tirto.id - Perempuan di dunia narkotika dan zat terlarang belum banyak mendapat perhatian. Padahal, narkotika selain disalahgunakan untuk konsumsi pribadi, ternyata juga dijadikan senjata untuk melumpuhkan orang lain.
Violence Against Women and Children (VAW), pusat penelitian dan edukasi kekerasan pada perempuan dan anak di London menyatakan jamak penyalahgunaan narkotika dengan tujuan ini menyasar perempuan. Mereka menyebutnya dengan Drug Facilitated Sexual Assault (DFSA). Kondisi ini terjadi ketika alkohol atau obat-obatan lain sengaja digunakan sebagai penenang untuk melakukan kekerasan seksual. Zat tersebut digunakan sebagai senjata untuk memfasilitasi serangan seksual.
Tindakan DFSA dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, DFSA proaktif yang dilakukan secara terencana. Misalnya memasukkan narkoba dalam minuman korban, atau menyodorkan alkohol dalam jumlah besar agar korban mabuk atau lumpuh.
Kedua, DFSA oportunistik, dimana pelaku penyerangan seksual menargetkan korban yang telah mabuk atau tidak sadarkan diri karena napza. DFSA yang paling sering terjadi dengan modus memasukkan narkoba dalam minuman korban. Jumlah korban DFSA tak bisa dibilang kecil, karena persentasinya setara satu banding lima dari jumlah pelapor serangan seksual di Pusat Perawatan Kekerasan Seksual di Kanada.
“Hampir semua korban DFSA adalah perempuan. Mayoritas berusia 16 dan 24, sepertiganya siswa, sisanya pekerja,” tulis laporan VAW dalam lamannya.
Setengah kasus DFSA dilakukan oleh teman atau kenalan, paling sering saat korban berada di klub, bar, lounge, restoran, pesta, atau acara sosial lainnya. Dibandingkan dengan korban kekerasan seksual lainnya, korban DFSA cenderung minum alkohol, menggunakan obat yang dijual bebas seperti sirup obat batuk atau ganja sesaat sebelum serangan. Mayoritas dari mereka menduga pembiusan terjadi lewat minuman.
Obat yang paling umum digunakan untuk memfasilitasi DFSA adalah alkohol. Beberapa yang lain adalah obat-obatan ilegal seperti ganja, kokain, amfetamin, ekstasi, atau molly. Obat-obatan yang dijual bebas seperti antihistamin dan sirup batuk, dan obat resep misalnya anti-depresan dan analgesik juga dapat disalahgunakan sebagai medium DFSA. Apalagi obat-obatan seperti flunitrazepam, atau dikenal sebagai Rohypnol yang digunakan untuk terapi insomnia berat.
“Penting menyadari bahwa zat-zat tersebut dapat menyebabkan pusing, lemas, pening, dan menempatkan perempuan dalam situasi rentan DFSA.”
Dalam laporan yang ditulis VAW, mayoritas korban DFSA mengaku amnesia total atau hanya ingat sebagian serangan. Terdapat beberapa efek yang terjadi akibat DFSA, mulai dari gejala mabuk berlebih, bingung, pusing, ngantuk, mual, muntah, bahkan pingsan. Mereka baru menyadari telah menjadi korban DFSA setelah terbangun dan menemukan dirinya telanjang, atau pakaiannya berantakan.
Hampir setengah dari mereka juga mengalami luka akibat serangan. Namun hanya sedikit korban yang langsung sigap mencari bantuan, sebanyak 3 dari 4 korban malah menunda bantuan selama lebih dari 12 jam. Kondisi tersebut terjadi karena beberapa faktor, termasuk efek obat atau alkohol yang digunakan, kurangnya pengetahuan tentang layanan bantuan, bingung atas peristiwa yang dialami, dan menyalahkan diri sendiri.
Perempuan Korban Napza di Indonesia
Di Indonesia, perempuan dengan kasus penyalahgunaan narkotika juga tak kalah memiliki nasib yang miris. Banyak di antara mereka harus berjibaku dengan masalah akses kesehatan buruk, diskriminasi, hingga pelecehan. Bahkan, ada yang dilakukan oleh orang-orang terdekat.
Pada tahun 2016 lalu, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), bekerja sama dengan Universitas Oxford meluncurkan hasil survei bertajuk “Perempuan Bersuara: Memahami Pengguna Napza Perempuan di Indonesia.” Publikasi ini menjelaskan hasil penelitian pada 730 pengguna napza perempuan dari DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Hasilnya menyatakan para perempuan ini sering mendapat kekerasan dari pasangan. Sebanyak 76 persen responden melaporkan kekerasan verbal, fisik dan seksual dari suami atau pacar. Lalu 71 persen mendapat kekerasan psikologis, 50 persen mengalami kekerasan fisik.
Terdapat 33 persen responden yang mendapat kekerasan fisik dan mengakibatkan cidera. Sebesar 6 persen dari mereka harus melakukan kunjungan dokter atau ruang gawat darurat setelah mengalami kekerasan fisik yang parah dalam setahun terakhir. Lalu terakhir 38 persennya pernah dilecehkan oleh pasangan secara seksual.
“Belum ada program pencegahan kekerasan dan pelaporan bagi perempuan pengguna napza,” papar Mira Febriyanti dari divisi program perempuan dan gender PKNI.
Ia melanjutkan, layanan bantuan hukum juga seringkali tidak dapat diakses oleh perempuan pengguna napza yang secara sosial sudah terisolasi dan terpinggirkan. Alih-alih mendapat bantuan hukum, sekitar 87 persen dari mereka diperas polisi ketika berada dalam tahanan. Mereka harus menyetor uang sogokan untuk mengurangi tuntutan, menerima rujukan ke layanan ketergantungan obat, atau sebagai pembebas.
Beberapa perempuan malah dipaksa mengadukan teman-teman mereka yang menggunakan napza untuk mengurangi atau membatalkan tuntutan. Proses ini dikenal dengan “tukar kepala”. Dalam menangani kasus penyalahgunaan narkoba oleh perempuan, polisi dan penegak hukum juga dilaporkan sering melakukan kekerasan verbal. Sebanyak 60 persen responden mengaku pernah dihina, dipanggil dengan sebutan tertentu, dimarahi atau dicemooh.
“Kami sering menerima diskriminasi dari masyarakat, petugas layanan kesehatan, dan sistem peradilan. Padahal, kami pun manusia, pantas mendapatkan hak yang sama seperti orang lain,” kata Mira.
Tak hanya kekerasan verbal yang dialami para responden yang pernah merasakan bermalam di terungku. Ada 27 persen responden yang pernah mendapat kekerasan fisik seperti ditampar, ditinju, ditendang, atau dipukul, lalu 5 persen melaporkan mengalami pelecehan seksual oleh polisi, seperti paksaan melakukan seks vaginal atau anal, oral seks, disentuh atau diraba dengan tidak pantas di area intim di luar kehendak mereka.
Editor: Maulida Sri Handayani