Menuju konten utama

Jawa Timur Zona Merah COVID-19 dan Pemprov Gagap Menghadapinya

Pemprov Jatim dianggap tidak cekatan dalam menghadapi pandemi. Salah satunya karena sempat memperbolehkan salah Idulfitri di Surabaya.

Jawa Timur Zona Merah COVID-19 dan Pemprov Gagap Menghadapinya
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/5/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.

tirto.id - Pemerintah Provinsi Jawa Timur sempat mengizinkan pelaksanaan salat Idulfitri 1441 Hijriah di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya lewat surat bernomor 451/7809/012/2020 tanggal 14 Mei. Surat ini mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 28 tahun 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan salat Idul Fitri saat Pandemik COVID-19.

Kebijakan ini segera mendapat respons negatif. Pemprov Jatim dianggap tak peka dengan situasi pandemi yang bahkan belum menunjukkan tanda-tanda sudah melewati fase puncak, apalagi daerah ini termasuk 'zona merah' penyebaran virus.

"Gubernur dan juga MUI Jawa Timur sangat jelas tidak mampu memberikan teladan, atas nama umat Islam, bagaimana mengimplementasikan ritual selama pandemi. Hukum salat hari raya tidaklah wajib," kata Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Aan Anshori, Senin (18/5/2020). Sementara melindungi nyawa masyarakat dari penyakit, bagi pemerintah dan ulama, hukumnya wajib.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Jatim mencatat jumlah pasien positif COVID-19 Jatim mencapai 2.372 per 19 Mei 2020. 1.169 orang di antaranya ada di Surabaya. Kasus COVID-19 di Jatim mencuat jadi isu nasional saat pabrik rokok Sampoerna menjadi kluster tersendiri di provinsi itu.

Penerapan PSBB di Jawa Timur yang cenderung tidak ketat--atau warga yang kurang patuh--pun menjadi sorotan. Mulai dari munculnya kluster-kluster kecil sampai keadaan Pasar Rungkut Asri yang ramai pada awal Mei lalu.

Aan menilai memperbolehkan salat Idulfitri sangat berisiko menambah jumlah warga terdampak virus, mengingat saat itu kerumunan dalam jumlah besar tidak akan terelakkan. Kebijakan ini juga akan memicu kepala daerah lain wilayah administrasi Jatim mengeluarkan kebijakan serupa.

"Jika ini terjadi, maka masyarakat akan menanggung risikonya. Pandemi akan semakin panjang," katanya.

Sekretaris Daerah Pemprov Jatim Heru Tjahjono mengatakan pengelola Masjid Al Akbar wajib memenuhi protokol kesehatan saat menyelenggarakan salat. Pertama, memastikan imam memperpendek bacaan salat; kedua, menyediakan cuci tangan dengan sabun dan air mengalir; ketiga, mengatur saf dengan jarak dua meter; dan terakhir memastikan semua jemaah menggunakan masker.

Dosen kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan meski di atas kertas diatur soal protokol kesehatan, realisasinya di lapangan tak akan semudah itu. "Bagaimana pengawasannya? Siapa yang menegur jika saling berdekatan? Siapa yang menjamin tidak terjadi kerumunan?"

Bahkan penerapan jaga jarak bisa dibilang mustahil. "Saya sempat berdiskusi dengan ibu gubernur [Khofifah Indar Parawansa]. Memang kesulitannya kedisplinan warga, itu yang jadi masalah," katanya menegaskan.

Selain itu, kebijakan memperbolehkan salat juga sangat mungkin memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap penanganan pemda dalam masa PSBB. Sebab, di satu sisi pemerintah melarang orang berkumpul, tapi di sisi lain mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan hal itu terjadi.

Setelah dikritik oleh banyak pihak, surat itu dianulir alias dibatalkan oleh Heru Tjahjono.

Aan Anshori menilai ketidaktegasan ini "sangat mungkin bersifat politis," sebab jika dari awal pemerintah menggunakan perspektif kesehatan publik dalam pengambilan kebijakan, maka tidak mungkin masalah ini muncul.

"Ia (Khofifah) tampak jelas sedang memberi permen sekelompok masyarakat demi kepentingan elektoral," kata Aan.

Baca juga artikel terkait JAWA TIMUR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi & Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino