tirto.id - Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen M. Sabrar Fadhilah, menyebut bahwa pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto soal masuknya oknum militer dalam peradilan sipil diplesetkan. Sabrar menerangkan bahwa Hadi tidak menyetujui adanya oknum militer yang bisa ditindak di peradilan sipil.
Menurut Sabrar, Hadi malah menjelaskan bahwa butuh pemisah yang jelas antara KUHP Militer dan KUHP umum. Fadhil mengungkapkan tindakan TNI ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahwa militer mempunyai kekhususan untuk tidak melakukan peradilan secara terbuka.
“Institusi TNI merupakan organisasi yang memiliki kekhususan dalam pelaksanaan tugasnya (lec spesialis), Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sampai saat ini masih berlaku dan belum ada perubahan sehingga tindak pidana yang dilakukan oknum TNI dilaksanakan di peradilan militer,” ungkap Sabrar, Sabtu (16/12/2017).
Hal ini disampaikan oleh Sabrar melalui keterangan tertulisnya. Ia berpendapat bahwa Hadi tidak menyetujui sama sekali soal militer untuk diadili melalui peradilan sipil, meski sebelumnya banyak pihak yang mendorong terealisasinya hal tersebut.
Terkait tidak perlunya militer masuk ke peradilan umum, dinyatakan Sabrar, karena militer sudah perangkat hukum yang sudah mapan dan mampu mewadahi sertai menangani segala persoalan hukum secara tepat dan berkeadilan.
Hal ini juga didasarkan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi bahwa peradilan militer berkedudukan setara dengan peradilan sipil di bawah naungan Mahkamah Agung. Berdasarkan itulah ia menyatakan peradilan militer maupun umum dijamin oleh konstitusi.
“Semoga dengan pelurusan melalui klarifikasi ini tidak terjadi bias dan menimbulkan interpretasi yang keliru di masyarakat,” katanya lagi.
Sebelumnya, Senin (11/12/2017), Hadi menjawab pertanyaan dari awak media yang meminta tanggapan terkait tuntutan masyarakat kepada TNI agar menindak anggotanya yang terlibat kasus dengan sipil di peradilan umum. Menanggapi hal ini, Hadi memang memberi penjelasan yang cenderung bias dan membuka penggabungan antara KUHPM dan KUHP.“Kita yang jelas siapa yang salah kita akan adili, rasa keadilan harus ada. Kita sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer) dan KUHP. Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," katanya.Tuntutan masyarakat ini datang karena peradilan bagi militer bersifat tertutup dan seringkali tidak diketahui bagaimana penyelesaiannya. Penyelidikan pun cenderung tidak dipublikasikan.Salah satu contoh kasus yang masih berjalan dan kunjung selesai adalah dugaan keterlibatan anggota TNI pada penganiayaan hingga tewas salah satu warga Maluku Utara, La Gode. Ia meninggal dengan kondisi kuku kaki dicabut paksa dan gigi atas serta bawahnya juga dicabut.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dipna Videlia Putsanra