Menuju konten utama

KPK Masih Lakukan Penggeledahan di Surabaya terkait DPO Nurhadi

Penggeledahan kali ini merupakan yang keempat kalinya.

KPK Masih Lakukan Penggeledahan di Surabaya terkait DPO Nurhadi
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK yang baru Ali Fikri menyampaikan konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/12/2019). Dalam kesempatan tersebut, Firli Bahuri mengenalkan dua Pelaksana harian (Plh) juru bicara KPK antara lain Ipi Maryati dalam bidang pencegahan dan Ali Fikri dalam bidang penindakan. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah tempat terkait kasus eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan lokasi detailnya tidak bisa dipublikasikan.

"Masih penggeledahan di Surabaya. Tempatnya nanti saya update," ujarnya kepada wartawan, Kamis (27/2/2020).

Penggeledahan kali ini merupakan yang keempat kalinya. Sebelumnya KPK juga menggeledah sejumlah tempat terkait Nurhadi di Jakarta, Surabaya, dan Tulungagung.

Terakhir KPK melakukan penggeledahan di sejumlah tempat di Surabaya dan Tulungagung pada Rabu (26/2/2020). Penggeledahan sekaligus untuk mencari keberadaan tersangka buronan Nurhadi, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto.

Lokasi yang digeledah KPK antara lain kantor pengacara Rahmat Santoso and Partner dan rumah adik ipar Nurhadi yang berada di Surabaya, rumah mertua Nurhadi yang berada di Tulungagung, serta beberapa lokasi di Jakarta yang salah satunya berdasarkan informasi dari Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.

"Kami menemukan sejumlah dokumen yang terkait perkara dan juga alat elektronik. Sedangkan para DPO belum ditemukan," ujarnya.

Kasus ini berawal ketika Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui menantunya Rezky Herbiyono. Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.

Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji sembilan lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.

Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.

Nurhadi dan dua orang lainnya juga pernah menggugat KPK melalui praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan status tersangka yang disematkan KPK. Namun hakim menolak praperadilan tersebut dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK adalah sah.

Namun ketiganya tak menyerah, mereka mengajukan praperadilan kembali ke PN Jakarta Selatan. Petitumnya sama tapi lebih mendetail lagi, yakni mempermasalahkan penetapan tersangka pada penerbitan SPDP dari KPK.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP MAHKAMAH AGUNG atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri