tirto.id - "Oalah, Munir, Munir... maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok, malah hilang sendiri?"
Nukilan tersebut berasal dari cerpen berjudul Aku, Pembunuh Munir yang ditulis Seno Gumira Ajidarma. Kalimat tersebut semakin terasa ironis jika dibaca hari ini.
7 September 2004, Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia, diracun di atas pesawat yang akan membawanya ke Belanda untuk melanjutkan studi. Racun arsenik yang ada di jus jeruk ia tenggak menggerogoti tubuhnya. Munir tak mampu melawan. Pukul 08.10 waktu Amsterdam, ia dinyatakan meninggal dunia.
Proses hukum berjalan dan pelaku diadili. Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda, divonis sebagai otak pembunuhan Munir. Ia dihukum 14 tahun tapi hanya meringkuk delapan tahun di dalam sel. Hari ini, Rabu (29/8/2018), Pollycarpus pun menghirup udara bebas.
Keluarga dan aktivis HAM tak puas dengan hasil yang ada. Mereka menilai banyak kejanggalan yang perlu diselidiki lebih dalam, termasuk siapa aktor intelektual di balik kasus ini. Tak mungkin Pollycarpus bergerak atas inisiatifnya sendiri.
Berawal dari TPF
Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir kemudian dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004 setelah didesak berbagai kalangan. TPF dibentuk guna membantu kepolisian mengusut keterlibatan oknum di lingkungan direksi PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itu, pengungkapan kasus Munir masuk dalam agenda 100 hari kerja Presiden SBY.
Laporan TPF tuntas pada Juni 2005, namun tak pernah diumumkan ke publik. Lebih parah lagi, laporan lengkap TPF diklaim hilang di Kementerian Sekretariat Negara dan baru ketahuan pada pertengahan Februari 2016 ketika Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendatangi Kantor Setneg buat mendesak pemerintah segera mengumumkan laporan TPF.
Dalam tanggapannya kepada Kontras, Kemensetneg mengaku sama sekali tak mengetahui di mana keberadaan laporan tersebut.
Kontras kemudian menggugat Kemensetneg ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Ketua Majelis Hakim Evy Trisulo memenangkan penggugat. Pada Senin, 10 Oktober 2016, KIP memutuskan negara harus mengumumkan hasil TPF segera.
Namun hingga saat ini, Istana tak pernah menghormati putusan tersebut meski Susilo Bambang Yudhoyono, melalui bekas Mensesneg Sudi Silalahi, mengaku telah menyerahkan salinan ke pemerintahan Joko Widodo.
Kontras tetap yakin pada pendiriannya: bahwa dokumen TPF sebetulnya tak pernah hilang. Hanya saja tak ada kemauan bagi Jokowi untuk mengungkapnya segera.
Pelaku Telah Bebas, Dalang Belum Diketahui
Hari ini, 29 Agustus 2018, Pollycarpus bebas murni setelah sejak 28 November 2014 dinyatakan bebas bersyarat berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SKPB) yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Bandung Budiyana, selama berstatus bebas bersyarat Pollycarpus telah melapor sebanyak 25 kali dan tak ada catatan pelanggaran buruk lagi. Setelah bebas murni, Pollycarpus tak perlu lagi melaporkan diri setiap bulan ke lapas.
Pollycarpus bebas bahkan sebelum aktor intelektual di balik dibunuhnya Munir terungkap.
Yati Andriyani selaku Koordinator Kontras mengatakan tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak mengumumkan hasil investigasi TPF. Pengungkapan kasus semakin mendesak karena pemerintahan Jokowi hampir selesai, padahal janji kampanye saat Pilpres 2014 di antaranya mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Janji ini bahkan kembali disampaikan saat Jokowi bertemu dengan sejumlah pakar dan praktisi hukum pada 22 September 2016.
"Ini sudah hampir menjelang akhir pemerintahannya [Jokowi]. Sangat disesalkan tak sedikit pun ada kemajuan dalam pengusutan kasus Munir," kata Yati saat dihubungi Tirto, Kamis (23/8/18) malam.
Yati berjanji, dia dan aktivis HAM akan memberikan peringatan lebih keras kepada Joko Widodo setelah Pollycarpus bebas. Kalau toh dokumen TPF Munir itu memang hilang, kata Yati, itu sama sekali tak menggugurkan kewajiban pemerintah.
"Ketiadaan atau kehilangan pun tidak menggugurkan kewajiban Presiden untuk mengumumkan hasil dokumen tersebut," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino