tirto.id - TVRI melakukan perombakan dan rebranding besar-besaran di bawah kepemimpinan Helmy Yahya, termasuk mengganti logo dan memodernkan konten. Wajah kuno televisi negara itu perlahan berubah.
Komentar positif dari penonton diperoleh. Kini, TVRI tampak siap bersaing dengan TV swasta terrestrial maupun digital.
Di tengah proses peralihan itu, Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik TVRI sekonyong-konyong mengeluarkan Surat Keputusan (SK) memberhentikan dengan hormat Helmy Yahya sebagai Direktur Utama pada tanggal 16 Januari 2020.
Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin mengatakan keputusan itu diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI. Pada Pasal 7 disebutkan Dewan Pengawas mempunyai tugas menetapkan kebijakan LPP TVRI, mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran, serta independensi dan netralitas siaran.
"Dewan Pengawas juga berwenang mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi," kata Arief melalui keterangan tertulis, Jumat (17/1/2020).
Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) diberikan kepada Helmy Yahya pada 4 Desember 2019.
Helmy dianggap melakukan sejumlah pelanggaran. Pertama, pelaksanaan tata tertib administrasi anggaran TVRI, juga terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan re-branding TVRI dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan 2019.
Selain itu, adanya mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN.
Helmy Yahya juga dinilai melanggar beberapa Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, dan asas keterbukaan.
"Terutama berkenaan penunjukan atau pengadaan Kuis Siapa Berani," terangnya.
Setelah Helmy Yahya diberhentikan, Dewan Pengawas menunjuk Direktur Teknik LPP TVRI Supriyono menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama LPP TVRI.
Yang terjadi selanjutkan tak semulus yang dibayangkan Arief. Helmy menyampaikan surat pembelaan diri kepada Dewan Pengawas pada 18 Desember 2019. Dalam surat itu Helmy mengatakan berdasarkan Pasal 24, pihak yang diberhentikan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum secara resmi dipecat.
Balasan dari dewas tak kalah menarik. Mereka menyatakan "tidak menerima jawaban Helmy Yahya." Pada saat itu Helmy Yahya tidak menjawab atau memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbiaya besar, Liga lnggris.
Dibela Karyawan TVRI
Helmy tetap diputuskan dipecat. Dan itu memantik respons besar dari karyawan TVRI.
Kamis (16/1/2020) sekitar pukul 18.00, setelah mendapatkan informasi soal SK pemecatan Helmy, mereka serentak menyegel ruangan dewas dengan lakban. "Kami spontan," kata salah satu karyawan TVRI, Agil Samal, Jumat (17/1/2020).
Saat itu tidak ada satu pun anggota dewas, hanya ada sekretaris dan staf.
"Kami meminta mereka untuk keluar, mereka ikut," kata dia.
Agil mengatakan meski mereka menyegel ruang dewas, para karyawan sepakat tidak mogok--aksi yang biasa dilakukan pekerja untuk menentang kebijakan perusahaan. "Kasihan nanti TVRI tidak berjalan," Agil menegaskan.
Agil berharap dengan penyegelan ini para karyawan bisa bertemu dewas. Dalam pertemuan itu para karyawan berencana menjelaskan bahwa kinerja direksi sudah sangat baik.
"Saya sudah bekerja 28 tahun, baru kali ini saya baru dapatkan direksi yang bekerja sebaik ini," kata dia.
Ruangan itu akhirnya dibuka segelnya ketika Kabul Budiono, salah satu anggota dewas, memohon kepada karyawan. "Kami buka siang tadi," kata dia.
Pada hari yang sama saat ruang dewas kembali dibuka, sekitar 4.000 karyawan melayangkan mosi tidak percaya. Namun hanya ada puluhan karyawan yang hadir saat pernyataan sikap dibacakan. Mereka berasal dari Papua, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, NTT, Riau, NTB, dan Sumbar.
Dalam mosi tersebut mereka menegaskan Dewas TVRI telah bertindak semena-mena dan subjektif. Dewas juga disebut tidak pernah melihat pencapaian direksi yang mampu mengangkat harkat TVRI yang kini layak ditonton.
"Dewas berniat mengerdilkan kembali TVRI," tuturnya.
Senayan dan Kominfo Merespons
Ribut-ribut ini akhirnya sampai ke parlemen dan kementerian.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Kharis Almasyhari, mengatakan legislatif berharap kasus ini diselesaikan dengan baik dan damai. Namun, jika memang tidak bisa, ia berjanji Komisi I DPR RI jadi mediator dengan memanggil pihak-pihak terkait.
"Mudah-mudahan [kami panggil] minggu depan," kata dia.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya, berkomentar lebih jauh. Menurutnya ada yang janggal dari pemecatan itu karena ternyata suara dewas tidak bulat.
"Ada anggota yang bernama Supra Wimbarti yang tidak sepakat dengan pemecatan tersebut," kata Willy.
Sama seperti Abdul, Willy juga mengatakan akan memanggil pihak terkait untuk memastikan "pemecatan ini bukan berdasar alasan yang emosional atau alasan-atasan yang tidak berdasar lain."
Sementara Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate percaya bahwa "tidak ada asap jika tak ada api." Dan karenanya "itu perlu diselesaikan," katanya kepada reporter Tirto.
Plate lantas berjanji "ikut membantu menjembatani dan mencarikan jalan keluar untuk kepentingan kemajuan TVRI dan implementasi penugasan TVRI yang lebih baik."
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino