Menuju konten utama
25 Agustus 2018

John McCain: Kompas Moral Era Trump, Capres Favorit Al-Qaeda

Ada sisi kehidupan Senator John McCain yang dikenang sebagai hero oleh warga Amerika. Apakah rekam jejak itu tetap melekat hingga ajal menjemputnya?

John McCain: Kompas Moral Era Trump, Capres Favorit Al-Qaeda
Ilustrasi Mozaik John McCain. tirto.id/Nauval

tirto.id - Tumor ganas akhirnya membunuh John McCain. Senator Amerika Serikat itu meninggal dunia di kediamannya di Arizona pada 25 Agustus 2018, tepat hari ini dua tahun lalu. Kematian itu terjadi sehari setelah tim dokter menyatakan bahwa sang senator berhenti menerima pengobatan untuk kanker otak yang telah dideritanya sejak 2016.

Di Indonesia, McCain dikenal karena dua hal: pertama, sebagai kandidat pesaing Obama dalam Pilpres Amerika Serikat 2008; dan kedua, pidato kekalahannya yang elegan setelah keok bersaing dengan politikus kulit hitam terpopuler di AS itu.

Beberapa hari setelah Pilpres Indonesia 2014 usai, warganet kerap membanding-bandingkan McCain dengan Prabowo Subianto, yang saat itu dinilai tak legowo menerima hasil perhitungan suara yang memenangkan kompetitornya, Joko Widodo.

Kutipan dari pidato kekalahan McCain mendadak berseliweran di media sosial. Dikutip dari NPR, pada malam 4 November 2008, McCain mengucapkan selamat kepada Obama di hadapan para pendukungnya.

“Saya dan Senator Obama sering berdebat tentang perbedaan kami dan dia menang. Tak diragukan lagi perbedaan-perbedaan itu tetap ada. Ini masa yang sulit bagi negeri kita dan malam ini saya bersumpah akan membantu [Obama] dengan segenap kekuatan agar mampu memimpin kita semua menghadapi segala tantangan yang ada.”

Bagi sebagian besar masyarakat AS, McCain adalah hero. Dia diingat sebagai seorang prajurit di Vietnam yang ditawan Vietkong selama enam tahun dan disiksa secara brutal. Dia dielu-elukan kaum miskin dan lawan-lawan politiknya di Partai Demokrat karena sukses mencegat RUU yang bakal mengakhiri Obamacare, jaminan kesehatan publik yang disahkan oleh Presiden Obama.

Akhirnya, dia dikenang sebagai kompas moral di era Trump, bersama sederet politikus senior Republikan seperti George Bush, George W, Bush, dan Mitt Romnney yang terang-terangan menentang Trump. Bahkan pada Mei 2018, McCain dikabarkan tak menginginkan Trump hadir di pemakamannya.

Cocok dengan Trump

Entah di Amerika atau di Indonesia, ingatan politik sialnya jarang sekali berumur panjang. Di tengah puji-pujian pada sosok John McCain, tak banyak yang mengutip fakta bahwa selama bertahun-tahun senator Arizona itu menyerang Obamacare yang populer di kalangan penduduk AS berpenghasilan rendah.

Kanal Five Thirty Eight merekam sikap apa saja yang diambil McCain sebagai wakil rakyat selama setahun terakhir dan menemukan bahwa posisi sang Senator 83 persen cocok dengan Trump. Obituari McCain yang dimuat di New York Times bahkan menegaskan bahwa secara umum McCain tetap mendukung agenda-agenda pemerintahan Trump.

Five Thirty Eight mencatat, McCain turut mendukung ditariknya Obamacare bahkan sebelum Trump dilantik sebagai presiden. McCain menyambut ditunjuknya Rick Perry—bekas gubernur Texas yang menyangkal bahwa industri adalah faktor utama pemanasan global—untuk menduduki kursi Menteri Energi di kabinet Trump.

McCain juga sepakat dengan pengangkatan Betty DeVos, pebisnis dan aktivis pro-privatisasi sekolah, sebagai Menteri Pendidikan. Belakangan, di tengah maraknya gelombang penembakan massal di AS, DeVos dihujani kritik setelah mengusulkan agar guru-guru sekolah dibekali senjata api.

Kendati kerap mencitrakan diri berseberangan dengan Trump dalam hal imigrasi dan minoritas Muslim di AS, McCain menyetujui pencalonan Mike Pompeo sebagai bos CIA (2017-2018). Ketika duduk di kursi House of Representatives (2011-2017), Pompeo pernah berkomentar bahwa Muslim Amerika memilih bungkam atas peristiwa pemboman Maraton di Boston (2013), meski kenyataannya sebaliknya: mayoritas Muslim AS mengutuk tragedi tersebut.

Vox melaporkan bahwa Pompeo mengemis dukungan dari aktivis-aktivis bigot anti-minoritas Muslim. Ketika berkampanye demi memenangkan kursi parlemen, Pompeo dikritik keras lantaran mengunggah postingan yang mengejek Ray Goyle, anak imigran Hindu dari India yang dicalonkan oleh Demokrat, sebagai "manusia bersorban yang tak dibutuhkan di Kongres dan jabatan politik mana pun yang mengurusi konstitusi, Kristianitas, dan Amerika Serikat.”

Cekcok abadi Trump dan McCain rupanya bersifat personal alih-alih ideologis. Keributan keduanya berawal ketika McCain, pada Juli 2015, mengecam komentar Trump bahwa imigran Meksiko di AS tak lebih dari sekadar “pemerkosa” dan “pengedar narkoba”. Sekitar dua minggu kemudian, Trump berpidato di Phoenix, Arizona, wilayah konstituen McCain, “Tak hanya presiden lembek, kita juga punya politisi loyo. Di negara bagian Anda, namanya John McCain.”

Pada 16 Juli, McCain membalas: “Penampilan Trump di Phoenix menyakitiku. Yang dia lakukan adalah menyemangati orang-orang sinting.”

Tak terima dibilang sinting, Trump meracau di sebuah acara di Iowa: “John McCain dianggap pahlawan karena tertangkap. Saya suka orang yang tidak tertangkap.”

Pada Oktober 1967, pesawat pembom yang dikendarai McCain ditembak jatuh di Hanoi. Setelah diselamatkan penduduk sekitar, ia diserahkan ke komandan gerilya Vietkong setempat, lantas ditahan selama lima tahun di Penjara Hoa Lo. Setelah diinterogasi dan disiksa selama dua tahun, McCain akhirnya membuat pernyataan di hadapan para musuhnya yang kelak jadi bahan propaganda Vietkong: “Sebagai pilot AS, saya bersalah telah melakukan kejahatan terhadap rakyat dan negara Vietnam.”

Dalam obituari yang diterbitkan oleh New York Times, disebutkan bahwa pengalaman ini membuat McCain terus dihantui perasaan bersalah. Ia merasa telah mengkhianati tanah airnya.

Publik AS paham jika pengakuan itu keluar dari mulut seorang prajurit yang tengah dirundung siksaan. Sekembalinya ke AS, McCain dielu-elukan sebagai pahlawan perang. Namanya makin harum karena fakta bahwa McCain menolak tawaran sang ayah, John McCain Sr, Panglima Komando Pasifik Amerika Serikat, untuk dibebaskan dari bui Hoa Lo. McCain mengatakan, ia hanya mau dikeluarkan dari penjara jika semua rekannya juga dibebaskan.

Selain membuat McCain tak bisa mengangkat kedua tangannya ke udara, siksaan brutal di Hoa Lo mengubah sikapnya terhadap kebijakan penyiksaan yang dilakukan aparatus keamanan AS dalam aktivitas kontra-terorisme—setidaknya untuk sementara. Vox mencatat pada 2006, McCain berhasil mendorong pengesahan sebuah RUU yang membatasi penggunaan penyiksaan oleh militer AS. Penyiksaan, menurut RUU tersebut, hanya boleh dilakukan untuk menggali informasi dari tahanan sesuai panduan berjudul “US Army Field Manual on Intelligence Interrogation” (PDF).

“McCain mempromosikan pengesahan RUU tersebut sebagai kemenangan melawan penyiksaan,” tulis Vox.

Ada satu masalah di sini. Militer AS memang akhirnya dilarang menyiksa tahanan. Namun, peraturan tersebut tak berlaku buat CIA—yang kelak terus melakukan siksaan terhadap terduga teroris.

Infografik Mozaik John McCain

Infografik Mozaik John McCain. tirto.id/Nauval

Favorit Al-Qaeda

Untuk urusan capres-capresan, McCain memang politikus yang malang. Sebelum kalah oleh Obama pada Pilpres 2008, ia menjadi korban kampanye brutal para pendukung George W. Bush dalam perebutan kandidat presiden Partai Republik pada 2000. Ia difitnah punya anak dari hubungan gelap dengan seorang kulit hitam. Istrinya, Cindy McCain, digambarkan sebagai seorang pecandu narkoba. McCain sendiri difitnah sebagai “homoseksual”. Tersebar pula kabar bohong bahwa ia telah dicuci otak selama ditawan di Vietnam.

Delapan tahun kemudian, taktik serupa terarah ke Obama, yang kerap difitnah sebagai “Arab”, “Muslim”, hingga “teroris”. Untungnya, McCain cukup bijak. Ia sadar bahwa kampanye hitam terhadap Obama justru merugikan dirinya.

“Tidak, Bu. Obama seorang warga negara yang baik. Kebetulan, saya tidak sepakat dengan Obama dalam beberapa isu mendasar. Dan kampanye ini adalah soal ketidaksepakatan itu," jawab McCai ketika seorang pendukungnya mengira jika Obama orang Arab, yang dalam semesta peradaban Partai Republik, berpotensi jadi teroris.

Kekesalan McCain terhadap Bush nampaknya luntur setelah Trump naik jadi presiden. Sejak 2016, beberapa kali ia tampil mesra bersama Bush Senior dan Junior. Penyebabnya, apalagi kalau bukan Trump?

Namun, jauh sebelum Trump jadi presiden, McCain adalah salah seorang promotor agresi militer AS ke Afghanistan (2001) dan Irak (2003)—dua kebijakan yang menjadi ciri khas pemerintahan Bush. Dukungan McCain bahkan dilontarkan sebelum Bush mengambil sikap resmi terhadap Afghanistan. Pada Mei lalu, McCain menyatakan Perang Irak sebagai “kekeliruan” dan bersedia dipersalahkan karena dukungan yang pernah ia berikan.

Di bawah pemerintahan Obama, pada 2011 Senator McCain mendukung pergantian rezim di Libya dengan cara-cara militer dan menyatakan, “kita harus mengambil alih komando dan kontrol [Khadafi]. Tak masalah, jika nantinya ia tewas atau terluka.” Oktober 2011, hanya empat bulan setelah pernyataan McCain, diktator tersingkir Libya Muammar Khadafi tewas dibunuh oleh pasukan pemerintah sementara.

Empat hari sebelum pernyataan McCain tentang Libya, pemerintahan Obama didesak untuk menyerbu Suriah dan mendongkel Assad, yang sempat menjadi mitra AS dalam aktivitas interogasi brutal atas teroris dan terduga teroris. Desakan itu tak lain dan tak bukan keluar dari “Tiga Serangkai Hawk Senat”, Lindsey Graham, Joe Lieberman, dan John McCain—tiga politikus yang dijuluki media liberal Salon sebagai “Tiga Sobat Kematian”.

Sialnya, perang-perang yang disponsori McCain dan dua sobatnya justru menyuburkan terorisme yang hendak mereka lawan. Tak heran, posisi yang mereka ambil kerap dinanti kaum ekstremis dan menguntungkan kelompok-kelompok seperti Al Qaeda dan ISI.

Pada 22 Oktober 2008, dua minggu menjelang pencoblosan dalam Pilpres AS, sebuah berita mengatakan: Al-Qaeda mendukung pencalonan John McCain. Berita itu seolah datang dari kolom satir Borowitz Report di New Yorker atau ejekan rutin The Onion. Rupanya tidak, kabar tersebut terbit di harian Washington Post.

Dua jurnalis Washington Post Joby Warrick dan Karen DeYoung melaporkan Al-Hesbah, satu dari empat forum internet yang menjadi alat komunikasi kelompok-kelompok yang berafiliasi langsung dengan Al-Qaeda memuat postingan berbunyi: "Al-Qaeda akan mendorong rakyat AS untuk mencoblos McCain sehingga McCain akan membalaskan dendam mereka pada Al-Qaeda ... Dengan demikian, Al-Qaeda akan sukses membuat Amerika kelelahan".

Dukungan itu tentu jadi blunder bagi McCain, yang beberapa bulan sebelumnya menggambarkan Obama sebagai calon yang difavoritkan Hamas, organisasi militan Palestina yang dikategorikan Kementerian Luar Negeri AS sebagai kelompok teroris. Menjelang kampanye Pilpres 2008, McCain kerap menyinggung terorisme Islamis sebagai ancaman yang “melampaui batas” dan bahwa “Presiden mana pun yang tak menganggapnya tantangan besar, tak pantas duduk di Gedung Putih.”

“Ada anggapan di kalangan jihadis di forum-forum jihad bahwa McCain akan jadi ‘pewaris setia [George W.] Bush’—orang yang mereka nilai kelewat patriotik dan gila perang,” Warrick dan DeYoung mengutip Adam Raisman, analis senior dari Site Intelligence Group.

Pernyataan Raiman senada dengan analisis Michael Scheuer dalam bukunya Imperial Hubris: Why the West Is Losing the War on Terror (2007). Bekas analis CIA ini menyatakan bahwa teror yang dilakukan al-Qaeda adalah khas strategi war of attrition, sengaja dirancang untuk menyeret Paman Sam ke dalam konflik berkepanjangan agar sumber daya strategisnya terkuras sehingga pangkalan-pangkalan militer AS di luar negeri pun gulung tikar.

Tak lama setelah Trump dilantik, ada semacam kerinduan atas sosok George W. Bush, fanatikus perang yang mewariskan krisis finansial AS di akhir jabatannya. Karena perbandingannya adalah Trump, tiba-tiba Bush Junior dikenang sebagai salah satu presiden terbaik Amerika.

Penasbihan McCain sebagai kompas moral Amerika tampaknya menunjukkan fenomena serupa: zaman semakin buruk sampai-sampai mereka yang telah menyebabkan kita berkubang dalam masalah, kini diusung sebagai hero.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 Agustus 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait POLITIK AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Suhendra & Irfan Teguh