Menuju konten utama

"Rahim Anget" karena Jojo: Pelecehan Seksual atau Bukan?

Jika ekspresi seksual online mulai merambah jalur pribadi, ia bisa dikategorikan pelecehan seksual.

Aksi selebrasi Jonatan Christie usai mengalahkan Chou Tien Chen dari Cina Taipe di Final Tunggal Putra Bulutangkis Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/18). tirto.id/Andrey Gomico

tirto.id - Tagar #jojobukabaju menjadi topik teratas pada linimasa media sosial setelah Jonatan Christie berhasil meraih medali emas dari cabang bulutangkis tunggal putra. Tagar tersebut muncul tak hanya sebagai bentuk apresiasi terhadap prestasi Jojo saja, beberapa warganet juga menuliskan ekspresi seksual mereka, seperti:

“#jojobukabaju kenapa sih cuma kaosnya doang yang dibuka .. Gemes deh pengen merosotin celananya HAHAHA ..”

“Aaak gantengnya! Rahim gue anget”

Selain rahim anget, ada pula beberapa kata yang menjadi populer belakangan ini, misalnya "ovarium meledak", "tuba fallopi bergetar", "serviks melebar", hingga "hamil online".

Ekspresi seksual tersebut menjadi perdebatan hangat di kalangan warganet. Ada yang menganggap ungkapan-ungkapan itu berlebihan, bahkan tak etis.

“Jijik banget enggak, sih. Kadang gue mikir, ini netizen pada norak apa [gimana] sih, kayaknya pada over [banget]. Gue juga suka dan bangga sama Jojo, tapi ya udah sekedar itu aja. Apalagi sama yang bilang rahim anget, dll. Mau bercanda atau enggak, itu disgusting banget sumpah.”

“Sebagai perempuan, malu lihatnya. Coba kalau ibumu tahu kalian kayak gitu, apa enggak malu ibumu? Kalian mempermalukan harga diri kalian sendiri dengan bilang rahim anget, etc. Apalagi cari pembenaran dengan hasrat laki-laki dan perempuan beda. Sorry to say, murahan banget.”

“Cewe enak ya, kalau horny ngomong rahim anget, tapi kesannya enggak sexual harassment. Coba cowok lagi horny bilang ‘aduh titid gw ngaceng’, langsung dibilang sexual harrassment.

Pelecehan Seksual Online

Pada 2017 lalu, lembaga survei Pew Research Center melakukan penelitian terhadap 4.248 penduduk Amerika Serikat. Hasilnya, 41 persen responden diketahui pernah mengalami pelecehan online, dan 66 persen dari mereka pernah melihat aktivitas pelecehan secara online.

Umumnya, pelecehan tersebut dialami oleh mereka yang berada dalam usia dewasa muda, yakni 18 hingga 29 tahun (67 persen penduduk dewasa muda). Meski begitu, rupanya kasus ini juga dapat dialami oleh kelompok usia 30 hingga 49 tahun (49 persen populasi usia), serta kelompok usia 50 tahun ke atas (22 persen populasi usia).

Di akhir 2017, UK Safer Internet Centre pernah melakukan penelitian terhadap 3.257 remaja di Denmark, Hungaria, dan Inggris untuk mengetahui pengalaman mereka terhadap pelecehan seksual online.

Dalam penelitian itu, mereka membagi pelecehan seksual dalam 4 jenis. Pertama, perilaku pelecehan menggunakan konten digital (gambar, video, posting, pesan, halaman) di berbagai platform, baik pribadi maupun publik. Kedua, pelecehan hingga membuat seseorang merasa terancam, dieksploitasi, dan dipaksa. Ketiga, kekerasan seksual yang membuat korban dikucilkan dari kelompok atau komunitas tertentu akibat konten seksual. Terakhir, permintaan seks dari seseorang, baik melalui komentar maupun konten.

Pada kasus seksualisasi yang tak diinginkan, 24 persen responden menyampaikan bahwa mereka pernah menerima komentar bernada seksual pada foto mereka. Yang patut dicermati, meski umumnya hal tersebut terjadi pada perempuan, laki-laki pun mengalaminya. Umumnya, responden menyampaikan bahwa foto mereka kerap dijadikan objek seksual.

Infografik Pelecehan Online

Apakah Mengagumi Badan Atlet Pelecehan Seksual?

Kim Toffoleti dan Peter Mewett pernah melakukan studi berjudul “’Oh yes, he is hot’: Female Football Fans and The Sexual Objectification of Sportsmen’s Bodies” (PDF). Dalam penelitian itu, Toffoleti dan Mewett melakukan wawancara terhadap 69 wanita berusia 18 hingga 80 tahun, yang merupakan penggemar Australian Football (AFL) di Melbourne, Sydney, Perth, dan Geelong.

“Semua wawancara menggunakan format semi terstruktur dengan daftar topik, termasuk alasan partisipan menjadi fans sepak bola, cara memberikan dukungan, pandangan tentang pelecehan seksual yang dilontarkan kepada pemain sepak bola, serta kesenangan dan aspek negatif dari dukungan. Namun, fokus penelitian ini untuk bertanya pendapat responden tentang tubuh pemain saat menonton sepak bola,” tulis Toffoleti dan Mewett.

Dalam penelitian itu, didapati bahwa fans perempuan yang menyampaikan ekspresi seksualnya dianggap berlebihan. Para fans itu dianggap hanya menonton pertandingan untuk melihat tubuh sang atlet. Meski begitu, secara pribadi, mereka menolak dianggap menjadikan pria sebagai objek seksual. Pembicaraan atlet sebagai objek seksual pun cenderung dilakukan dalam kelompok.

“Diskusi kelompok terarah pada pemain sepakbola yang diinginkan secara seksual, mengungkapkan kesenangan yang dialami banyak penggemar wanita ketika menonton dan berbicara tentang atlet pria yang ‘seksi’. Dalam kelompok, obrolan tentang pemain sepakbola sebagai objek seks hampir selalu disertai dengan tawa bersama,” ungkap Toffoleti dan Mewwet.

Dalam penelitian itu, para perempuan membangun narasi terhadap keseksian pemain dalam konteks olahraga. Mereka menganggap atlet-atlet itu adalah orang yang tangguh dan terampil, serta memiliki daya kompetisi tinggi.

Dengan kata lain, objektifikasi secara seksual atlet sepakbola laki-laki oleh fans perempuan tidak mengurangi nilai kekaguman terhadap mereka di dunia olahraga.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ungkapan seperti "rahim anget" yang ditujukan pada Jojo merupakan pelecehan seksual?

Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Sigiro, menyampaikan kasus yang terjadi pada Jojo hendaknya dilihat kasus per kasus. Sebab, Jojo yang menjadi sasaran objektifikasi seksual merupakan seorang pria. Umumnya, netizen menyampaikan ekspresi seksual, tak sampai pada pelecehan.

“Ketika seorang perempuan mengatakan ujaran seksual, [pada umumnya] tidak ada relasi kuasa. Hanya sebagai ungkapan ekspresi seksual,” ujar Atnike.

Atnike juga menjelaskan, objektifikasi yang dilakukan terhadap Jojo berbeda dengan objektifikasi yang dilakukan terhadap foto seorang perempuan. Dalam kasus terakhir, orang cenderung mengeluarkan komentar yang merendahkan seorang perempuan, bahkan menghakimi.

Namun, menurutnya, para penggemar juga mesti waspada. Jangan sampai ekspresi seksual itu berlanjut lebih jauh menjadi pelecehan. Menyampaikan ekspresi seksual, misalnya dengan menandai atau tagging—apalagi mengirim pesan pribadi lewat aplikasi messenger terhadap akun seseorang, adalah bentuk pelecehan seksual.

“Yang perlu diamati, apakah gejala di dunia media sosial merambah privat Jojo. Kita belum tahu, apakah [gejala tersebut] sampai pada obsesi mendekatkan di media sosial kepada si objek atau tidak. Yang kedua, apakah ada reproduksi foto tersebut yang menjadi media seksual,” ungkap Atnike.

Ia juga menyampaikan bahwa ekspresi seksual yang berlanjut pelecehan seksual bisa menjadi semacam bumerang bagi perempuan.

“Yang saya khawatirkan, kalau perempuan tidak bisa menyadari batas ekspresi seksual atau objektifikasi, suatu saat [laki-laki peleceh] akan melecehkan perempuan dengan ungkapan seperti itu. Dan ungkapan yang mereka lakukan menjadi pembenaran sebuah pelecehan,” tutur Atnike.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani