tirto.id - TVRI menjadi sarang permasalahan keuangan, korupsi, polemik manajemen, dan kepentingan politik. Presiden Joko Widodo pernah memperingatkan agar TVRI tak coba-coba memainkan APBN.
“TVRI ini bolak-balik disclaimer, bertahun-tahun enggak rampung-rampung,” ungkap Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, 23 Mei 2017. “Jangan ada yang coba-coba berani memainkan uang rakyat.”
Harry Azhar Azis, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan bahwa sudah empat tahun berturut-turut TVRI mendapatkan penilaian disclaimer alias paling buruk dalam jenjang opini BPK.
“Ada potensi kerugian negara Rp400 miliar di situ," katanya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sudah mengingatkan pada 2008—di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama—bahwa jika kondisi TVRI lebih jelek dari stasiun televisi lain, "bisa jadi ada kesalahan dalam pengelolaannya."
Kalla berkata TVRI praktis lebih mudah diurus karena tidak seperti televisi swasta yang harus memikirkan pengembalian modal dan biaya penyusutan. Anggaran TVRI bergantung pada kucuran pemerintah setiap tahun. "Jadi, kalau TVRI tidak baik, berarti ada kesalahan, tiada yang lain,” kata Kalla, seperti dikutipKompas.com.
Faktanya, mengelola TVRI ternyata lebih rumit karena salah satunya juga terkait pendanaan dari pemerintah tersebut, yang bikin televisi publik ini dependen, termasuk memengaruhi ruang redaksi siarannya.
Pada September 2013, TVRI menerima teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia karena telah menyiarkan konvensi Partai Demokrat selama sekitar 2,5 jam, yang menyalahi aturan baku TVRI yang harus "independen, netral, dan tidak komersial, serta memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat," sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran tahun 2002 (PDF).
Bahkan, pada Mei 2016 hingga November 2017, TVRI telah disemprit oleh KPI sebanyak 11 kali. Program “Indonesia Siang” dan “Indonesia Pagi” telah tiga kali mendapat peringatan: dari teguran, peringatan tertulis, dan teguran tertulis.
Teguran KPI pada 26 Mei 2016 program “Indonesia Pagi” dan “Indonesia Siang” menyalahi kode etik jurnalistik. Program ini menayangkan alamat, identitas, dan wajah korban usia 5 tahun yang telah disodomi ayahnya. KPI Pusat memutuskan program jurnalistik ini telah melanggar sejumlah pasal dalam Pedoman Perilaku Penyiaran KPI dan Standar Program Siaran KPI tahun 2012 (PDF).
“Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak, prinsip-prinsip jurnalistik, dan kewajiban penyamaran,” tulis KPI dalam surat teguran tertulis kepada TVRI.
Namun, KPI memang tanpa taring dan sifatnya menegur semata.
Dari Korupsi ke Korupsi
Puncak pergolakan internal TVRI terjadi pada 2001. Saat itu Sumitha Tobing didapuk menjadi direktur utama. Tobing dianggap pemicu konflik karena sikapnya yang kurang simpatik pada orang-orang internal TVRI. Ini ditulis oleh Singgih Sasongko dalam tesisnya tahun 2003 untuk program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia, berjudul “Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Penyiaran di Indonesia Pasca Orde Baru: Kasus TVRI” (PDF).
Muncul sikap curiga atas pembangunan transmisi TVRI Gunung Tela, permasalahan kerja sama dengan PT Uniga, sewa-menyewa Studio Alam Depok, dan pemutusan kontribusi iklan dari TV swasta. Ada pula konflik kewenangan atas promosi, demosi, dan rotasi PNS di TVRI, hingga upaya saling mengganti antar-direksi.
Thalib Hasan, Ketua Federasi Serikat Pekerja TVRI, mengatakan bahwa TVRI dihuni para penguasa dan orang-orang rakus.
“Sementara para pekerja dengan beban hidup yang berat, harus bernapas di dalam lumpur seraya memperebutkan sisa-sisa limbah penguasa yang kurang adil," katanya.
Tuntutan serikat pekerja TVRI: pemerintah bisa mencopot lima anggota direksi.
Dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap TVRI Jakarta, ditemui pelbagai kejanggalan keuangan pada 2001. Untuk pengadaan pemancar UHF di Gunung Tela, Bogor, ada selisih harga tambahan. Hasilnya: ada pemborosan uang negara.
Gun Gun Heryanto, dalam tesisnya tahun 2003 untuk program pascasarjana komunikasi UI, berjudul “Relasi Kekuasaan Pada Kebijakan Perubahan Status Hukum TVRI” (PDF), mencatat utang TVRI pada 2002 sebesar Rp178 miliar, ditambah 3,8 juta dolar AS. Utang ini terkait pajak, utang dagang, utang ke kantor berita dan film, utang ke Satelindo, dan utang frekuensi.
Keadaan makin keruh ketika Sumitha Tobing memecat empat jajaran direksi setelah dikritik bertindak otoriter. Tobing dituding kerap memutuskan rencana pribadi tanpa melibatkan anggota direksi lain.
Pada 2003, dari 384 unit stasiun pemancar TVRI di seluruh Indonesia, hanya 284 unit yang bisa beroperasi. Itu pun karena sebagian dana operasionalnya diperoleh dengan berutang kepada pemerintah daerah. Saat itu utang TVRI membengkak menjadi Rp392 miliar. Jangankan siap bersaing dengan TV swasta, untuk bertahan hidup saja susah.
Belakangan pada 2014, Sumitha Tobing ditangkap paksa oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tobing terbukti melakukan korupsi pengadaan peralatan siar TVRI. Atas tindakannya, ia merugikan negara Rp12,4 miliar. Ia dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan pidana denda Rp250 juta.
Permainan bisnis politik TVRI muncul kembali ketika Pemilu 2004. Dalam 18 hari kampanye, TVRI hanya mengedepankan porsi siaran bagi PDI Perjuangan, partai pemerintah yang dikatrol Megawati sebagai presiden saat itu. Ini berdasarkan penelitian A. Darmanto berjudul “Kinerja TV Publik: Analisis Isi Berita TVRI tentang Kampanye Pileg 2004” (PDF).
Riset Darmanto mengungkapkan 14,3 persen frekuensi pemberitaan TVRI diberikan kepada PDIP. Selanjutnya adalah Golkar (9,9 persen), PPP (9,3 persen), dan PAN (6,6 persen).
Pada April 2003, Budi Harsono, Sekjen Partai Golkar, masuk dalam jajaran komisaris TVRI. Di jajaran direksi ada Yazirwan Uyun, yang ditengarai punya hubungan dekat dengan Taufik Kiemas, suami Megawati. (Baca sejarah TVRI dari perusahaan jawatan menjadi perseroan dan kini lembaga penyiaran publik.)
Mata rantai pemanfaatan jabatan untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri belum selesai. Pada 2007, Nelwan Yus menjadi Kepala TVRI Stasiun Aceh. Ia terbukti korupsi penggelembungan harga satuan acara, merugikan duit negara sebesar Rp803 juta. Yus dihukum penjara 1 tahun 2 bulan dan denda Rp50 juta.
Jani Yosef, Kepala TVRI Stasiun NTT, telah merugikan negara Rp755 juta pada 2009. Ia membeli item konsumsi secara fiktif; divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp200 juta.
Pada 2012 tindakan korupsi dilakukan oleh Eddy Machmudi Effendi, Direktur Keuangan TVRI. Effendi dinyatakan melakukan korupsi secara bersama-sama, yang merugikan negara Rp14 miliar. Ia dijatuhi penjara selama 8 tahun 6 bulan dan denda Rp5,7 miliar. Korupsi juga melibatkan seniman Betawi Mandra Naih yang saat itu menjadi Direktur PT Viandra Production.
Setahun setelahnya, BPK menemukan kejanggalan penggunaan dana Jasa Siaran dan Non Siaran yang diistilahkan sebagai “jasinonsi”. Dana "jasinonsi" yang dipakai itu sebesar Rp162 miliar.
Padahal, TVRI tak diperkenankan memakai dana tersebut. Ia harus disetor ke kas negara, dan kalaupun memakainya harus mendapatkan izin menteri keuangan. Thus, dana "jasinonsi" pada 2014 berkurang sekitar Rp34 miliar; hanya sekitar Rp184 miliar.
Apni Jaya Putra, direktur program dan berita TVRI periode 2017-2022, mengatakan bahwa kini pihak direksi berusaha untuk terbuka terhadap publik soal penggunaan anggaran.
“Jika bisa transparan, kenapa tidak? Dan transparansi merupakan keharusan. Itu bisa kami lakukan,” ujarnya.
=========
Untuk bacaan lebih lanjut, upaya Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, sebuah organisasi nirlaba berkedudukan di Yogyakarta, dalam menghimpun sejumlah tesis dan kajian serius tentang TVRI sangatlah berguna. Anda bisa membaca tesis dan jurnal tentang TVRI yang kami kutip dalam artikel di atas; laporan penelitian tentang lembaga penyiaran publik di negara-negara lain; serta basis data mengenai lembaga penyiaran nasional. Data-data mereka masih terus diperbarui.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam