tirto.id - "Padahal angkatan perang! Tidak boleh ikut-ikut politik tidak boleh diombang- ambingkan oleh sesuatu politik angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa , berkobar-kobar berjiwa tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik."
Pesan itu disampaikan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno dalam pidato peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-8 pada 17 Agustus 1953. Sukarno tahu betul, tentara atau angkatan perang yang berpolitik praktis akan menciptakan kekacauan negara. Sebab, tentara atau angkatan perang memiliki senjata yang bisa digunakan untuk menundukan lawan-lawannya secara paksa.
Meski pidato itu sudah berusia lebih dari 64 tahun lamanya, namun konteks pesannya masih terasa dan terus diulang sampai sekarang. Wakil Presiden Jusul Kalla, misalnya, mengingatkan para anggota TNI yang ingin berpolitik praktis untuk menanggalkan status keanggotaannya lebih dahulu.
“Kalau ingin berpolitik praktis ya keluar dulu,” kata Kalla di Jakarta, Rabu (5/10) seperti diberitakan Antara.
Memiliki ambisi politik untuk meraih tujuan tertentu memang bukan hal haram. Namun menurut Kalla, seperti halnya Polri maupun pegawai negeri sipil (PNS), prajurit TNI yang ingin berpolitik praktis mesti melepaskan status keprajuritannya.
“Berpolitik itu memang agak bias juga, PNS boleh memilih tapi kalau untuk dipilih harus keluar dulu. Begitu juga dengan TNI boleh dipilih tapi harus keluar dulu,” ujarnya.
Salah satu contoh yang menurut Kalla bisa dijadikan rujukan adalah Agus Harimurti Yudhoyono (SBY). Agus melepaskan jabatan kemiliterannya untuk maju di Pilkada DKI Jakarta April 2017. “Seperti Agus. Bagus itu, kan?” ujarnya.
Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Edy Prasetyono juga mengingatkan partai politik untuk tidak memberi ruang bagi para tokoh militer bermanuver politik. Menurutnya partai yang berkeinginan mengusung TNI aktif ke dalam perebutan kekuasaan bukan saja tidak menghormati etika, tapi juga menunjukkan buruknya proses kaderisasi di internal partai itu sendiri.
“Mestinya kalau sistem kepartaian benar, jangan memberi ruang ke TNI. Ketum partai mempunyai kewajiban memperkuat kaderisasi di dalam, kenapa tiba-tiba memilih kepala daerah dengan melirik orang lain,” kata Edy.
Seharusnya, lanjut Edy, sipil dan militer bekerja dalam ranah dan kewenangan masing-masing. Namun yang terjadi sekarang justru tidak demikian. Edy mengatakan reformasi TNI yang melarang TNI berpolitik tidak berjalan baik lantaran dipengaruhi beberapa persepsi ancaman dan kepentingan institusional.
Di saat yang sama, sipil juga memberikan ruang bagi TNI untuk berpolitik. Sehingga, sipil juga harus berbenah menjalankan supremasinya dengan konsekuen dan efektif. “Sebagian besar kalaupun ada kegagalan dalam reformasi militer, sebagian besar karena ada ketidaksiapan kita (sipil),” kata Edy.
Menurut Edy cawe-cawe TNI aktif dalam politik juga disebabkan persoalan anggaran dan alutsista yang tidak memadai. “Sebetulnya mereka bisa dibuat lebih tenang dengan, misalnya, kecukupan anggaran, kecukupan alutsista,” ujar Edy.
Meski TNI tak boleh berpolitik praktis, namun analis politik Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Teguh Yuwono, berpendapat TNI jangan sampai buta politik terkait dengan tugas utamanya dalam pertahanan negara. “Ada upaya menjauhkan TNI dari hingar bingar politik. TNI jangan sampai buta politik,” katanya.
Kesadaran TNI terhadap isu-isu politik membuat mereka sigap menghadapi berbagai situasi dan kemungkinan yang terjadi. Contohnya peran penting TNI berkaitan dengan upaya menjaga stabilitas keamanan, khususnya ancaman di tingkat domestik.
“TNI tetap harus turun tangan kalau negara terancam, baik dari dalam maupun luar,” ujarnya.
Selain itu, kesadaran politik juga bisa membuat TNI tampil demokratis namun tetap tegas. Teguh berharap peringatan HUT Ke-72 TNI, lebih memperkuat integritas TNI sebagai penjaga keamanan negara. “TNI harus menjaga integritas agar jangan larut dalam dunia politik,” katanya.
Baca juga:
- Cara Gatot Nurmantyo Cari Panggung Sebelum Pensiun
- Jenderal Gatot dan Imajinasi Proxy War
- Panglima TNI Wacanakan TNI Punya Hak Politik
- HUT ke-72, TNI Dinilai Harus Membenahi Kompetensi Personel
- Panglima TNI Tanggapi Namanya Masuk Bursa Pilpres 2019
“Saya melihat alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI masih minim. Alutsista ini perlu ditingkatkan,” kata Zulkifli.
Menurut Zulkifli, alutsista ini menjadi sangat penting bagi TNI sebagai alat negara dalam menjaga ketahanan negara. Keberadaan alutsista, kata dia, juga menjadi indikator bagi negara lain untuk mengukur kekuatan militer suatu negara.
Zulkifli juga mengimbau agar DPR RI dan Pemerintah dapat meningkatkan anggaran TNI untuk melengkapi alutsistanya. “Semoga, peringatan ulang tahun ke-72 TNI, Kamis besok, dapat menjadi momentum penguatan kelembagaan dan profesionalitas, melalui peningkatan anggaran,” katanya.
Polemik tentang politik TNI menguat seiring langkah dan ucapan yang disampaikan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo. Sejumlah pihak menilai instruksi Gatot agar jajaran TNI di tingkat daerah menggelar nonton bareng (nobar) film Penumpasan Pengkhiatan G30S/PKI bersama masyarakat dan pernyataan tentang usaha penyelundupan 5000 senjata oleh institusi di luar TNI sebagai taktik politik.
Sebelumnya, Selasa (3/10) saat upacara tabur bunga bersama jajaran pimpinan puncak TNI, Gatot juga mengakui bahwa TNI menjalankan politik namun tidak bersifat praktis. “Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara bukan politik praktis,” kata dia dari geladak KRI dr Soeharso-990, di perairan Pulau Tempurung, Selat Sunda.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS