tirto.id - Survei Indo Barometer pada 2018 lalu menemukan 32,9 persen dari 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi menganggap Soeharto adalah presiden paling berhasil. Mereka menilai dia sukses membangun Indonesia, terutama dalam segi ekonomi–tanpa menyinggung gunungan utang di belakangnya.
Namun sejarawan Peter Care yakin yang terjadi justru sebaliknya. Ia mengatakan Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran dan berdampak pada bangkrutnya sistem perbankan.
Lebih dari itu, bagi Carey seperti dilansirTempo, Soeharto telah melanggengkan kekerasan terhadap warga secara periodik dan sistematis. Dan itulah warisan Orde Baru yang sesungguhnya, bukan soal kemajuan ekonomi yang pada 1967 mengalami hiperinflasi hingga 650 persen. Itu semua membuatnya menjadi seorang “diktator”.
Sebagian masyarakat memang mengingat Soeharto dengan cara yang sama sekali berbeda. “Dia membuat orang Indonesia takut untuk berpikir, takut untuk mengekspresikan diri mereka,” kata Adnan Buyung Nasution, dilansir sejarawan Robert E. Wilson. “Saya pikir itu kejahatan terbesar Soeharto.”
Soeharto berkuasa selama 32 tahun, menjadi presiden paling lama di Indonesia. Dia menang enam kali dalam pemilu yang diadakan dari 1971 sampai 1997. Dia dapat melakukan itu karena Pasal 7 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa presiden berkuasa selama lima tahun dan dapat dipilih lagi setelahnya.
Tak ingin situasi berulang, dalam amandemen keempat UUD 1945 yang dilakukan 14-21 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merombak pasal 7 dengan mengubahnya menjadi pasal 7A, 7B, dan 7C. Jabatan presiden (dan wakil presiden) kini hanya boleh diemban sebanyak dua periode oleh orang yang sama.
Upaya yang Terus Diulang
Meski pembatasan masa jabatan presiden dibuat agar tak ada lagi kekuasaan yang sewenang-wenang, tetap saja ada segelintir orang yang berhasrat mengubahnya. Hal ini telah muncul berkali-kali sejak bertahun-tahun yang lalu.
Pada 2010 lalu, Ruhut Sitompul, ketika itu berstatus kader Partai Demokrat, mengusulkan agar Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperpanjang masa jabatannya. SBY menolaknya dengan alasan, “Kekuasaan yang begitu lama menimbulkan permasalahan dan tidak baik bagi kehidupan di sebuah negara.”
Hal serupa terjadi di masa pemerintahan Joko Widodo. Pertama dalam bentuk yang agak berbeda: bukan tentang masa jabatan presiden tapi wakil presiden.
Pada 2018, setahun sebelum pilpres, politikus PDIP Puan Maharani mengatakan partainya tengah mempertimbangkan mengusung Jusuf Kalla lagi bersama Jokowi. Ketika itu ada perdebatan soal tafsir “dua periode” dalam Pasal 7 UUD 1945, apakah berturut-turut atau tidak–JK adalah Wakil Presiden RI dalam periode SBY (2004-2009) dan Jokowi (2014-2019).
Wacana memudar seiring dengan penjelasan dari Mahfud MD, saat itu berstatus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa keputusan presiden-wakil presiden hanya bisa menjabat dua kali seumur hidup tidak bisa diganggu gugat.
Beberapa bulan saja setelah Jokowi terpilih untuk periode kedua, muncullah upaya memperpanjang masa jabatan presiden sebanyak tiga kali. Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan usul tersebut muncul dari Partai Nasdem dalam konteks amandemen UUD 1945.
Ketika itu Jokowi memberikan pernyataan relatif tegas. Lewat akun @jokowi dia mengatakan “tak setuju” dengan usul jabatan tiga periode. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut pihak-pihak yang mengusulkan itu “menjerumuskan” dirinya. Jokowi sadar bahwa jabatan presiden dua periode adalah amanat Reformasi.
Hal ini terulang tahun lalu. Kali ini usul pertama-tama muncul dari kelompok “relawan” seperti Jokowi Mania dan Jokowi-Prabowo (Jokpro) 2024. Saat itu Jokowi lagi-lagi menolak dengan tetap berargumen pada semangat Reformasi.
Baru-baru ini usul serupa muncul, hanya saja konkretnya berupa penundaan Pemilu 2024. Bukan beberapa bulan, melainkan hingga satu atau dua tahun.
Bedanya lagi, sekarang Jokowi melunak. Dia tidak lagi menyebut wacana itu bertentangan dengan agenda Reformasi. Kali ini, dia menganggap usulan perpanjangan masa jabatan adalah wujud demokrasi, yang konkretnya adalah setiap orang “bebas saja berpendapat.” Penekanan Jokowi, semua itu harus dilandaskan pada Konstitusi.
Untuk mengubah Konstitusi, harus ada sidang MPR yang setidaknya dihadiri oleh 2/3 anggota. Pengambilan keputusan untuk perubahan setidaknya harus memenuhi 50 persen+1 suara dari total seluruh anggota.
Total anggota MPR yang dilantik 2019-2024 ada 711 orang, 575 di antaranya adalah anggota DPR dan lebih dari 400 anggota DPR adalah bagian dari koalisi pendukung pemerintah. Angka ini sudah melebihi syarat 50 persen+1 yang berarti di atas kertas mudah saja amandemen dilakukan.
Usul penundaan pemilu ramai dibicarakan setelah pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pada Februari lalu. Menurutnya penundaan suksesi agar “momentum perbaikan ekonomi ini tidak hilang.”
Menariknya, justru alasan ekonomi pula yang membuat Pilkada 2020 tetap dilaksanakan (hanya diundur dari September ke Desember) meski publik menolaknya. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut pelaksanaan Pilkada 2020 bisa memberikan stimulus ekonomi padat karya, sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan perputaran uang selama Pilkada 2020 bisa mencapai Rp26 triliun.
Baik pemerhati pemilu maupun peneliti tidak sepakat dengan keputusan itu. Dampak ekonomi yang dihasilkan tak sebanding dengan risiko penularan Covid-19. Dilansir dariThe Conversation, Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut terbatasnya mobilitas masyarakat membuat kampanye yang banyak dilakukan secara daring tidak membantu banyak perekonomian sektor padat karya.
Benar saja, di Januari 2021, kasus Covid-19 semakin meningkat. Kasus terkonfirmasi per hari bukan lagi ada di angka ribuan, tapi sudah belasan ribu. Di 30 Januari 2021, kasus terkonfirmasi per hari mencapai 14.518 dan merupakan penambahan tertinggi sejak Covid-19 merangsek ke Indonesia.
Pemerintah juga mengaku berkaca pada negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat yang tetap menggelar pemilu presiden kendati Covid-19 juga sedang ganas-ganasnya. Hal ini misalnya diungkapkan Mahfud dan Jokowi sendiri. Bagi mereka tidaklah relevan jika pemilu harus ditunda lebih lama hanya karena pandemi.
Singkat kata, faktor ekonomi dipakai untuk melanjutkan Pilkada 2020, tapi sekarang digunakan justru untuk menunda Pilpres 2024.
Menurut Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem, mendorong penundaan pemilu adalah sesuatu yang “tidak relevan lagi” dan hanya “menjadikan suasana yang gaduh.” Lagipula, saat ini cukup banyak “waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2024.”
Tentu lain ceritanya bila ada pengakuan bahwa keputusan terdahulu memang bentuk hasrat politik. Tapi toh jika demikian bisa jadi semakin menambah keyakinan untuk melakukan pemilu tepat pada waktunya.
Suara Partai Masih Terbelah
Selain PKB, Partai Golkar dan PAN juga setuju pemilu ditunda. Menurut laporan CNN Indonesia, sikap PAN terpengaruh oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Disebutkan bahwa saat bicara dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan Luhut mengklaim Jokowi juga sudah setuju dengan wacana ini. Salah satu partai yang mengaku dekat dengan kelompok milenial, PSI, juga mendukungnya tapi dengan menyarankan amandemen UUD 1945.
Alhasil, sampai naskah ini ditulis ada tiga partai yang sudah mendukung wacana tersebut–mengesampingkan PSI yang tak punya kursi di parlemen.
Sikap empat partai koalisi lain, sejauh ini, tidak mendukung wacana tersebut. Bagi mereka, pelaksanaan pemilu sudah sangat jelas diatur dengan konstitusi dan tidak ada kesempatan untuk dilakukan penundaan.
Pihak yang menolak termasuk PDIP selaku pengusung Jokowi. Dengan kata lain berbeda dengan keinginan Jokowi sendiri–sebagaimana yang dikatakan Luhut via Zulhas. Kendati demikian, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto merasa Jokowi akan searah dengan PDIP sebab menurutnya seorang pemimpin “diukur dari konsistensi dalam sikapnya.”
Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Partai Gerindra memang belum menyatakan secara resmi, tetapi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sugiono, mengaku partainya tak akan setuju dengan wacana tersebut. Begitu pula dengan PPP. Nasdem yang selalu setia dengan Jokowi sejak 2014 pun tidak sepakat apabila ada perpanjangan masa jabatan presiden. Bahkan mereka mengajak semua pihak untuk tetap mengadakan pemilu.
Sementara partai di luar koalisi seperti Demokrat dan PKS, tentu saja, telah menyatakan menolak.
Jika diperhatikan, partai-partai yang menolak sudah punya agenda sendiri di 2024. Baik PDIP, Gerindra, Nasdem, dan Demokrat punya kader yang namanya unggul dalam elektabilitas atau digadang-gadang bakal mewakili partai dalam kompetisi pilpres. PDIP dengan Ganjar Pranowo (atau Puan Maharani), Nasdem yang dekat dengan Anies Baswedan, Gerindra dengan Prabowo, dan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono.
Tidak mendukung wacana perpanjangan masa jabatan presiden, dengan demikian, dapat dipahami karena tidak sejalan dengan proyeksi politik mereka sendiri.
Memang hasil survei terkait kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi sangatlah tinggi, seperti yang dilakukan Indopol Februari 2022. Dari 1.230 responden, sebanyak 72,93 persen mengaku puas. Namun tentu saja temuan itu seharusnya tidak bisa jadi alasan berbagai partai mendukung sesuatu yang telah dengan susah payah diupayakan oleh gerakan Reformasi.
Editor: Rio Apinino