tirto.id - Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membuka kemungkinan menerapkan sistem peradilan umum atau sipil kepada oknum militer yang kedapatan melanggar hukum, apalagi terhadap sipil. Rencana ini mengemuka selepas Hadi bertemu dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes TNI, Cilangkap, kemarin.
Rencana Hadi mendapat apresiasi dari Charles Honoris, anggota Komisi I DPR. Charles menyebut langkah Marsekal Hadi merupakan langkah lanjutan dalam mereformasi tubuh TNI. Rencana ini perlu ditindaklanjuti dengan revisi terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Sebetulnya yang harus dilakukan sekarang adalah melakukan revisi terhadap undang-undang peradilan militer,” kata Charles saat dihubungi Tirto, Selasa (12/12/2017).
Politikus PDIP ini menilai revisi itu menjadi pintu pembuka untuk mewujudkan wacana Marsekal Hadi. Revisi memungkinkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) bisa tersinkronisasi.
“Untuk menghindari cacat hukum dan pada dasarnya Undang-undang Militer bisa mengakomodasi peradilan umum,” kata Charles.
Secara pribadi, Charles pernah menyoroti perihal kasus kejahatan pembunuhan La Gode yang diduga dilakukan aparat militer di Pulau Taliabu, Maluku Utara. Ia menyebut kejadian itu sebagai pelanggaran HAM dan meminta kepada mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mengusut dan menggelar peradilan secara terbuka dan transparan kepada publik.
Ia menilai revisi undang-undang peradilan militer mesti disegerakan agar proses kasus tersebut dan kasus-kasus pelanggaran hak sipil lainnya oleh militer bisa segera dilakukan secara transparan.
“Agenda ini harus masuk dalam prolegnas,” kata Charles.
Wacana revisi UU Peradilan Militer ini sudah didengungkan sejumlah pihak. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pada 4 Oktober 2017, pernah menyampaikan pentingnya reformasi dalam peradilan militer.
Dalam keterangan pers yang disampaikan, Koalisi menyebut mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen sebagai implementasi dari penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945.
Pada pertemuan Panglima TNI dan Kapolri kemarin, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menyatakan keadilan harus ditegakkan untuk siapapun. Ia menilai perlu ada harmonisasi KUHPM dengan KUHP supaya pengadilan terhadap kejahatan yang dilakukan aparat bisa dituntut secara umum.
“Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," kata Hadi.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafid menyatakan peluang revisi undang-undang peradilan militer cukup terbuka dengan adanya wacana dari Marsekal Hadi. Komisi I akan menunggu kesiapan TNI dan pemerintah untuk merevisi UU tersebut.
“Peluangnya ada saja, karena kalau inisiasinya dari pemerintah itu akan lebih mudah," kata Meutya kepada Tirto.
Menurut Meutya, Marsekal Hadi bisa berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu untuk mengajukan revisi UU tersebut, supaya UU tersebut bisa masuk pembahasan meskipun belum masuk Prolegnas 2018.
"Kalau digodok lebih dulu di DPR justru akan lebih lama karena ada 10 fraksi. Kalau ada usulan dari pemerintah, tentu kami siap menerima," kata Meutya.
Pada masa periode sidang sebelumnya, DPR sempat mewacanakan revisi UU Peradilan Militer, tapi wacana tersebut urung dilakukan karena Komisi I hanya memiliki jatah terbatas untuk membahas undang-undang. Sementara, pemerintah saat itu tidak mengusulkan kepada DPR.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Maulida Sri Handayani