tirto.id - Politikus PDIP dan anggota Komisi I DPR RI, Evita Nursanty menghujani manajemen Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan kritik pedas terhadap kinerja stasiun televisi plat merah itu dalam rapat Komisi I DPR RI hari ini, Rabu (8/2/2017).
Misalnya, Evita mendesak TVRI lebih kreatif untuk berburu sponsor agar stasiun televisi plat merah ini tak hanya mengandalkan sumber pendanaan dari APBN.
“RRI (Radio Republik Indonesia) bisa dapat sponsor, kenapa TVRI gak bisa? Anda cuma harap dari APBN saja. Kreatif sedikit dong!” ujar Evita dalam rapat Komisi I DPR RI bersama manajemen TVRI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta tersebut.
Evita membandingkan kinerja TVRI dengan RRI yang menurut dia lebih baik. Saat rapat bersama Komisi I DPR RI Selasa kemarin, pimpinan RRI melaporkan mampu mendulang dana sponsor untuk membiayai acara mereka. Evita juga memuji kualitas perencanaan acara RRI untuk periode 2017.
Dia juga mengaku kecewa dengan kinerja dewan pengawas TVRI.
“Pernah gak dewas-nya (Dewan Pengawas) ketemu dengan (manajemen) TVRI? Tidak pernah. Jadi ngapain nih dewas-dewas? Bagaimana mungkin ketika dewas RRI tidak pernah duduk dengan dewas TVRI?”
Evita menambahkan pemerintah sudah berencana melebur manajemen RRI dan TVRI dalam 3 tahun mendatang. Karena itu, ia beranggapan bahwa tidak ada salahnya RRI dan TVRI merintis kerja sama sebelum peleburan itu terjadi.
Seharusnya, kata dia, TVRI dan RRI bisa aktif bekerjasama dalam peliputan berita. Namun, kerja sama itu tak terjadi sebab TVRI selalu menolak ajakan kerja sama yang ditawarkan oleh RRI.
Evita juga menyoroti buruknya laporan keuangan TVRI selama empat tahun belakangan, yang berstatus disclaimer atau opini Tidak Menyatakan Pendapat berdasar pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, hingga muncul surat peringatan mengenai hal ini dari Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu.
“Apa yang TVRI lakukan? Ini namanya anggaran base on project. Ga ada kreatifitas, ga ada keinginan,” kata Evita.
Kritik Evita juga berlanjut ke kualitas siaran TVRI. Dia menilai TVRI kurang aktif memproduksi siaran tentang kegiatan pemerintah dan kepresidenan. Sebagai contoh, liputan di Istana kebanyakan lebih diprakarsai oleh stasiun televisi swasta, termasuk upacara kemerdekaan 17 Agustus pada tahun lalu.
“Kalau televisi swasta itu melakukan itu tanpa dibayar, tapi TVRI ini tidak, kan kelewatan,” ujar dia.
Menanggapi kritik itu, Direktur Pengembangan Usaha TVRI, Adam Bachtiar mengatakan, terkait dengan kerja sama dengan lembaga pemerintahan, TVRI sudah berusaha menjalin relasi dengan sejumlah kementerian untuk kerja sama siaran. Tapi, dia mengeluh TVRI seringkali tidak dibayar sedangkan stasiun swasta mendapatkan bayaran tinggi.
“Begitu untuk liputan siaran langsung, TV swasta tidak ada yang mengambil atau biayanya terlalu besar untuk diambil oleh TV swasta, mereka meminta TVRI untuk meliput dengan asumsi pasti gratis liputnya,” terang Adam.
Karena hal inilah, kata Adam, kebanyakan rencana kerja sama yang diajukan oleh TVRI berhenti pada penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding). Begitu membicarakan masalah pembayaran, semua akan beranggapan bahwa TVRI tidak akan meminta biaya.
“Sebagian besar MoU itu hanya berhenti di tataran MoU. Karena MoU hanya berbicara tentang pemahaman,” ujar dia.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom