Menuju konten utama

Kasus Acho dan Hak-Hak Konsumen yang Diabaikan

UU ITE kerap digunakan untuk mempidanakan konsumen.

Kasus Acho dan Hak-Hak Konsumen yang Diabaikan
Apartemen Green Pramuka City, Jakarta. Tirto.ID/Andrey Gromico

tirto.id - “Waspadalah sebelum membeli Apartemen Green Pramuka City. Ya, saya hanya ingin Anda waspada, bukan melarang Anda beli. Mohon jangan salah paham.”

Kalimat itu membuka curhatan Muhadkly Acho di blog pribadinya pada 8 Maret 2015 silam. Dalam tulisan berjudul “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” Acho memang gamblang menyebut hak-hak konsumen (pembeli) Apartemen Green Pramuka yang diabaikan pihak pengembang.

Komika yang namanya melambung lewat tayangan “Stand Up Comedy Show” di Metro TV ini misalnya menyebut pengembang ingkar terkait penyediaan 80 persen lahan hijau dari total keseluruhan area. Acho juga menyebut pengembang tidak memenuhi janji soal penyerahan sertifikat kepada penghuni yang telah tinggal selama dua tahun. Ia juga mengeluhkan sejumlah pungutan dan buruknya fasilitas apartemen yang tidak sesuai perjanjian.

Bukan sekadar mengeluh, Acho melengkapi curhatannya dengan sejumlah bukti seperti brosur penjualan Apartemen Green Pramuka City dan daftar biaya yang mesti ditanggung konsumen terkait izin pemasangan property baru di dalam unit yang mereka tinggali.

Di dalam daftar itu misalnya tertulis penghuni yang ingin memasan cermin di dalam unitnya mesti membayar Rp 50.000. Sedangkan mereka yang ingin memasan bracket televisi mesti membayar Rp 200.000. Padahal, kata Acho, harga bracket televisi saja hanya Rp 150.000.

“Coba deh anda pikir pakai akal sehat dan hati nurani, ini rumah anda, lalu saat anda mau beli sesuatu untuk rumah anda, mereka minta duit, apa dong namanya kalau begitu? apakah ini bisa dibilang ‘Biaya Preman’?” tulis Acho.

Alih-alih mendapat tanggapan atas keluhannya Danang Surya Winata selaku kuasa hukum dari PT Duta Paramindo Sejahtera (pengelola Apartemen Green Pramuka/AGP) malah melaporkan Acho ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan fitnah pasal 310-311 KUHP. Laporan itu dilakukan pada 5 November 2015. Akhirnya setelah hampir dua tahun kemudian, tepanya 27 Juli 2017 lalu, polisi menyatakan berkas perkara Acho sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke tahap penuntutan oleh kejaksaan di pengadilan (P21).

Bagi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus abadi, jerat hukum yang dialami Acho merupakan bentuk kriminalisasi terhadap konsumen. Di sisi lain hal itu juga menggambarkan arogansi pengembang. “Ini tindakan kontraproduktif untuk perlindungan konsumen Indonesia,” kata Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima tirto, Minggu (7/7).

Menurut Tulus curhatan Acho mestinya tidak terjadi seandainya pengembang AGP menjunjung etika dalam berbisnis. Misalnya dengan memberikan janji-janji yang realistis kepada calon konsumen dan mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama. “Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif,” ujarnya.

Sepengamatan Tulus, keluhan Acho dan penghuni APG sesuai realitas di lapangan. Dalam konteks itu mereka mendapat jaminan perlindungan dari Undang-Undang Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8/1999 secara gamblang menyebutkan hak-hak yang dimiliki konsumen. Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut dinyatakan 9 hak yang dimiliki konsumen, beberapa di antaranya adalah: Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau/jasa; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabilang barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo punya pandangan senada. Ia mengatakan polisi mestinya bersikap objektif dalam menangangi kasus Acho. Sebab menurutnya, Acho sebagai konsumen berhak mempertanyakan kebijakan pihak pengelola apartemen yang dibelinya. Di sisi lain Sudaryatmo juga menilai pelaporan Acho ke polisi justru hanya akan menjadi boomerang bagi mereka. “Jadi begini kalau konsumen mengadu malah dikriminalisasi ini malah merugikan developer. Developer juga perlu aduan konsumen untuk memperbaiki layanan mereka,” ujarnya.

Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) menilai kasus yang menimpa Acho merupakan wujud shock therapy bagi para penguin APG lain yang tidak puas dengan pelayanan pengembang. Sebab menurutnya selain Acho ada banyak pelanggan lain yang melakukan protes serupa melalui media sosial.

Damar yang juga kuasa hukum Acho menyayangkan penggunaan UU ITE oleh aparat. Menurutnya undang-undang tersebut mestinya melindungi masyarakat bukan malah mengkriminalisasi mereka. “Kasus yang menimpa Acho adalah salah satu bukti konsumen yang sebenarnya dirugikan malah bisa dipidanakan dengan pasal represif UU ITE,” katanya.

Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Derriyan menyatakan UU ITE dibuat untuk mengatur rakyat Indonesia agar tidak beropini seenaknya terkait dengan orang lain. Ia yakin betul bahwa polisi telah memiliki bukti untuk menyeret Acho ke pengadilan. Ade menyebut polisi memiliki 20 sampai 25 saksi yang menyatakan Acho merugikan APG. Selain daripada itu ada 4 ahli yang terdiri dari ahli hukum ITE, ahli pidana, dan ahli bahasa.

Sedangkan Acho – dalam pemaparannya kepada tirto – merasa tulisannya tidak melanggar hukum yang berlaku. Sebagai orang yang pernah bekerja di media agensi selama 7 tahun – ia cukup percaya diri tulisannya tidak memuat pencemaran nama baik dalam tulisan yang juga menyertakan beberapa kutipan pasal undang-undang terkait hak dan kewajiban pemilik apartemen. Konteks tulisan yang ia buat haruslah dipahami sebagai situasi yang terjadi saat tulisan dibuat pada 8 Maret 2015, dan bukan 2017. “Makanya saya tulis disclaimer di tulisan saya. ‘Pada saat tulisan ini ditulis, peraturan tersebut masih berlaku’,” katanya.

“Ini untuk kepentingan umum. Jadi saya nulis setidaknya orang sebelum beli jadi punya bahan pertimbangan. Juga syukur-syukur tulisan saya ini bisa buat bahan buat pengelola supaya mereka berbenah,” katanya ketika ditanya motivasi terkait tulisan hasil risetnya selama sebulan tersebut.

Atas maraknya kasus tersebut, pengembang Green Pramuka menggelar konferensi pers. Pengembang Apartemen Green Pramuka melalui Kuasa Hukumnya Muhammad Rizal Siregar, membantah melakukan kriminalisasi terhadap salah satu penghuni apartemen yakni Muhadkly alias Acho. Menurutnya, pengembang hanya menjalani hak hukum untuk melaporkan dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan Acho.

"Jika kita mengacu landasan konstitusi bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, apakah salah apabila pengembang melakukan pelaporan terhadap pemilik apabila terjadi tindak pidana yang merugikan pengembang?" ungkapnya di Green Pramuka City, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017).

Pihaknya juga keberatan terhadap pemberitaan media massa yang selama ini terkesan menyudutkan pihak apartemen. Ia menegaskan: "Kalau tindakan ini tidak dihentikan kami akan melakukan tindakan hukum kepada semua pihak tanpa terkecuali," tambahnya.

Baca juga artikel terkait KASUS ACHO atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar