tirto.id - Kisruh internal antara Dewan Pengawas (Dewas) Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan pegawai TVRI yang tergabung dalam Komite Penyelamat TVRI kembali bergulir. Pasca-pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI, kali ini Komite Penyelamat TVRI menyoalkan proses seleksi yang berlangsung secara cepat sejak 30 Januari 2020 silam.
Mereka melaporkan ke Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) karena menemukan kejanggalan dalam proses seleksi Dirut TVRI seperti sistem seleksi yang tidak transparan serta dianggap melanggar aturan etik pada Kamis (20/2/2020).
"Saat semua pihak tengah menjalankan proses menangani kisruh dalam tubuh TVRI termasuk Komisi I DPR RI, Dewan Pengawas malah bersikeras lakukan proses seleksi dirut, ini kan namanya tidak menghormati DPR sebagai lembaga legislatif yang beritikad baik untuk menyelesaikan ini," kata Ketua Presidium Komite Penyelamat TVRI Agil Samal dalam keterangan tertulisnya kepada media di Jakarta yang diterima reporter Tirto, Jumat (21/2/2020) lalu.
Agil mengatakan, ada 5 poin yang dipersoalkan dan dilaporkan ke KASN. Pertama, mereka menyoalkan proses seleksi Dirut TVRI yang dilakukan saat proses politik di Komisi I tengah berlangsung.
Mereka juga khawatir TVRI akan mengalami dualisme kepemimpinan kalau Helmy Yahya menggunakan hak konstitusional dengan menggugat keputusan pemberhentiannya ke PTUN sementara Dewas TVRI sudah melantik Dirut TVRI baru. Sebagai informasi, Helmy Yahya bisa menggugat keputusan pemecatan dalam kurun waktu 90 hari dengan gugatan tata usaha negara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Bayangkan jika dirut baru telah terpilih dan Helmy menang, kan akan ada dualisme dirut di TVRI, bukannya tambah kisruh nantinya” lanjut Agil.
Komite Penyelamat TVRI juga melihat tim panitia seleksi Dirut TVRI menggunakan pejabat setingkat eselon III dan tidak berisi pansel yang seimbang karena ada 2 anggota pansel merupakan tenaga ahli Dewas TVRI. Lalu, Komite Penyelamat TVRI juga melihat proses pengisian jabatan tinggi tidak melapor dengan KASN dan menunggu rekomendasi KASN. Lalu, Dewas TVRI juga belum mendapat rekomendasi dari Direktur Keuangan TVRI selaku kuasa pengguna anggaran untuk pembayaran biaya yang timbul dari proses seleksi.
“Tentunya hal ini jauh dari logika dan aturan yang berlaku, Dewas yang bertanggung jawab atas proses ini kami nilai abai aturan dan akan lemahkan hasil seleksi itu sendiri,” ucap Agil.
Wakil Ketua KASN Tasdik Kinanto mengatakan, KASN tidak akan ikut campur dalam kisruh LPP TVRI. Sebab KASN tidak memiliki kewenangan untuk masuk dalam proses seleksi Dirut TVRI.
"Kami tidak punya kewenangan masuk LPP TVRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena sistem manajemen di TVRI kan beda dengan di kementerian lembaga lain," kata Tasdik saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu.
Tasdik mengacu kepada PP 13 tahun 2005 yang mengatur tentang tugas Dewas TVRI. Dalam pasal 7 PP 13 tahun 2005 memang mengatur setidaknya 7 kewenangan Dewas TVRI. Empat kewenangan mengatur spesifik soal Direksi TVRI yakni melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka terhadap calon anggota dewan direksi; mengangkat dan memberhentikan dewan direksi; menetapkan salah seorang anggota dewan direksi sebagai direktur utama; dan menetapkan pembagian tugas setiap direktur.
Tasdik mengatakan, KASN hanya akan mengimbau kepada Dewas TVRI untuk melaksanakan proses seleksi mengikuti ketentuan seleksi ASN yakni terbuka, transparan dan tidak boleh ada intervensi politik. Di sisi lain, Tasdik meminta agar Dewas TVRI memperhatikan putusan pengadilan apabila Helmy mengajukan gugatan untuk menunda proses seleksi selama proses hukum berlangsung atau memerintahkan Dewas TVRI untuk mengangkat kembali Helmy sebagai Dirut TVRI.
Tasdik mengatakan, rekomendasi akan segera dikeluarkan pekan depan. Ia berharap, kisruh TVRI dapat segera berakhir.
"ini sedang disiapkan rekomendasi kita. Jadi ya maksimal kita lakukan seperti itu mengingatkan dewas agar proses seleksi transparan objektif dan tidak boleh ada intervensi politik," kata Tasdik.
Respon Dewas TVRI
Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat Thamrin mempertanyakan langkah Komite Penyelamat TVRI melapor ke KASN. Dewas TVRI melihat kalau keberadaan Komite Penyelamat TVRI tidak punya dasar hukum, hak maupun mandat sebagai seluruh warga TVRI.
"Dewan Pengawas LPP TVRI belum pernah mengeluarkan surat keputusan tentang komite tersebut sehingga indikasinya komite ini dibentuk hanya mewakili sekelompok kecil pegawai yang punya kepentingan tertentu," kata Arief kepada reporter Tirto, Sabtu.
Arief mengatakan, proses seleksi Dirut TVRI sebagai lembaga penyiaran publik sudah diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan PP 13 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI. Pemilihan dilakukan sesuai dengan tata cara pemilihan Dewan Direksi LPP TVRI sebelumnya dan saat itu tidak memerlukan keberadaan KASN.
"Dewan pengawas tidak memerlukan rekomendasi apalagi izin khusus dari KASN, meskipun demikian staf LPP TVRI yang terkait tugas pemilihan Dirut TVRI telah menemui dan berkoordinasi dengan KASN menanyakan hal itu," kata Arief.
Arief menambahkan, Dewas TVRI tidak membentuk panitia seleksi, tetapi panitia pemilihan. Panitia pemilihan tersebut dibentuk berdasarkan surat pelaksana tugas Dirut TVRI. Tim tersebut hanya melaksanakan tugas administratif seperti menerima pendaftaran, meneliti berkas persyaratan yang kemudian diserahkan kepada Dewas TVRI.
Seleksi pun dilakukan Dewas TVRI dengan melibatkan panel ahli independen untuk melakukan penilaian dari makalah tertulis hingga pendalaman makalah dan assesment psikologi yang kemudian diikuti fit and proper test oleh Dewas TVRI.
Arief tidak memasalahkan jika ada sengketa hukum yang dilakukan Helmy Yahya di kemudian hari. Ia memastikan seleksi akan tetap berlangsung meski ada gugatan di masa depan. "Proses tetap berjalan dan insya Allah rampung di bulan Maret 2020," kata Arief.
Masih Ada Celah Hukum
Dosen Administrasi Negara Universitas Tidar Magelang Arif Pratama berpendapat Dewas TVRI tidak bisa serta-merta melanjutkan proses seleksi Dirut TVRI. Sebab, DPR dan pemerintah punya wewenang untuk terlibat dalam proses seleksi Dirut TVRI bila mengacu kepada PP 13 tahun 2005. Jika penelusuran DPR tentang kisruh Helmy Yahya akan rampung, Dewas TVRI sebaiknya menghentikan seleksi hingga diumumkan ke publik.
"Konteksnya dalam hal ini apakah DPR sudah masuk ranah penyelesaian masalah atau belum karena dalam pasal 7 juga disebutkan bahwa Dewas bertanggung jawab kepada DPR dan presiden," kata Arif kepada reporter Tirto, Sabtu.
Arif mengingatkan, TVRI sudah berdiri sebagai badan hukum yang didirikan negara pasca-terbitnya PP 13 tahun 2005. Dewas berposisi sebagai stakeholder non-eselon. Sementara direksi adalah pegawai setingkat eselon 1b dan posisi direksi bisa berasal dari ASN atau non-ASN. Situasi ini membuat tidak semua pegawai TVRI bisa ditangani oleh KASN yang hanya menangani ASN saja. Selain itu, penunjukan eselon III untuk menyeleksi kursi Dirut TVRI menjadi wajar karena PP 13 tahun 2005 memberikan kewenangan yang luas kepada Dewas TVRI dalam membentuk tim seleksi.
Menurut Arif, solusi penyelesaian konflik Dewas TVRI dengan internal TVRI adalah pelibatan pihak yang memberikan kewenangan kepada Dewas TVRI. Oleh sebab itu, kata Arif, "Karena TVRI adalah badan hukum bentukan negara, apabila ada kisruh yang berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum maka menteri dan DPR bisa terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut."
Sementara itu, ahli hukum dari Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman mengingatkan kalau TVRI tetap harus mengikuti aturan ASN yang berlaku sesuai pasal 131 UU ASN. UU ASN tetap berlaku meski TVRI punya aturan khusus sesuai pasal 132 UU ASN yang menyatakan kebijakan dan manajemen sudah memperhatikan kekhususan daerah tertentu dan warga negara dengan kebutuhan khusus.
"Dilihat dari penjelasan, tak terkait dengan kekhususan yang dimaksud sehingga proses pemilihan Dirut harus sesuai manajemen ASN di UU ASN," kata Herlambang kepada reporter Tirto, Sabtu.
Herlambang mengingatkan, undang-undang ASN tetap lebih tinggi dibanding peraturan pemerintah tentang TVRI. Menurut Herlambang, pemerintah perlu memperbaiki peraturan pemerintah agar hak dan wewenang menjadi lebih tegas. "Silang wewenang ini harus diberi jalan keluar melalui pembentukan PP baru, terutama menegaskan wewenang dan mekanismenya," kata Herlambang.
Perlu Ada Audit
Peneliti Remotivi Yovantra Arief berpendapat, ada masalah transparansi sejak pemecatan Helmy Yahya dari kursi Dirut TVRI. Arief memandang, kasus Helmy harus dilihat dalam kasus yang lebih besar sebab kekisruhan Dirut TVRI dengan Dewas TVRI bukanlah kali pertama.
"Ini bukan pertama kali dan sayangnya bisa jadi juga bukan terakhir kalinya ada kisruh internal TVRI. Masalahnya seringkali sama percekcokan Dewas-Direksi dan korupsi," kata Arief kepada reporter Tirto, Sabtu.
Arief mengatakan, TVRI memang tidak diperhatikan publik, tetapi memiliki potensi besar karena luasnya jaringan infrastruktur TVRI yang mencapai seluruh penjuru Indonesia dan didanai oleh negara. Potensi tersebut membuat banyak orang mengincar TVRI sementara negara tidak mengelola TVRI dengan baik.
"Negara tidak serius mengelola TVRI sehingga banyak korupsi dan pemanfaatan TVRI untuk kepentingan politik misalnya TVRI pernah dipakai Demokrat dan Golkar untuk menyiarkan secara nasional acara internal partainya menjelang Pilpres 2004," tutur Arief.
Arief berpendapat, pemerintah perlu mengevaluasi secara komprehensif soal penyiaran publik. Arief mengatakan, perubahan regulasi merupakan satu dari bagian komprehensif untuk mengevaluasi pelaksanaan penyiaran publik seperti kelembagaan, keuangan hingga konten yang ditayangkan. Ia mencontohkan televisi publik bisa memuat konten untuk keberagaman dan kelompok inklusif secara kreatif seperti yang dilakukan BBC.
"Kalau BBC bisa menciptakan konten non-diskriminatif dan inklusif secara kreatif, TVRI kan nggak pernah punya agenda semacam ini, yang ada tuh selalu hal-hal yang normatif, yang selalu diulang (yakni) "norma pancasila" lah, "kesatuan Indonesia"," kata Arief.
"Ini tentu tidak salah tapi tidak terukur dan tidak bisa dibikin program yang materill," tutup Arief.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Restu Diantina Putri