tirto.id - Pasca Kriss Hatta memenangkan gugatan pembatalan pernikahan dengan Hilda, konflik mereka justru semakin memanas. konflik bahkan makin melebar seiring banyaknya selebritas tanah air yang turut mengomentari perseteruan mereka. Apalagi, Kriss sempat melakukan aktivitas siaran langsung di akun Instagram krisshatta07 untuk menyindir Hilda yang sekarang berpacaran dengan selebritas Billy Syahputra.
Dalam video yang diunggah ulang oleh akun gosip Lambe_Turah itu, Kriss mengisahkan jumlah aktivitas ranjang mereka selama 2 tahun menikah.
“Hai gaes, kita itung-itungan yah. Kami nikah 2 tahun, dalam 1 tahun itu ada 12 bulan, berarti ada 365 hari. Dalam 1 hari gue hajar dia 6 kali, terus kali 30, 180 kali gue hajar dia noh. 180 kali dikali lagi 12 bulan dong, bener kan 12. Jadi 2.160 kali gue hajar dalam satu tahun. Tambah lagi karena 2 tahun gue nikah kan, 2.160, tambah, lu bayangin 4.320 tu wanita gua ehhhmm. Jadi ya untuk Billy Syahputra ya selamat ya elo dapet bekas gue ya. Selamat, selamat, karena selama nikah sama gue, dia gue hajar 4.320 kali. Hahahaha,” kata Kriss di video menjijikkan tersebut.
Tentu saja video itu mendapat beragam komentar dari warganet baik pro maupun kontra, seperti
“Lucu.. emang pas haid dihajar bang? Emang dirimu sekuat apasih #gagalmoveon.”
“Untung mb Hilda nya udah sadar klo kris hatta gak banget yaaa…laki lemezzz banget bacotnya.”
“Ini sangat memperlihatkan kepribadian laki” sampah, merendahkan wanita.”
“Nah gini Krisshatta ngmg terus terang ga byk drama.”
Objektifikasi Seksual Balas Dendam
Gary W. Lewandowski, Professor Psikologi dari Monmouth University Jr. dan Erin Hughes, Mahasiswa Pascasarjana Psikologi dari Vilanova University dalam artikel berjudul “Want a satisfying relationship? Don’t present yourself as a sex object” yang dimuat dalam The Conversation, mengatakan objektifikasi terjadi ketika seseorang memperlakukan orang lain seperti barang atau komoditas, mengabaikan kemanusiaan dan martabatnya.
“Menjadikan seorang perempuan sebagai objek, baik merendahkan harga dirinya hingga ke penampilan fisiknya, ini mencerminkan pandangan bahwa tubuh perempuan adalah objek kesenangan seksual tanpa memperhatikan kehidupan, perasaan, atau pikiran orang yang hidup bersama mereka,” ujar mereka.
Lewandowski dan Hughes juga membeberkan objektifikasi perempuan bisa mendatangkan masalah bagi sang perempuan, misalnya terhadap pekerjaan dan pencapaian perempuan tersebut, kekerasan seksual, serta meningkatkan kekhawatiran tentang penampilan dan menurunkan harga diri.
Eileen L. Zurbriggen, dan 2 orang rekannya dalam artikel berjudul “Self- and Partner-objectification in Romantic Relationship: Associations with Media Consumption and Relationship Satisfaction” (PDF) mengatakan bahwa objektifikasi memiliki konsekuensi negatif baik untuk korban maupun pelaku.
“Bisa juga menjelek-jelekkan pasangan menyebabkan seseorang melakukan objektifitas diri yang memiliki berbagai macam konsekuensi negatif pada kesehatan mental, serta dapat mempengaruhi hubungan,” kata Zurbriggen, dkk.
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy menyampaikan kasus yang dilakukan oleh Kriss dengan mengungkapkan jumlah hubungan seksual yang dilakukan bersama Hilda termasuk dalam objektifikasi seksual kategori revenge porn yang banyak menimpa kaum perempuan.
“Menurut saya (hal itu) bisa disebut sebagai revenge porn, tindakan membagikan atau menyebarkan foto, video, yang dalam kasus Kriss Hatta berupa ujaran yang berisi atau terkait materi seksual seseorang tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, yang bertujuan untuk mempermalukan dan merendahkan, atau sebagai aksi balas dendam dari mantan pacar atau pasangan,” ungkap Anita.
Anita mengatakan revenge porn kerap terjadi karena masih banyak pola pikir yang menempatkan tubuh perempuan sebagai objek dan komoditas. Para pelaku ini punya kecenderungan menganggap tubuh perempuan sebagai properti miliknya. Hal ini tampak ketika, misalnya, Kris bilang Hilda adalah, "bekas gue", seolah-olah Hilda adalah bekas barang miliknya.
“Singkatnya, revenge porn merupakan kekerasan sistemis terhadap perempuan. Ia bukan hanya perkara balas dendam dari mantan semata. Lebih jauh, revenge porn merupakan kekerasan berbasis gender yang mencerminkan pola budaya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang lebih luas,” kata Anita.
Meski begitu, dalam banyak kasus revenge porn di Indonesia, perempuan yang menjadi korban justru dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Hukum yang ada di Indonesia saat ini pun tidak banyak membantu korban. Selain itu, kultur patriarkis yang berakar kuat di masyarakat juga punya kecenderungan menyalahkan korban dan memberikan pemakluman serta pembenaran bagi pelaku.
Apa yang Bisa Dilakukan Korban Revenge Porn?
BBC pernah mempublikasikan artikel berjudul “We Were victims of Revenge Porn” yang berisi cerita dari sudut pandang korban. Dalam artikel itu, seorang korban bernama Kelly McGurk (29) menyatakan bahwa ia tak lagi percaya kepada siapapun.
“Saya marah karena kami sudah berpisah begitu lama, saya benar-benar marah. Aku sadar dia melakukannya karena aku tidak akan kembali bersamanya, itu adalah pembalasannya terhadapku,” ungkap Kelly.
Meski telah melaporkan kasus itu ke pihak yang berwajib di Scotlandia, namun Kelly tak pernah mendapat balasan apapun tentang kasus yang dia alami itu. “Aku tidak percaya siapa pun sekarang,” ujar Kelly. “Aku hanya menjalani hidupku sendiri. Aku, diriku sendiri dalam gelembung kecil, dan hanya itu. Aku menarik diri dari teman, aku kehilangan teman,” tuturnya.
Meskipun ada beberapa orang rekannya yang percaya pada Kelly, nyatanya masih ada orang yang menganggap dirinya berbohong dan memutarbalikkan fakta.
Dampak negatif lain dari revenge porn adalah korban kerap kali merasa tidak berharga. Hal ini yang menimpa Anne (bukan nama sebenarnya), salah satu korban yang bercerita pada BBC. Ketika Anne berpisah dengan suaminya, sang mantan suami mengunggah video seks mereka ke situs tukar pasangan. Anne baru sadar kelakuan mantan suaminya ketika suatu hari dia mendapat pesan pendek dari pengirim yang tidak diketahui. Pesannya: "Aku suka apa yang kutonton. Aku ingin berhubungan seks denganmu."
“Ini memengaruhi saya dalam segala hal. Saya tidak ingin keluar rumah, saya bahkan pernah sekali untuk mencoba bunuh diri karena merasa tidak berharga dan kotor,” ungkap Anne.
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Radhika Sanghani di The Telegraph berjudul “Revenge porn: What to do if someone post your naked pictures online” dikatakan bahwa hendaknya korban revenge porn tidak perlu merasa malu ketika mencari bantuan atau saran tentang kejadian yang menimpanya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh korban revenge porn adalah mempidanakan pelaku. Meskipun belum dimasukkan dalam sebuah pelanggaran yang spesifik, namun pelanggaran yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku adalah pelecehan, pemerasan, voyeurisme (jika revenge porn dalam bentuk gambar dan diperoleh tanpa sepengetahuan), atau menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Editor: Nuran Wibisono