Menuju konten utama

Jejak Perseteruan Ade Armando vs FPI yang Berujung Laporan Polisi

Kuasa hukum FPI, Azis Yanuar melaporkan Ade Armando ke Bareskrim Polri soal ungkapan "FPI bangsat," Senin (10/2/2020). Namun, laporan itu ditolak.

Jejak Perseteruan Ade Armando vs FPI yang Berujung Laporan Polisi
Dosen Komunikasi UI Ade Armando usai diperiksa oleh Tim Penyidik Polda metro Jaya terkait kasus Gubernur Anies Baswedan yang diubah menyerupai wajah tokoh joker. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - “Yang namanya preman beragama itu bangsat, di mana-mana sama dengan FPI yang bangsat, itu juga kelompok-kelompok Minahasa itu juga bangsat.”

Pernyataan itu diucapankan dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando saat merespons soal pembakaran rumah ibadah di Minahasa. Ia mengatakan kalau pelaku pembakaran rumah ibadah itu sama dengan kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap Islam konservatif.

“Kalau buat saya, FPI itu organisasi preman, bangsat memang, nggak bisa diterima," kata Ade dalam video tersebut.

Ujaran Ade Armando pun membuat berang FPI. Kuasa hukum mereka, Azis Yanuar kemudian melaporkan Ade ke Bareskrim Mabes Polri, pada Senin (10/2/2020). Namun, laporan mereka ditolak oleh polisi.

Ade memang kerap kali berseteru dengan FPI. Azis bahkan mengatakan masalah Ade yang melibatkan FPI tidak hanya satu kasus seperti yang dia laporkan Senin lalu.

Dalam catatan yang dihimpun Tirto, Ade tersangkut 6 kasus di kepolisian. Tiga kasus bersinggungan langsung dengan FPI.

Pertama, soal Ade yang mengunggah foto Rizieq Shihab menggunakan pakaian Natal pada 20 Desember 2017. Laporan tersebut diterima dengan terbitnya Laporan Polisi Nomor: LP/1442/XII/2017/Bareskrim, tanggal 28 Desember 2017.

Ade dilaporkan atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian terkait SARA, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 156 KUHP. Kala itu, Ade menyebut, "ini hoax ya."

Kedua, pada 10 April 2018, Ketua Umum FPI Sobri Lubis melaporkan Ade Armando atas ujarannya di media sosial.

Kala itu, dalam tangkapan gambar yang dicetak oleh Sobri, Ade menulis “Polisi harus menunjukkan pada publik bahwa FPI bukan anjing binaan mereka seperti digambarkan Wikileaks dengan bersikap tegas pada FPI.” Ade juga menambahkan tautan berita media daring nasional pada unggahannya.

Laporan tersebut diterima Bareskrim Polri dengan nomor laporan LP/484/IV/2018/Bareskrim. Ade diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE juncto Pasal 45 ayat (2).

Ketiga, Ade juga pernah dilaporkan oleh Koordinator Laporan Bela Islam pada 2018. Meski bukan lewat FPI, Korlabi melaporkan Ade karena dianggap menghina Rizieq. Dalam postingan miliknya, Ade menggunakan kata-kata Rizieq Pengecut banci kaleng, dungu dan menyebut kelompok Rizieq sebagai “para kacung Rizieq”.

Namun, dari berbagai laporan itu, ada satu kasus yang berhasil membuat Ade Armando ditetapkan sebagai tersangka. Ia dilaporkan oleh Johan Khan akibat unggahan Ade di akun media sosial miliknya, pada 20 Mei 2015, atau ketika muncul kontroversi langgam lagu pembacaan ayat Alquran.

Saat itu, unggahan Ade itu berbunyi, “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues."

Kasus Ade Armando ini sempat dihentikan oleh penyidik. Namun, pelapor menolak penghentian perkara dengan mengajukan praperadilan. Kasus kemudian dilanjutkan pada 2017, tetapi tidak ada kelanjutan hingga saat ini.

Azis Yanuar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/2/2020), menjelaskan alasan mereka berani mengatakan Ade kebal hukum. Sebab, kata dia, laporan mereka tidak pernah diproses polisi.

“Kami melihat Ade Armando ini seperti kebal hukum ya karena sudah menurut catatan kami 7-10 LP yang ditujukan kepada Ade Armando baik yang masih terlapor maupun sudah tersangka, kasusnya sampai sekarang mangkrak,” kata Azis.

Azis mengatakan, puncak kekebalan tersebut muncul ketika pihaknya melapor ke polisi soal ujaran Ade di media sosial tentang “FPI bangsat. Ia menerangkan, pelaporan mereka sudah membawa saksi, bukti dan perbuatan gamblang. Namun, kata dia, polisi berdalih saat menerima laporan.

Ia bercerita, tim kuasa hukum sebelumnya ingin memproses omongan Ade lewat UU ITE. Namun, pihak siber Bareskrim Polri mengatakan, pengunggah video juga harus dilaporkan. Hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan tim hukum sehingga mereka membuat laporan menjadi tindak pidana umum.

Di Direktorat Tindak Pidana Umum, Azis mengaku tim kuasa hukum menyulitkan pelaporan. Pihak kepolisian menyebut kalau kasus Ade masuk ketentuan 310-311 KUHP. Akan tetapi, hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan tim kuasa hukum yang ingin menjerat dengan Pasal 156.

Selain mengungkit sulitnya pelaporan “FPI Bangsat,” Azis mengungkit soal pelaporan mereka pada tahun 2015. Usai mereka berhasil menggugat pemberhentian kasus Ade, mereka belum mendengar perkembangan kasus tersebut.

“Kami sudah ada datanya semua sebagian besar kasus mangkrak semua terkait Ade Armando. Bebas jadi ini orang ke mana-mana posting sesuka hati karena memang 'dilindungi,'” kata Azis.

Tuduhan Azis dijawab oleh Ade Armando. Ia mengklaim dirinya tidak kebal hukum. Ia selalu kooperatif dan memberikan klarifikasi kepada polisi dalam setiap pelaporannya.

“Saya sudah berulangkali ditindak dalam artian dipanggil polisi, harus menghadap polisi, menjelaskan dan saya selalu patuh pada panggilan polisi,” kata Ade saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (11/2/2020).

Ia menambahkan, “Bahwa sampai saat ini dianggap tidak ada cukup [bukti] kasus bagi saya untuk diajukan ke pengadilan. Kan soal lain. Jadi jangan ambil keputusan bahwa saya kebal hukum,” kata Ade.

Ade menceritakan dirinya juga mendapat perilaku yang sama oleh polisi. Ia mengatakan, kasus 2015 tetap berjalan meski sempat berhenti. Selain itu, Ade juga sempat melaporkan anggota DPD RI Fahira Idris ke polisi, tetapi tidak diproses oleh kepolisian.

Ade justru beranggapan Rizieq lah yang kebal hukum. Sebab, Rizieq telah kabur ke luar negeri dan tidak menjalani proses hukum.

Ade mengakui dirinya dilaporkan lebih dari 6 kali oleh kelompok FPI. Dalam pelaporan terakhir soal FPI bangsat, Ade membenarkan ujarannya.

Ia mengingatkan, ujaran tentang FPI bangsat merupakan respons soal penyerangan kelompok tertentu kepada musala di Minahasa Utara. Menurut Ade, perilaku penyerang musala sama dengan FPI yang menyerang umat Nasrani saat beribadah atau menyerang kelompok Ahmadiyah.

Di sisi lain, Ade meminta agar FPI sadar diri sebelum bertindak. Sebab, dasar organisasi mereka ingin mendirikan negara bersyariah Islam di Indonesia.

Hal tersebut, kata Ade, bertentangan dengan prinsip Pancasila dan NKRI sehingga organisasi FPI mengancam bangsa.

Dengan banyaknya pelaporan yang tidak diterima polisi, Ade menyarankan, “Sebaiknya mereka urus diri mereka sendiri saja dulu, upayakan agar mereka menjadi organisasi yang tidak lagi bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.”

Tak Ada yang Kebal Hukum

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho menegaskan tidak ada yang kebal hukum di Indonesia. Menurut Hibnu, "kegiatan suatu yang kebal hukum kalau masih dalam tupoksinya.”

Hibnu mengatakan, seseorang yang tidak sesuai kompetensi tidak kebal hukum. Seseorang yang tidak kompeten bisa dikenakan pidana.

Dalam kasus Ade, kata Hibnu, selain tupoksi, kasus hukum bisa ditangani jika laporan diikuti data pendukung yang akurat.

Jika laporan tersebut tidak dipenuhi, Hibnu menerangkan bukan berarti perkara tidak bisa dilanjutkan. Aparat harus melakukan penyelidikan dan butuh waktu untuk memproses bila kurang bukti.

“Yang dibutuhkan masyarakat kecepatan ya bantu Polri, bantu negara. Jangan itu tugas negara, tapi buktinya lama,” kata Hibnu.

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati berpendapat kalau Indonesia tidak ada kekebalan hukum. ICJR menilai justru menandakan kasus Ade Armando sebagai tanda politisasi politik dalam hukum Indonesia.

Ia menyebut, beberapa tahun terakhir, penerapan hukum, khususnya UU ITE sarat dengan kepentingan politik.

Maidina mencontohkan, Pasal 28 ayat 2 UU ITE merupakan langkah pemerintah melindungi ujaran kebencian berbasis SARA. Pasal tersebut muncul untuk melindungi minoritas berbasis SARA. Namun, pasal tersebut kini digunakan untuk menyerang individu tertentu seperti Risma atau presiden.

“Hukum ujaran kebencian, UU ITE 27 ayat 3 dibuat bukan untuk membungkam kebebasan berekspresi, tapi untuk melindungi kelompok rentan, terus 27 ayat 3 spesifik melindungi individu yang terhina, dia menyerang dan harus berbasis delik aduan," kata Maidina saat dihubungi reporter Tirto.

Dalam kasus FPI, Maidina mengingatkan kalau kerangka perkara penghinaan adalah perlindungan terhadap individu. FPI merupakan lembaga sehingga tidak bisa dihina.

Menurut dia, kasus FPI pun merupakan kasus delik aduan. Oleh karena itu orang harus mengadukan secara individu. Maidina mengatakan, Pasal 310-311 KUHP dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan pasal penghinaan, tetapi harus memenuhi unsur-unsur sebelum diproses secara hukum.

"Jadi kalau pakai kerangka hukum penghinaan, ya penghinaan cuma buat melindungi individu manusia, cuma aku belum lihat kasusnya gimana, bisa jadi pakai pasal lain, cuma harus dilihat apakah intensi perkataan seperti apa dan konteksnya karena ada pasal lain,” kata Maidina.

Baca juga artikel terkait UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz