Menuju konten utama

Jokowi: TNI Jangan Berpolitik Praktis

Jokowi ingatkan TNI setia kepada pemerintahan yang sah dan menjamin netralitas di era demokrasi.

Jokowi: TNI Jangan Berpolitik Praktis
Gladi bersih HUT ke-72 TNI di Kawasan Dermaga Indah Kiat Cilegon, Banten, Selasa (3/10/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri peringatan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Dermaga Pantai Indah Kiat Cilegon Banten. Dalam kesempatan itu Jokowi mengingatkan makna politik negara yang harus dijalankan tentara.

“Politik dan loyalitas kepada bangsa dan negara itu berarti kesetiaan memperjuangkan kepentingan rakyat, kesetiaan menjaga keuntuhan wilayah dan persatuan kesatuan NKRI, dan kesetiaan kepada pemerintah yang sah,” kata Jokowi, Kamis (5/10).

Jokowi mengatakan TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis. TNI mesti menjamin netralitas di era demokrasi dan menjamin keutuhan serta persatuan negara. “TNI adalah milik nasional yang berada di atas semua golongan, tidak terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang sempit,” ujarnya.

Jokowi mengaku bangga dan terkesima mendengar sumpah prajurit. Menurutnya sumpat TNI untuk setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tunduk dan taat kepada hukum maupun komandan, memegang disiplin keperajuritan, serta menjaga rahasia sekeras-kerasnya patut diteladani rakyat Indonesia.

“Ini sumpah yang membanggakan betapa besar komitmen dan dedikasi TNI menjaga bangsa dan negara,” kata Jokowi.

Di usia TNI yang ke-72 tahun Jokowi berjanji menjadikan angkatan perang negara ini sebagai kekuatan bersenjata yang disegani dikancah regional asia. Ia berterimakasih atas profesionalisme dan komitmen TNI dalam memegang teguh sumpah prajurit.

“Terimakasih atas dedikasi prajurit dalam menjalankan tugas berat yang penuh resiko. Terimakasih atas peran sentral TNI dalam menjaga NKRI, Pancasila, dan kewibawaan negara,” ujar Jokowi.

Wakil Presiden Jusul Kalla juga mengingatkan para anggota TNI yang ingin berpolitik praktis untuk menanggalkan status keanggotaannya lebih dahulu. “Kalau ingin berpolitik praktis ya keluar dulu,” kata Kalla di Jakarta, Rabu (5/10) seperti diberitakan Antara.

Memiliki ambisi politik untuk meraih tujuan tertentu memang bukan hal haram. Namun menurut Kalla, seperti halnya Polri maupun pegawai negeri sipil (PNS), prajurit TNI yang ingin berpolitik praktis mesti melepaskan status keprajuritannya.

“Berpolitik itu memang agak bias juga, PNS boleh memilih tapi kalau untuk dipilih harus keluar dulu. Begitu juga dengan TNI boleh dipilih tapi harus keluar dulu,” ujarnya.

Selain Jokowi dan Kalla, Sukarno juga pernah mewanti-wanti angkatan perang untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sukarno tahu betul, tentara atau angkatan perang yang berpolitik praktis akan menciptakan kekacauan negara. Sebab, tentara atau angkatan perang memiliki senjata yang bisa digunakan untuk menundukan lawan-lawannya secara paksa.

"Padahal angkatan perang! Tidak boleh ikut-ikut politik tidak boleh diombang- ambingkan oleh sesuatu politik angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik," kata Sukarno dalam pidato peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-8 pada 17 Agustus 1953.

Baca juga:

Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Edy Prasetyono juga mengingatkan partai politik untuk tidak memberi ruang bagi para tokoh militer bermanuver politik. Menurutnya partai yang berkeinginan mengusung TNI aktif ke dalam perebutan kekuasaan bukan saja tidak menghormati etika, tapi juga menunjukkan buruknya proses kaderisasi di internal partai itu sendiri.

“Mestinya kalau sistem kepartaian benar, jangan memberi ruang ke TNI. Ketum partai mempunyai kewajiban memperkuat kaderisasi di dalam, kenapa tiba-tiba memilih kepala daerah dengan melirik orang lain,” kata Edy.

Seharusnya, lanjut Edy, sipil dan militer bekerja dalam ranah dan kewenangan masing-masing. Namun yang terjadi sekarang justru tidak demikian. Edy mengatakan reformasi TNI yang melarang TNI berpolitik tidak berjalan baik lantaran dipengaruhi beberapa persepsi ancaman dan kepentingan institusional.

Di saat yang sama, sipil juga memberikan ruang bagi TNI untuk berpolitik. Sehingga, sipil juga harus berbenah menjalankan supremasinya dengan konsekuen dan efektif. “Sebagian besar kalaupun ada kegagalan dalam reformasi militer, sebagian besar karena ada ketidaksiapan kita (sipil),” kata Edy.

Polemik tentang politik TNI menguat seiring langkah dan ucapan yang disampaikan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo. Sejumlah pihak menilai instruksi Gatot agar jajaran TNI di tingkat daerah menggelar nonton bareng (nobar) film Penumpasan Pengkhiatan G30S/PKI bersama masyarakat dan pernyataan tentang usaha penyelundupan 5000 senjata oleh institusi di luar TNI sebagai taktik politik.

Sebelumnya, Selasa (3/10) saat upacara tabur bunga bersama jajaran pimpinan puncak TNI, Gatot juga mengakui bahwa TNI menjalankan politik namun tidak bersifat praktis. “Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara bukan politik praktis,” kata dia dari geladak KRI dr Soeharso-990, di perairan Pulau Tempurung, Selat Sunda.

Baca juga artikel terkait HUT TNI KE-72 atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar