tirto.id - Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menolak membuka informasi perihal proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan kepada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bima berdalih, “informasinya menjadi rahasia negara.”
Jika masyarakat ingin mengetahui informasi TWK, Bima menyarankan harus melalui jalur hukum. “Hanya bisa dibuka oleh pengadilan,” kata dia.
Pernyataan Bima itu menyusul adanya sejumlah usulan terkait polemik pelaksanaan TWK pegawai komisi antirasuh. Pertama, agar BKN menjelaskan proses pelaksanaan TWK pegawai KPK kepada pihak-pihak yang mempersoalkan. Kedua, agar BKN mempersilakan Ombudsman RI melakukan audit terhadap proses pelaksanaan TWK pegawai KPK itu.
Asesmen TWK telah membuat 75 pegawai KPK terancam dipecat. Rinciannya: 24 pegawai berpotensi bekerja lagi setelah menjalani proses pembinaan, sementara 51 pegawai sisa akan berakhir masa tugasnya pada 1 November 2021.
Para pegawai yang tak lolos TWK bersama Tim Advokasi Selamatkan KPK berjuang meneggakkan keadilan. Mereka melaporkan KPK ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman RI. Mereka menduga telah terjadi malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK dan meminta KPK-BKN bersikap terbuka.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai sikap Kepala BKN Bima Haria Wibisana yang tidak mau membuka proses TWK KPK sebagai keanehan. Ia menduga ada hal yang sedang disembunyikan.
Alih-alih transparansi, pernyataan Bima mirip pejabat orde baru. “Karena itu ada amandemen UUD tentang kebebasan mendapatkan, mencari, menyebarkan informasi. Kok malah balik lagi ke argumen Orde Baru," ujar Asfin kepada reporter Tirto, Rabu (16/6/2021).
Klaim rahasia negara berbahaya, sebab menurut Asfin, penilaian benar atau salah sebuah persoalan tidak bisa dibuktikan. Pernyataan tersebut tidak lebih dari upaya lepas tangan.
Asfin bersama Koalisi Masyarakat Sipil kerap mendesak proses TWK KPK dibuka untuk publik. Mulai dari asal muasal TWK, siapa inisiator dan dasar hukumnya; pelaksanaan TWP seperti apa, siapa yang melakukan wawancara terhadap pegawai KPK, wawancara itu direkam atau tidak, dan materi rekam tersimpan di mana.
“Presiden seharusnya menegur pejabat-pejabat seperti ini," kata Asfin.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani meminta Kepala BKN Bima Haria belajar dari kasus pengacara David Tobing versus Komisi Yudisial sebelum mengklaim rahasia negara. Ketika itu, Tobing yang tidak lolos seleksi calon hakim agung 2017, meminta KY membuka informasi penilaian dan analisis asesmen. KY menolak dan Tobing menggugat KY ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
KIP mengabulkan gugatan Tobing dan meminta KY memberikan informasi tersebut. Namun KY mengajukan keberatan ke PTUN Jakarta. Dalam kasus tersebut tidak dibenarkan adanya informasi dengan kategori rahasia negara, selama permintaan datang dari pihak yang terkait.
“Kalau memang tidak ada yang aneh-aneh dalam proses TWK, sebaiknya BKN penuhi jika yang bersangkutan yang meminta,” kata Arsul saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/6/2021).
Bukan Rahasia Negara
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai Bima Haria Wibisana berusaha keras untuk menutupi kejanggalan yang terjadi dalam proses TWK. Ia menganggap Bima tidak paham undang-undang.
“Ada-ada saja kepala BKN, tidak baca UU bahwa hal yang berkaitan dengan informasi penyelenggara negara atau pejabat publik bukanlah rahasia negara,” ujar Feri saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/6/2021).
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; Pasal 17 mengatur informasi yang dikecualikan, antara lain: informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, merugikan ketahanan ekonomi nasional, dan merugikan kepentingan luar negeri.
Sementara menurut Feri, proses TWK pegawai KPK tidak termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan tersebut.
“Kepala BKN itu mencari-cari alasan saja. Semakin dia memutar semakin salah aturan yang dia pakai,” kata Feri.
Peneliti Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola juga berpendapat senada. Ia menilai, dalil rahasia negara adalah tidak masuk diakal. Sebab menurutnya, KPK merupakan badan publik sehingga “seluruh informasi yang bersifat kelembagaan harus dapat diakses publik, termasuk proses alih ASN.”
“Dalih rahasia negara tidak dapat digunakan dalam konteks TWK juga karena tidak ada urgensi risiko tertentu dari aspek pertahanan keamanan negara atau ketahanan ekonomi nasional misalnya,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Alibi rahasia negara, menurut Alvin, justru akan membentuk opini publik bahwa proses TWK memiliki potensi pelanggaran hukum. Ketidakterbukaan KPK dan BKN dapat terkategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU.
“Proses rekrutmen ASN tidak diatur di dalam daftar informasi yang dikecualikan sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, jika benar informasi tidak dibuka, juga ada indikasi besar terjadi pelanggaran UU ASN di mana rekrutmen dilakukan tanpa berdasarkan prinsip sistem merit,” ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz