tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 17 Oktober 2022. Dengan demikian UU PDP telah sah dan bernomor 27 Tahun 2022.
Adapun isi dalam UU PDP mengatur kewenangan pemerintah perihal pengawasan tata kelola data pribadi. Pengawasan ini diperuntukkan bagi seluruh penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Penerapan UU PDP akan berlaku bagi setiap individu, badan publik hingga organisasi internasional yang secara melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam setiap pasal undang-undang tersebut.
Di dalam UU PDP juga berisikan sanksi baik secara administratif maupun pidana. Sanksi pidana dalam UU PDP mampu menjerat pelanggarnya hingga 6 tahun penjara dan denda Rp6 miliar. Adapun ketentuan pidananya diatur dalam sejumlah pasal. Antara lain:
Pasal 67
1. Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 68
Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 69
Selain dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.
Pasal 70
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan/atau Korporasi.
2. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda.
3. Pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi paling banyak 10 (sepuluh) kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan.
4. Selain dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana;
b. pembekuan seluruh atau sebagian usaha Korporasi;
c. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
d. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;
e. melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan;
f. pembayaran ganti kerugian;
g. pencabutan izin; dan/atau
h. pembubaran Korporasi.
Penyusunan UU PDP sempat diwarnai perdebatan cukup panjang di Komisi I DPR RI. Terutama mengenai keberadaan lembaga pengawas PDP yang diharapkan oleh DPR berasal dari lembaga independen.
Namun usulan legislator ditolak oleh pemerintah yang diwakili oleh Kemenkominfo. Sehingga diambil titik tengah dengan melimpahkan kewenangan pembentukan lembaga pengawas PDP kepada presiden. Hal itu diatur dalam Bab IX Kelembagaan dalam UU PDP.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky