukup jelas bahwa pengacaranya bilang dia ada di Jakarta," ujar Haris.
Pada 16 Desember 2019 KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011-2016.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra selaku Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Nurhadi juga terlibat dalam perkara lain yang ditangani KPK, yaitu penerimaan suap sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang berasal dari bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Nurhadi dan Rezky disangkakan Pasal 12 huruf a atau huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Menanggapi tudingan Haris yang cukup serius, Komisi Pemberantasan Korupsi menyarankan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation itu untuk membeberkan secara terbuka terkait keberadaan mantan Nurhadi dan Rezky Herbiyono, pihak swasta atau menantunya.
"Kami menyarankan saudara Haris Azhar untuk membeberkan secara terbuka di mana lokasi persembunyian tersangka NH (Nurhadi) dan RH (Rezky Herbiyono) serta menyebutkan siapa yang menjaganya secara ketat," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, di Jakarta, di hari yang sama.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz