tirto.id - Ketika tren kopi susu merebak, saya jadi punya kebiasaan mencoba aneka merk kopi susu di seluruh penjuru kota. Mulai dari waralaba luar negeri yang sudah kondang hingga jenama lokal, dari harga belasan ribu hingga Rp50 ribu per gelas. Karena berkaitan dengan riset tugas akhir saya di Yogyakarta kala itu, saya harus mengunjungi banyak kafe dan mencoba setidaknya satu menu kopi susu mereka.
Kopi susu menjadi salah satu ikon yang membuat sebagian besar usaha kedai kopi dan kafe berlomba-lomba menawarkan racikan terbaiknya. Mulai dari kopi susu dengan racikan kental manis dan susu, hingga dengan paduan gula aren. Gelombang kopi susu bergula aren pun merebak di Yogyakarta, dari merk ternama hingga merk-merk baru yang baru saja terdengar. Tak salah kalau menyebut menu ini sebagai salah satu ikon gelombang tren selera kopi masa kini.
Petualangan kopi susu gula aren ini pun saya lakoni sembari mencoba kafe-kafe baru yang ada di sekitar rumah yang saya tempati. Sebagian besar berlokasi dekat dengan kampus-kampus ternama di Yogyakara. Agenda utamanya tentu saja mencicip racikan kopi susu gula aren mereka. Membeli segelas kopi di kafe tak sekedar untuk duduk minum kopi tetapi saya juga turut menikmati suasana yang dihadirkan.
Ada kalanya kafe yang saya kunjungi sangat ramai hingga tak ada meja tersisa. Ada pula kafe yang sengaja tak menyediakan banyak ruang duduk hingga lebih sering orang datang dan pergi membeli tanpa tinggal lebih lama. Kira-kira awal tahun 2017, saya mengamati jumlah kafe di Yogyakarta khususnya di sekitaran wilayah kampus semakin banyak, bersaing dengan pertumbuhan minimarket waralaba. Kala itu, kafe bermunculan sebagai tempat bertemu dan bercengkrama.
Pertumbuhan ruang kafe masa kini bak cendawan di musim penghujan, merebak di setiap sudut jalan. Hampir tiap minggu saya bisa menemukan satu warung kopi atau kafe yang baru dibuka. Kafe baru ini tumbuh dengan bentuk yang menurut saya agak berbeda dari lima tahun lalu, mereka tak lagi riuh rendah dengan obrolan yang saling bersahutan tapi ruang-ruang ini hadir lebih senyap dan serius.
Akhir-akhir ini saya jarang menemukan obrolan-obrolan yang berlangsung dalam kafe-kafe baru ini, alih-alih obrolan saya lebih mudah menemukan orang atau sekelompok orang yang tekun dan serius. Dengan gawai masing-masing sambil sesekali menyesap es kopi yang es nya sudah mencair entah berapa lama. Saya yang mengamati hal ini sembari meminum kopi susu gula aren super manis, mendadak merasa kesepian.
Di masa pandemi, banyak kafe menjual suasana tenang. Selain harus menjaga agar tetap steril, kafe seperti ini biasa dimanfaatkan sebagai lokasi bekerja atau mengerjakan tugas sekolah/ kuliah. Buat orang-orang yang tak memiliki akses pada jaringan internet akan memilih mengunjungi kafe terdekat.
“Koneksi di kafe lebih kenceng. Bisa sambil ngopi pula,” ujar salah satu teman saya yang gemar bekerja di salah satu kafe di area Pogung, Yogyakarta.
Pernah, suatu hari saya ingin minum kopi susu di kafe dekat pusat kota, tepatnya di kawasan Kranggan. Benar-benar hanya ingin minum, tidak ingin bekerja atau mengerjakan sesuatu. Saya agak kesulitan menemukan meja untuk sendiri. Jika tidak memesan untuk dibawa pulang, maka saya hanya duduk sejenak dis ana. Bersama-sama puluhan pengunjung lainnya, saya pun turut serta menjadi penyendiri di ruang umum. Memesan segelas minuman dan kemudian berdiam menekuni gawai.
Berubahnya tujuan orang mengunjungi ruang kafe ini menarik, seakan tak lagi memikirkan apakah minuman yang mereka beli itu masih enak atau tidak ketika dinikmati. Segelas es kopi susu yang tadinya pekat dan manis, seiring waktu akan makin encer. Mereka tak mempermasalahkan perubahan rasa dalam gelas kopinya selama masih bisa menghabiskan waktu lebih lama. Mengingatkan saya pada kelakar seorang teman.
“Beli minumnya satu, ngabisinnya 5 jam."
Fungsi kopi susu yang mereka konsumsi kini hanya sebatas syarat minimum agar bisa memakai ruang. Mereka datang dengan tujuan utama menggunakan ruang sembari menikmati minuman dan makanan yang ditawarkan. Hal ini tentunya jauh berbeda dengan yang saya alami lima atau tujuh tahun ke belakang.
Dibarengi dengan tingginya minat konsumen terhadap ruang publik baru yang dapat digunakan sebagai tempat belajar dan bekerja, kafe-kafe di Yogyakarta saat ini pun berlomba-lomba menghadirkan ‘tempat menyendiri’ yang sekiranya dapat menarik konsumen lebih banyak.
Adanya meja kerja, steker listrik di berbagai sudut, hingga paket makanan dan minuman yang terjangkau ditawarkan oleh para pemilik usaha. Memesan menu menjadi syarat minimal bagi pengguna ruang kafe, dan segelas kopi susu ada di pilihan strategis dari segi harga dan rasa.
Posisi kopi susu dalam dinamika ruang ini bagi saya telah menjadikan rasa yang ditawarkan tak lagi istimewa. Beberapa kali saya mencicip kopi susu di tempat baru yang rasanya makin ‘biasa aja’, tak berbeda dengan yang dibuat sendiri di rumah. Kopi susu gula aren yang masih jadi menu andalan di beberapa kafe pun kini terasa seragam. Datang dalam racikan super manis, es batu yang banyak, dan citarasa kopi yang makin tipis.
Alih-alih fokus pada rasa, mereka sekarang fokus menawarkan ruang, dengan berbagai estetika dan fungsi. Dari tropikal, hingga industrial.
Mungkin saya perlu menurunkan ekspektasi kepada kopi susu di luar sana ketika menuju ke tempat yang terlalu apik atau bahkan terlalu serius. Kadangkala rasanya tak seberapa dibandingkan harganya yang makin tinggi.
Pula, saya perlu mencoba kopi susu sederhana bikinan warung makan atau restoran yang biasa saja. Yang disajikan dan dinikmati dalam waktu yang semestinya, tidak sampai menunggu seluruh esnya mencair. Setidaknya saya tak perlu merasa kesepian atau menjadi penyendiri hanya untuk menikmati segelas kopi susu.
Editor: Nuran Wibisono