tirto.id - Di Indonesia, tren "bekerja" di kafe merebak setidaknya sejak akhir dekade 2000-an, ketika banyak orang—khususnya anak muda—memiliki laptop pribadi. Kala itu, dengan membawa laptop masing-masing, anak-anak muda memadati kafe yang menyediakan Wi-Fi gratis. Ada yang mengerjakan tugas sekolah atau kuliah, sekadar bermain media sosial, serta, yang paling bikin kesal pengunjung lain, memanfaatkannya untuk mengunduh film.
Seiring dengan tumbuh dewasanya generasi itu, kebiasaan yang sudah dipupuk sejak zaman sekolah dan kuliah rupanya tidak lenyap begitu saja. Memasuki dunia kerja, tren tersebut justru makin marak. "Sudah punya penghasilan sendiri, kenapa tidak kerja di kafe saja?" kira-kira begitu isi kepala para pekerja urban. Ditambah lagi, teknologi pada dekade 2010-an makin menunjang. Tanpa perlu datang ke kantor, cukup duduk santai di sofa empuk sambil makan dan minum, toh pekerjaan bisa selesai juga.
Di Indonesia, fenomena semacam ini sudah menjadi pemandangan jamak, terutama di kota-kota besar. Makin hari, bekerja di kafe makin lumrah dilakukan. Apalagi, sejak pandemi COVID-19 melanda, banyak perusahaan akhirnya sadar bahwa bekerja jarak jauh bukanlah halangan untuk mencapai produktivitas. Asal komunikasi lancar dan semua tugas kelar, bekerja dari mana pun bukan persoalan.
Tokoh-Tokoh Besar yang "Terlahir" di Kafe
Meski terkesan sangat modern, bekerja dari kafe sesungguhnya sudah dilakukan oleh banyak orang sejak berabad-abad silam. Jauh sebelum menjadi titik kumpul para pekerja kreatif dan start up (perusahaan rintisan) kekinian, kafe sudah menjadi spot hangout favorit para penulis, filsuf, serta intelektual terdahulu.
Di Istanbul, misalnya, fenomena work from cafe sudah eksis sejak abad ke-16, setelah dibukanya kedai kopi (kahvehane) pertama pada 1555. Tempat itu pun segera dipenuhi para intelektual yang datang untuk berdiskusi atau sekadar kongko. Tak heran apabila kedai-kedai kopi itu lantas mendapat julukan "sekolahnya kaum beradab". Di sanalah bersemi diskusi-diskusi berbobot yang membawa berbagai pemikiran dari beragam latar belakang.
Kultur itu kemudian berkembang dan menjadi ciri khas bagi para intelektual Eropa. Lihat misalnya Cafe Landtmann di Wina, Austria, yang didirikan pada 1873, menjadi tempat menulis kesukaan bapak psikoanalisis dunia, Sigmund Freud. Beberapa penulis besar, seperti Peter Altenberg dan Felix Salten, serta komponis kenamaan, macam Gustav Mahler dan Emmerich Kalman, juga doyan sekali menghabiskan waktu di kafe tersebut.
Di Paris, budaya kerja di kafe juga sangat populer. Les Deux Magots dan Café de Flore, misalnya, menjadi tempat menulis dan nongkrong kesukaan penulis kondang asal Amerika Serikat, Ernest Hemingway.
Ada pula La Closerie de Lilas yang juga cukup nge-hype di kalangan intelektual dan pekerja kreatif era 1920-an, seperti Gertrude Stein (pencetus istilah Lost Generation), Leon Trotsky, serta F. Scott Fitzgerald. Pelukis-pelukis impresionis, misalnya Claude Monet dan Pierre-Auguste Renoir, juga sering menghabiskan waktunya di kafe tersebut.
Bagi mereka, kafe bukan cuma untuk bekerja, tetapi juga mencari sumber inspirasi serta jaringan.
Ruang Ketiga para Pekerja
Lantas, mengapa bekerja di kafe terasa begitu menyenangkan? Sosiolog perkotaan Amerika Serikat, Ray Oldenburg, menjabarkan jawabannya melalui konsep yang dinamai third place atau ruang ketiga.
Secara sederhana, ruang ketiga bisa dijelaskan sebagai ruang yang bukan rumah (ruang pertama) dan kantor (ruang kedua). Ruang ketiga adalah tempat kita bisa bersosialisasi, bertemu orang lain, serta bekerja tanpa tekanan.
Ada beberapa ciri ruang ketiga yang disampaikan oleh Oldenburg, yaitu: tempat netral, tidak mengenal status sosial, memungkinkan terjadinya percakapan, mudah diakses, berpengunjung tetap, memungkinkan privasi setiap orang terjaga dengan baik, dan membuat suasana hati jadi gembira. Kafe, tentu saja, cocok dengan deskripsi ruang ketiga ala Oldenburg tersebut.

Di kafe, seseorang bisa mengoperasikan laptop, duduk nyaman sambil makan dan minum, serta menyelesaikan pekerjaan, dengan dikelilingi suara percakapan orang lain juga aroma kopi yang baru saja diseduh. Di tempat ini, seharusnya tidak ada tekanan untuk terus-terusan produktif. Namun, menariknya, dengan suasana seperti itu, seseorang justru bisa bekerja lebih cepat dan efisien.
Seorang pekerja perusahaan rintisan bernama Fara (34) membenarkan asumsi tersebut. Sebelum memiliki anak, Fara terbilang sering bekerja di kafe dan tidak jarang ia membawa serta rekan-rekan satu timnya. Menurutnya, bekerja di kafe membuat pikirannya jadi lebih segar.
"Karena suasananya lebih nyantai, bisa makan minum enak, duduk di tempat yang AC-nya dingin, kadang sambil nyebat juga, itu bikin pikiran jadi lebih fresh buat nyelesaiin kerjaan," ucap Fara kepada Tirto (23/4).
"Yang jelas, environment-nya itu gak sekaku kalau kerja di kantor," tambahnya.
Di Balik Kenyamanan Pekerja yang Gemar WFC
Bekerja di kafe memang mampu memberikan suasana berbeda yang bisa menyegarkan pikiran. Akan tetapi, kenyamanan yang dirasakan oleh si pekerja bisa menjadi persoalan tersendiri bagi pemilik atau pengelola kafe. Bayangkan saja ada seseorang duduk di kafe selama enam jam, tetapi hanya memesan segelas es teh manis. Tentu, dari hitung-hitungan bisnis, hal itu tidak bisa dibenarkan.
Untuk kafe atau kedai kopi yang pelanggannya mayoritas mahasiswa, malah bisa lebih parah lagi. Beberapa waktu lalu sempat ada pemilik kedai kopi di Yogyakarta yang mengeluh karena tempat usahanya ramai dijadikan tongkrongan, tetapi pemasukannya justru minim sekali. Ia menyebut, tidak jarang ada serombongan orang yang nongkrong di kedai kopinya tetapi minuman yang dipesan hanya satu. Merekalah yang kerap disebut rojali alias rombongan jarang beli.
Oleh karena itu, sebagian kafe atau kedai kopi kemudian membuat kebijakan tegas. Ada yang memberikan kata sandi Wi-Fi hanya kepada orang yang membeli makanan atau minuman. Ada yang menyediakannya dengan batasan jam. Terdapat pula yang bahkan melarang pengunjungnya membawa laptop sama sekali. Meski tidak semua kafe memberlakukan kebijakan seperti itu, ada etiket yang harus dipatuhi oleh para pengunjung.
Namun, harus diakui, harga makanan dan minuman di kafe atau kedai kopi memang tidak murah, bahkan ada yang bisa dibilang mahal. Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi kemunculan fenomena rojali. Mereka ingin merasakan suasana dan kenyamanan di kafe atau kedai kopi, tetapi secara finansial tidak mampu. Di sisi lain, kafe tentu saja merugi apabila terus-menerus didatangi orang-orang seperti itu. Inilah yang kemudian membuat Work from Cafe (WFC) jadi semacam identitas kelas, khususnya di Indonesia.
Apakah ada orang yang sengaja bekerja di kafe untuk gaya-gayaan? Pasti ada. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah merasakan langsung betapa nyaman dan produktifnya bekerja di kafe, ini bukan lagi soal status sosial. Hal itu telah menjelma kebutuhan akan sebuah ruang, tempat kita bisa bekerja dengan lebih nyaman dan lebih manusiawi.
Di kafe, pemandangan yang kita saksikan adalah interaksi antarmanusia. Aroma yang kita hirup adalah seduhan kopi dan panggangan pastry. Yang kita dengar adalah kasak-kusuk kehidupan yang begitu hidup. Sesuatu yang sukar kita temukan di tempat lain, baik di rumah maupun kantor. Itulah alasan, barangkali untuk selamanya, kafe akan selalu menjadi ruang ketiga yang nyaman bagi para pekerja.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































