tirto.id - “Kalau betul-betul ada keadilan di dunia ini, saya ingin mereka yang aniaya dan bunuh suami saya diadili secara hukum seberat seperti mereka bunuh suami saya,” ujar istri La Gode via telepon kepada reporter Tirto dari sebuah tempat yang dirahasiakan karena ia berani buka suara.
Pekerjaan La Gode, 31 tahun, adalah berkebun tanaman cengkeh. Sementara istrinya, 28 tahun, adalah berdagang. Bersama tiga anak mereka, keluarga ini tinggal di Desa Balohang, Pulau Taliabu, sekitar dua hari dua malam dengan kapal laut dari Ternate, ibu kota Maluku Utara. Pulau Taliabu terletak di antara Pulau Sulawesi dan Maluku.
Pada 24 Oktober 2017, keluarga itu berselimut duka ketika menyaksikan sekujur tubuh La Gode berlumur luka. Gigi atas dan bawah dicabuti hingga ompong. Kuku di jempol kaki kanan dicabut. Bagian bibir, mata, hingga pipi kanannya bengkak. Kondisi itu bikin keluarga menduga La Gode “dianaya” hingga meninggal “dalam kondisi tak wajar.”
Dua minggu sebelumnya, menurut dokumen kronologi peristiwa dari keluarga korban, La Gode kepergok mencuri singkong parut 5 kg seharga Rp20 ribu milik seorang warga bernama Egi. Orang Maluku menyebut singkong parut itu sebagai kasbi gepe, singkong pahit yang diparut lalu diperas hingga menyisakan saripati lantas dijemur hingga kering. Kasbi gepe dipakai sebagai bahan utama untuk aneka penganan lokal Maluku.
Saat mencuri, seorang bintara yang mengepalai kepolisian Pos Lede, Brigadir Mardin, membawa La Gode ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan—TNI kerap menyingkatnya 'Satgas Ops Pamrahwan'—Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau, di bawah komando Korem 152/Baabulah dan Kodam XVI/Pattimura. Alasannya, pos polisi setempat tak punya ruang tahanan.
Lima hari kemudian, atau 15 Oktober, sebelum jam 6.00 pagi waktu setempat, La Gode melarikan diri, menuju rumah dan sempat bertemu istrinya yang berdagang. Istrinya bertanya: Mengapa lari dari pos satgas tentara dan mengapa ia bisa dibawa ke tempat itu?
La Gode mengakui telah mencuri kasbi gepe dan siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dengan uang Rp200 ribu atau berapa pun sesuai keinginan pemilik gepe. Tapi, menurut istrinya dari obrolan dengan La Gode, polisi yang menangkapnya tak peduli atas tawaran tersebut.
La Gode bercerita ia dipukuli oleh tentara di Pos Satgas TNI. Bagian dadanya nyeri bekas dipukul, kata istrinya. Tak tahan atas penyiksaan itu, ia pun memutuskan untuk melarikan diri.
Tetapi, pada dini hari tanggal 23 Oktober, La Gode ditangkap kembali oleh anggota kepolisian Pos Lede, anggota Satgas TNI, dan anggota Babinsa (tentara tingkat bintara yang bertugas “membina desa” di setiap Koramil). La Gode dibawa paksa ke Pos Satgas TNI. Ia diinterogasi dan dipukuli lagi. Kali ini penyiksaan lebih keras sampai ia tewas.
Menurut keterangan keluarga, La Gode tewas pada 24 Oktober sekitar pukul 04.30 dengan “kondisi tidak wajar.” Di hari itu, sekitar pukul 13.00, mayat korban diantar ke Puskesmas Lede, dengan mendatangkan dokter dari kabupaten, untuk proses visum. Sesudahnya, jenazah dibawa ke rumah keluarga korban dengan ambulans Puskesmas Lede.
Adik sepupu La Gode berkata via telepon kepada redaksi Tirto bahwa tentara dan polisi melarang keluarga mengabadikan kondisi mayat korban.
“Kami tidak diperbolehkan mengambil foto maupun video. Itu dilarang oleh anggota TNI, anggota Satgas (Ops Pamrahwan),” ungkapnya.
Tiga hari setelahnya, Komandan Kompi Kapten Infanteri Ruslan Buton mendatangi istri La Gode. Ruslan siap memberikan uang setara dengan penghasilan istri La Gode selama sembilan bulan. Istri La Gode menolak.
Berseragam tentara, anggota Satgas Ops Pamrahwan bernama Eko mendatangi istri La Gode pada 3 November. Eko menyampaikan amanat dari Ruslan agar istri La Gode “tak perlu memperpanjang masalah ke ranah hukum." Menurut istri La Gode, Eko mengakui perbuatannya yang bikin luka-luka di kaki La Gode.
Selanjutnya, Eko meminta istri La Gode ke Satgas Ops Pamrahwan. Katanya, ada anggota Pos Militer dari Jakarta yang ingin bertemu. Istri La Gode menolak karena tak ada surat tugas yang dia bawa. Akhirnya, Eko meminta orang yang mengaku dari Pos Militer itu untuk mendatangi rumah La Gode. Setelahnya, Eko pamitan dan bilang “akan ke gereja.”
Ruslan kembali ke rumah La Gode pada 10 November. Ia datang bersama empat tentara dengan membawa beras dan amplop. Namun, ajakan “damai” tetap ditolak oleh istri La Gode, yang ngotot menuntut pertanggungjawaban anggota kepolisian maupun TNI atas kematian suaminya.
Luka-luka di tubuh La Gode saat proses visum pada 24 Oktober 2017. FOTO/KontraS
Pengakuan TNI
Letkol Infanteri Raymond Sitanggang, Komandan Yonif Raider Khusus 732/Banau, mengatakan bahwa langkah anggota Kepolisian Pos Lede yang membawa La Gode ke Pos Satgas TNI sebagai upaya “dititipkan”, bukan “ditahan”.
Sitanggang mengakui ada anggota Satgas TNI bernama Eko. Ia mengklaim bahwa Eko tak pernah mengaku kepada pihak keluarga sebagai bagian yang terlibat menganiaya La Gode.
“Setahu saya, Eko-lah yang paling perhatian ke almarhum (La Gode). Dia yang mengajari salat dan mengaji,” ujar Sitanggang via telepon saat reporter Tirto mengonfirmasi dugaan keterlibatan tentara dalam kematian La Gode.
Keterangan ini janggal bila merujuk keterangan istri La Gode bahwa Eko berpamitan untuk pergi ke gereja.
Kepala Penerangan Kodam XVI/ Pattimura, Letkol Armed Sarkitansi Sihaloho, membantah atas informasi bahwa personel TNI mengintimidasi keluarga korban supaya kasus La Gode diupayakan “damai”.
Sihaloho mengklaim bahwa La Gode adalah “residivis yang sering melakukan pencurian.” Setelah La Gode kepergok mencuri kasbi gepe, pihak polisi menyerahkan ke Pos Satgas TNI Ops Pamrahwan untuk “dibina.”
“Dia hanya tinggal di situ, dititipkan, dan diajari salat. Apel pagi dan senam pagi dengan anak-anak,” kata Sihaloho.
“Tidak ada dilatih militer,” lanjutnya. ”Dia hanya dikasih pembinaan, pengarahan, mengenai doktrin-doktrin saja.”
Sihaloho “tak paham” kenapa lima hari kemudian La Gode “kabur” dari Pos Satgas TNI.
Selama La Gode melarikan diri—artinya selama 8 hari antara 15 Oktober hingga 23 Oktober—ada peristiwa dua kali pencurian di Kecamatan Lede. Pelakunya diduga “orang bertopeng dengan senjata parang.”
Menurut Sihaloho, ketika ditangkap dan diinterogasi, La Gode mengakui telah melakukan dua kali pencurian saat kabur.
Versi tentara: Masyarakat mengamuk. Lalu ada yang teriak: “Bunuh saja!”
“Karena ada teriakan itu, La Gode lari lagi. Dikejar massa. Dia masuk ke got. Nah, di situ, dia dihakimi oleh massa,” klaim Sihaloho. “Kami tidak bisa menahan massa. Jadi bukan mati di Pos (Satgas) TNI.”
Versi tentara: setelah La Gode tewas, masyarakat menolaknya untuk dimakamkan. Tanpa intervensi TNI, masyarakat membuat surat memuat pernyataan yang mengapresiasi kerja tentara dan polisi setempat yang menangkap La Gode, yang berujung kematian.
“Ada tanda tangan mereka, sekitar 1.200 orang,” klaim Sihaloho.
Sihaloho berkata “lupa” atas peristiwa kematian La Gode saat didesak oleh reporter Tirto untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih detail.
“Dua bulan yang lalu (kasus ini) sudah selesai,” tambahnya.
Luka-luka di punggung La Gode saat proses visum. FOTO/KontraS
Bantahan Keluarga Korban dan Desakan KontraS
Namun, berdasarkan dokumen yang diterima redaksi Tirto, keterangan atau klaim Letkol Armed Sarkitansi Sihaloho patut dipertanyakan.
Surat “tanda tangan” yang disebut Sihaloho ini berasal dari Pemkab Taliabu Kecamatan Leda, bertanggal 30 Oktober 2017, yang ditandatangani oleh Kepala Desa Lede. Surat itu memuat 15 warga yang mengaku tokoh agama, pimpinan RT, pimpinan RW, pimpinan Dusun, dan tokoh pemuda.
Surat disertai lampiran tanda tangan 87 orang dari Dusun Sabah Jaya, 41 orang Dusun Mekar Jaya, dan 44 warga Dusun Liang Sia.
Total tanda tangan itu berjumlah 187 warga, bukan 1.200 warga sebagaimana klaim Sihaloho.
Tim investigasi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merangkum fakta dari lapangan bahwa kasus pembunuhan La Gode bukanlah “pengeroyokan” oleh massa. Mengambil keterangan dari sedikitnya lima saksi, KontraS menegaskan bahwa “warga dipaksa tanda tangan” tanpa mengetahui untuk apa.
Pada 20 November, didampingi penggiat hak asasi manusia setempat termasuk KontraS, istri La Gode mendatangi Datasemen Polisi Militer XVI/1 dan Polda Maluku Utara di Kota Ternate. Tujuannya untuk mengadukan “kasus pidana penganiayaan” hingga mengakibatkan suaminya terbunuh.
Di institusi TNI, pengaduan ini diketahui oleh Kapten CPM Dwi Anto Saputra sebagai komandan Polisi militer. Sementara di kepolisian, laporan ditandatangani oleh AKBP Ervan Drachman sebagai Kepala SPKT Polda Malut.
Koordinator Kontras, Yati Andriyani, menegaskan TNI tak punya hak untuk mengadili atau memproses hukum tindak pidana oleh masyarakat. Seharusnya kantor Kepolisian Pos Lede menyerahkan La Gode ke institusi di atasnya, baik ke Polsek, Polres, maupun Polda. Tak ada alasan bahwa pos polisi setempat tak punya ruang tahanan.
Keluarga korban memang mengakui bahwa La Gode pernah masuk penjara karena mencuri cengkeh. Namun, hal ini tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap korban.
“Apa pun statusnya, tidak boleh dilakukan penyiksaan. Dalam kasus ini, terjadi pelanggaran HAM,” ujar Yati.
KontraS mendesak agar Mabes TNI dan Mabes Polri mengevaluasi Satgas Ops Pamrahwan di Pulau Taliabu. “Mereka harus membentuk tim independen dan bekerja secara profesional untuk menyelesaikan kasus ini,” ungkapnya.
Kuku kaki kanan La Gode dicabut. Menurut KontraS, tak mungkin korban dikeroyok. FOTO/KontraS
Selama Agustus 2016 hingga Agustus 2017, berdasarkan catatan KontraS, ada 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan serdadu. Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 orang luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 65 peristiwa penganiayaan sipil.
“Kalau terus disembunyikan atau ditutupi, pola kekerasan semacam ini akan terus terulang,” Yati menambahkan.
Baca juga:TNI Masih Berkubang Pelanggaran HAM
Adik sepupu La Gode mengatakan kepada redaksi Tirto bahwa pihak TNI dan Polri membuat tuduhan yang tidak logis.
Dilihat dari luka-luka di sekujur tubuh korban, serta kuku kaki dan gigi dicabut, sangat “tidak masuk akal” bahwa korban terbunuh karena “pengeroyokan.” Luka-luka semacam ini adalah buah tangan ahli, yang memahami metode penyiksaan.
“Masyarakat mendukung keluarga untuk mengusut kasus ini. Karena masyarakat enggak mau dituduh melakukan penganiayaan terhadap korban,” tegasnya.
Hingga laporan ini dilansir, Kapolda Malut Brigjen Achmad Juri dan Kabid Humas Polda Malut AKBP Hendry Badar belum bisa dikonfirmasi mengapa kepolisian setempat di Pulau Taliabu menyerahkan La Gode ke personel Pos Satgas TNI. Keduanya belum merespons pertanyaan yang diajukan redaksi Tirto, yang mengontak mereka lebih dari lima kali.
Sampai Minggu, 26 November, istri La Gode masih di sebuah tempat aman, yang jaraknya ratusan kilo dari rumahnya, tempat ketiga anaknya masih di sana. Ketiga anaknya di Pulau Taliabu bercerita bahwa aparat TNI selalu datang ke rumah untuk mencarinya.
“Uang dan harta sebesar apa pun tidak ada artinya untuk mengganti nyawa suami saya,” ujar istri La Gode. “Tentaralah yang bunuh suami saya.”
Kedua tangan La Gode diikat ke belakang dalam penjagaan tentara di Pos Satgas TNI Yonif Raider Khusus 732/Banau. Keluarga meyakini La Gode terbunuh di sini. FOTO/KontraS
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam