Menuju konten utama

Kakek Shigeo Tokuda, Legenda Film Porno Jepang

Bagaimana film porno manula menjadi komoditas ekspor film dewasa Jepang.

Kakek Shigeo Tokuda, Legenda Film Porno Jepang
Aktor film porno Jepang, Shigeo Tokuda. REUTERS/Kim Kyung-Hoon

tirto.id - Di Jepang, nyaris segala bentuk pornografi bisa Anda temukan. Jika Anda menyukai persilangan antara kepuasan birahi sembari menikmati biota laut, ada genre Shokushu Goukan atau tentacle rape yang menghadirkan imaji perempuan diperkosa oleh gurita. Perempuan tentu nyaris selalu jadi obyek kenikmatan, mereka tak punya pilihan untuk jadi pihak dominan.

Sejarah pornografi Jepang ala Shokushu Goukan bisa dilacak hingga 1814 dari novel karya Hokusai Katsushika yang berjudul The Dream of the Fisherman's Wife.

Dalam buku Octopus!: The Most Mysterious Creature in the Sea karangan Katherine Harmon Courage, disebutkan bahwa dua seniman gambar asal Jepang, Toshio Saeki dan Masami Teraoka, menjadi nama penting dalam kancah erotika artistik dalam manga.

Tapi apakah Jepang hanya berhenti pada gaya porno semacam ini? Lima tahun terakhir ini, kancah film porno Jepang diramaikan oleh sosok manula yang menjadi bintang utama. Sesosok kakek yang usianya lebih dari 70 tahun banyak dicari sebagai pemeran utama dan dinikmati tidak hanya oleh orang Jepang sendiri, tapi orang-orang di seluruh dunia.

Baca juga: Asal Mula Film Dewasa Jepang

Nama kakek itu adalah Shigeo Tokuda. Lahir 18 Augustus 1934 di Chūō, Tokyo, Jepang, ia dikenal sebagai kakek legendaris dalam industri film porno negeri matahari terbit. Hingga 2008, ia telah membintangi lebih dari 200 film porno dan hingga 2017 sudah lebih dari 300 film.

Ciri fisik Kakek Shigeo tidak ada bedanya dengan manula seusianya. Ia tidak tampan, tidak juga gagah dengan otot kencang, apalagi penampilan parlente yang memukau. Pria berusia 84 tahun ini akan sangat mudah dianggap kakek biasa jika bukan karena profesinya.

Kakek Shigeo dulu berprofesi sebagai pekerja agen perjalanan. Ia memiliki seorang istri, dua orang anak dan cucu di pinggiran Tokyo. Tentu Shigeo Tokuda adalah nama panggung. Kepada Time, ia mengaku telah bermain di 350 film dengan ratusan perempuan dari berbagai usia selama 14 tahun terakhir.

Ia tampil dalam berbagai karakter yang memanjakan imajinasi laki-laki seperti kakek dengan cucunya, kakek dengan tetangganya, kakek dengan orang asing, dan yang tak normatif lain. Tentu semua pasangan si kakek hanya berperan sebagai pelengkap penderita saja.

Infografik Shigeo Tokuda

Kehadiran Kakek Shigeo—dan industri porno Jepang secara keseluruhan—adalah sebuah ironi di negaranya. National Institute of Population and Social Security Research (2016) menyebut intensitas seks warga di sana rendah. Menurut survei yang melibatkan 2.706 laki-laki dan 2.570 perempuan yang berusia 18-34 tahun tersebut, 42 persen responden lelaki mengaku masih perjaka, sementara 44,2 persen responden perempuan mengaku masih perawan.

Perdana menteri kala itu, Shinzo Abe, menyebut Jepang mengalami masalah dalam hal tingkat kelahiran. Negara ini pun disebut sebagai negara kurang seks.

Baca juga: Tua-Tua Keladi: Makin Tua Makin Seksi, Makin Dicari

Ironi Kakek Shigeo juga semakin menjadi dengan temuan Lembaga Keluarga Berencana Jepang yang menyebut bahwa warganya yang berusia 40 tahun nyaris tak pernah lagi melakukan hubungan seks. Survei yang melibatkan 1.200 orang yang berusia 16-49 tahun itu dilakukan pada 2016.

Sebanyak 655 responden yang mengikuti survei itu adalah laki-laki dan perempuan yang telah menikah. Dan 47,2 persen pasangan yang disurvei mengaku mereka belum melakukan hubungan seks selama sebulan terakhir saat survei dilakukan.

Namun, negara fakir seks ini menjadi salah satu raksasa industri film porno. Japan Adult Video setiap tahun memproduksi penghasilan hingga $20 miliar. Genre Manula adalah salah satu fetish yang banyak dicari oleh penonton, dan seri Kakek Shigeo adalah salah satu yang paling laku.

Film porno yang dibintangi manula memiliki pangsa pasar sebesar 20-30 persen. Tema yang banyak dicari adalah kakek-kakek bermain birahi dengan anak usia sekolah. Tentu pemerannya bukan benar-benar anak usia sekolah, sebab setiap aktor film dewasa Jepang haruslah orang dewasa.

Baca juga: Berporno-porno Dahulu, Film Mainstream Kemudian

Japan Adult Video atau JAC merupakan produksi film yang sangat menguntungkan. Setiap bulan selalu ada film porno baru. Layanan rental video Tsutaya di Jepang rata-rata menghasilkan 1.000 judul film per bulan, sementara untuk layanan pemesanan situs online, DMM merilis 2.000 judul per bulan.

Meski kebanyakan studio film menghadirkan karakter perempuan muda dan dewasa, manula atau perempuan paruh baya juga menjadi tren. Setidaknya, selama lima tahun terakhir, 300 dari 1.000 judul film porno yang ada diperankan oleh manula.

Masalah Industri Film Porno Jepang

Industri film porno Jepang bukannya tanpa masalah. Pada Juni 2016, kepolisian Jepang melakukan penangkapan terhadap tiga orang yang diduga memiliki koneksi dengan agensi talent besar di negara itu. Tuduhannya adalah pelanggaran hak pekerja dan perbudakan seksual. Mereka bertiga dituduh memberikan kontrak yang menjebak bagi perempuan-perempuan muda berusia 20 tahunan untuk menjadi bintang porno.

Permasalahan ini bukan hal yang baru. Salah satu tersangka yang menjabat presiden Marks Japan, Takashi Kozasu, diduga melakukan pelanggaran hukum terkait sistem kerja.

Baca juga: Mengapa Industri Film Porno Menjamur di Israel?

Jepang melarang agensi untuk mengirimkan pekerjanya melakukan pekerjaan berbahaya yang berlawanan dengan nilai moral publik. Kepolisian Jepang sendiri telah menyelidiki kasus ini sejak Desember 2015. Laporan Japan Times menyebut bahwa banyak perempuan berusia 20an yang dipaksa tampil di bawah ancaman finansial.

Mereka juga diancam diminta mengganti sejumlah uang sebagai pelanggaran kontrak jika menolak menjadi bintang porno. Salah seorang korban yang berniat menjadi model berujung menjadi bintang porno di lebih dari 100 film sepanjang 2009-2013.

Sebagai respons terhadap kejadian ini, 22 Juni tahun lalu Intellectual Property Promotion Association (IPPA), yang menjadi lembaga pengawas industri film porno Jepang, mengeluarkan permintaan maaf secara resmi. Mereka mengaku sangat menyesal karena telah terjadi peristiwa buruk ini dan gagal melakukan pencegahan juga penyelamatan. Mereka juga bekerja sama dengan lembaga hak asasi manusia untuk mengatasi masalah ini dan menyusun kerangka kerja yang aman bagi setiap pelaku industri.

Baca juga: Orang Indonesia di Film Biru

Ryuici Kadowaki, sutradara Ruby Inc, studio film porno yang fokus pada perempuan dewasa, mengatakan kepada Time bahwa mereka menyadari ceruk pasar ini sangat menguntungkan. Katanya, sudah terlalu banyak film porno Jepang yang menghadirkan perempuan lucu atau lelaki perkasa.

“Perempuan cantik hanya akan menjual selama tiga bulan pertama setelah rilis,” katanya. Adapun perempuan yang telah matang, perempuan paruh baya di atas 50 tahun, bisa terus dieksploitasi hingga 10 tahun.

Alasan penghematan biaya juga jadi pertimbangan. Biasanya perempuan muda yang melakukan debut dibayar $100 ribu per film, sementara perempuan paruh baya dibayar $2 ribu per film. Orang-orang kini tak lagi terobsesi dengan perempuan muda, kecuali dia mantan bintang atau idol, atau sosok orang terkenal yang tak lagi laku lantas banting setir jadi bintang film porno.

“Dalam pandangan masyarakat yang kian menua, aku pikir di masa depan akan ada permintaan yang terus menerus [terhadap bintang paruh baya],” kata Kadowaki.

Baca juga: Hanya Untuk yang Dewasa

Beberapa judul film Kakek Shigeo yang dianggap klasik adalah Maniac Training of Lolitas yang dirilis pada 2004. Seri kedua kemudian diluncurkan pada Agustus 2006 dengan judul Forbidden Elderly Care.

Kayoko Iimura, perwakilan Glory Quest Production, salah satu studio penyedia jasa film porno genre manula, mengatakan bahwa pihaknya memilih tema-tema nonkonvensional secara sadar. Sebab, katanya, jika mereka masih fokus pada film porno konvensional yang menghadirkan lelaki-perempuan sebaya, mereka tak bisa bersaing.

Maka, muncullah tema inses, perselingkuhan yang menempatkan perempuan sebagai pihak hina, dan seterusnya. Tema ini, menurut Iimura, adalah yang paling banyak laku.

Selain erotika antara lelaki tua dan perempuan muda, pergumulan yang menampilkan perempuan-perempuan tua juga menjual. Menurut Gaichi Kono, sutradara film porno dengan tema ini, erotika antara orang tua dan anak muda membuat penonton tertarik.

“Kupikir sebagai subyek, ada beberapa hal yang bisa dilakukan generasi tua miliki dan anak muda tak miliki. Ini karena orang tua hidup lebih banyak. Kita harus menghormati dan belajar dari mereka,” kata Kono.

Saat ini, di Jepang ada 30 juta orang berusia di atas 65 tahun dengan tingkat kelahiran rendah. Pasar industri film porno untuk manula merupakan ceruk terbatas yang memiliki penggemar setia. Kakek Shigeo mengatakan bahwa orang-orang seusianya sangat pemalu. Mereka tak lagi bisa menikmati drama atau tema-tema romansa.

Orang tua kerap dianggap remeh dan tak lagi mampu melakukan aktivitas seks, lanjutnya. Pada Shigeo, anggapan itu tak berlaku. “Orang-orang seusiaku biasanya sangat malu untuk memperlihatkan bagian privat mereka,” katanya, “tapi aku sangat bangga melakukan hal yang tak bisa mereka lakukan.”

Baca juga artikel terkait FILM PORNO atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani