tirto.id - Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan, Ajib Hamdani mengatakan, tuntutan buruh menginginkan kenaikan upah di 2023 sebesar 13 persen terlalu tinggi. Secara logis, kenaikan paling memungkinkan hanya di kisaran 6 persen.
“Kalaupun ada jalan tengah kenaikan, paling logis adalah kisaran 6 persen,” kata Ajib kepada Tirto, Kamis (13/10/2022).
Dia menuturkan, kenaikan upah sebesar 6 persen tersebut tentunya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi tahun ini. Adapun pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksikan bergerak di kisaran 5,2 - 5,4 persen dan inflasi berada di atas 6 persen.
Ajib menambahkan, saat ini dunia usaha sedang menghadapi tantangan yang luar biasa. Di mana telah terjadi cost push inflation, pembengkakan biaya produksi barang dan jasa sehingga mendongkrak inflasi.
Oleh karenanya, jika dari tenaga kerja melakukan tuntutan kenaikan gaji, apalagi dengan jumlah yang signifikan, maka akan menambah berat beban produksi.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengumumkan bahwa Partai Buruh dan organisasi serikat pekerja akan menggelar aksi besar-besaran serempak di 34 provinsi pada 12 Oktober 2022.
Khusus Provinsi Jawa Barat (Jabar), Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Provinsi Banten, aksi akan dipusatkan di Istana Negara dengan melibatkan 50 ribu orang buruh. Sementara di 31 provinsi lainnya, aksi akan dilakukan di kantor gubernur masing-masing provinsi.
Dalam aksi ini, setidaknya ada 6 tuntutan yang akan diusung: tolak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), tolak omnibuslaw (UU Cipta Kerja), naikkan UMK/UMSK (upah minimum kabupaten atau kota/upah minimum sektoral) tahun 2023 sebesar 13 persen, tolak ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) di tengah resesi global, reforma agraria, dan sahkan RUU PRT (Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz