tirto.id - Alvin, bukan nama sebenarnya, salah seorang remaja di Surabaya, Jawa Timur. Status bocah lelaki itu adalah pelajar SMA dan usianya kurang dari 18 tahun. Kendati ia kerap dianggap masih bau kencur, ia mengaku, telah merasakan hidup di dunia malam Surabaya.
Baginya, ada kesenangan dan keseruan tersendiri ketika terjun ke dalam dunia itu. Ia mencontohkan momen kebahagiaan tersebut saat bisa berkumpul bersama teman-teman, ditemani sebotol minuman keras—baik di pinggir jalan maupun di tempat hiburan malam. Saat-saat itu menjadi waktu baginya untuk sejenak melepas penat, berbagi canda, bercerita tentang pengalaman baru, hingga mengenang hal-hal yang telah lampau.
“Apalagi pada momen ketika ada teman yang ulang tahun itu seru sekali. Ketika habis satu botol, bisa tambah lagi,” kata Alvin diiringi gelak tawa kepada Tirto pada Selasa (24/6/2025).
Walau memang, Alvin juga mengakui, minuman alkohol dapat memicu terjadinya baku-hantam. Berangkat pada pengalamannya, itu adalah waktu ketika ia bersama teman-temannya mendapati satu dua orang dari kelompok peminum alkohol lain yang berlaku resek kepada kelompok mereka.
Pada mulanya, memang mereka akan membiarkan gangguan kecil itu. Namun, apabila sudah melampaui batas kewajaran, tangan dan kaki mereka yang berbicara kepada kelompok tersebut.
“Namanya sama-sama terpengaruh alkohol, mau bagaimana lagi?” ungkapnya menegaskan.

Lucunya, mengenai minuman alkohol tersebut, sempat menyeruak pikiran di batok kepalanya untuk mengubah barang itu menjadi segepok rupiah. Ini mengingat, usaha minuman alkohol adalah usaha yang mengutungkan.
Sebab, uang yang dikeluarkan sebagai modal akan kembali dua kali lipat ketika minuman alkohol tersebut sudah terjual. Namun, sekonyong-konyong pikiran tersebut buyar di kepalanya tatkala ia mengingat akan dosa.
“Entah kenapa kemudian aku berpikir bahwa menjadi penjual miras itu pekerjaan yang berdosa,” ujarnya.
Ketika ditanya, apakah pernah melakukan hal buruk lain selain meminum minuman keras, ia menjawab pernah ikut tawuran. Walau kemudian ia mengaku, ketika tawuran ia tak pernah terlibat dalam baku hantam.
“Kalau tawuran, aku biasanya ikut konvoi saja,” akunya.
Berbeda dengan Alvin, remaja lain di Surabaya yang memiliki nama samaran Naya mengaku tak pernah meminum minuman keras. Namun, ia kerap menyaksikan banyak temannya menenggak minuman beralkohol itu atau bahkan memakai narkoba.
“Kalau aku sih nggak pernah minum. Tapi kalau melihat anak minum atau memakai narkoba sih sering,” kata Naya kepada Tirto, Selasa (25/6/2025).
Kenakalan yang selama ini pernah dilakukan olehnya hanya pulang ke rumah terlalu larut. Hanya saja, sama dengan Alvin, bocah perempuan berstatus pelajar SMA tersebut pernah ikut tawuran kendati tak turut terlibat dalam perkelahian. Itu adalah waktu ketika ia diajak oleh karibnya yang menjadi anggota gangster.
“Aku nggak ikut tawurannya. Cuma ikut mengambil video pas tawuran tersebut berlangsung,” akunya.
Namun, ketika ditanya soal penyebab kenakalan remaja, entah Alvin atau Naya menunjuk pada berbagai faktor seperti keluarga atau lingkungan. Dan ketika ditanya mengenai kapan remaja melakukan kenakalan, mereka menjawab kapanpun, tak peduli pagi, siang, sore atau malam.
Dari Jam Malam hingga Program Pembinaan
Kenakalan remaja memang menjadi salah satu masalah yang menghinggapi Kota Surabaya. Media massa hampir tak pernah luput memberitakan masalah tersebut. Aparat keamanan seolah tak pernah berhenti bertindak mengatasi masalah tersebut. Ini bisa dilihat pada masalah tawuran antar remaja di Surabaya yang terjadi setiap beberapa bulan sekali.
Pada akhir Agustus 2024, misalnya, aparat kepolisian menangkap 6 remaja bercelurit yang hendak tawuran di Jembatan Polgot, Kenjeran. Kemudian pada akhir Desember 2024, polisi menangkap 7 pemuda yang diduga anggota silat yang terlibat tawuran di kawasan Kya-Kya. Dan pada awal Maret tahun ini, aparat kepolisian menangkap 8 pemuda yang terlibat tawuran di Jalan Simolawang.
Hal yang sama juga terjadi pada aksi balapan liar. Pada Maret tahun ini, misalnya, aparat kepolisian tak pernah berhenti melakukan aksi patroli di jalanan Surabaya. Mereka belajar dari tahun-tahun sebelumnya, di mana bulan Ramadan justru digunakan sebagai momen bagi remaja di Surabaya untuk melakukan balapan liar.
Sebelumnya, tepatnya pada pertengahan September 2024, aparat kepolisian membubarkan dan menangkap remaja yang terlibat dalam aksi balap liar di Kedung Cowek. Akhir Agustus 2024, aparat kepolisian juga menangkap 12 pemuda yang terlibat dalam aksi balap liar yang dilokasi yang sama.
Itulah mengapa untuk mengatasi masalah seperti itu, Pemkot Surabaya menerbitkan Surat Edaran tentang Pembatasan Jam Malam bagi Anak di Kota Surabaya pada Sabtu (21/6/2025). Dengan tujuan untuk memastikan anak dapat berkembang secara optimal dan terlindungi dari berbagai kekerasan dan diskriminasi, Pemkot Surabaya memberlakukan jam malam bagi anak di luar rumah dari pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB kecuali pada kegiatan pendidikan atau sosial-keagamaan.
“Pembatasan jam malam ini bertujuan membatasi aktivitas anak di luar rumah pada malam hari, guna menghindarkan mereka dari berbagai risiko seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, minuman keras, narkotika, psikotropika, zat adiktif lain, serta segala bentuk kekerasan terhadap anak. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat membantu anak berkonsentrasi pada belajar dan beristirahat secara optimal,” kata Wali Kota, Eri Cahyadi, sebagaimana dalam keterangan tertulis, pada Sabtu (21/6/2025).

Bagi anak yang melanggar peraturan tersebut, imbuh Eri, akan diberlakukan pendekatan persuasif dan edukatif sebagai proritas pertama yang melibatkan pihak Pemkot Surabaya dan orang tua/penanggung jawab.
Pemkot Surabaya juga akan memberikan sanksi lain bagi anak untuk mengikuti program Rumah Perubahan dan Rumah Ilmu Arek Suroboyo (RIAS). Sementara pada kasus yang khusus, Pemkot Surabaya akan berkoordinasi dengan Kepolisian Resor Surabaya.
Pemkot Surabaya, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Surabaya, menjelaskan Program Rumah Perubahan ialah program yang dirancang khusus untuk anak yang terindikasi terlibat dalam komunitas beresiko seperti gangster, balap liar, atau pengguna Napza. Hal ini juga menjadi respons atas maraknya kasus penyalahgunaan zat berbahaya seperti miras atau lem.
“Rumah Perubahan adalah program pembinaan selama minimal 7 hari, di mana anak-anak akan dibina secara mental, psikologis, spiritual, dan kedisiplinan. Program ini melibatkan pihak-pihak berkompeten dalam memberikan materi pembinaan anak,” ungkap Kepala DP3APPKB, Ida Widyawati, sebagaimana dalam keterangan tertulis pada Senin (23/6/2025).
Sementara Program Rumah Ilmu Arek Suroboyo (RIAS), imbuh Ida, adalah program yang dihadirkan sebagai alternatif bagi kelanjutan pembinaan dan pendidikan anak.
“Apabila orang tua merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam pemenuhan pendidikan dan pembinaan bagi anaknya, mereka dapat mendaftarkan anaknya untuk mengikuti Program RIAS," katanya.
Hanya Menyentuh Level Permukaan
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Surabaya, Khalid Syaifullah, mengklaim bahwa upaya Pemkot Surabaya dalam mengatasi kenakalan remaja dengan memberlakukan jam malam tersebut bukanlah solusi yang tepat. Ini mengingat, kata Khalid, kenakalan remaja berkelindan dengan masalah struktur sosial yang timpang. Dalam hal ini, mereka yang dilahirkan dari keluarga dengan kondisi ekonomi kurang berkecukupan lebih berpotensi menjadi nakal.
“Ribuan anak-anak yang bermasalah di Surabaya disebut sebagai social issues atau masalah sosial. Nah, jadi ada nilai atau norma atau institusi yang tidak berfungsi dengan baik begitu ya. Itu yang pertama. Nah, kemudian yang kedua, anak-anak yang bermasalah umumnya adalah mereka yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan ekonominya menengah ke bawah,” terang Khalid ketika dihubungi oleh Kontributor Tirto, pada Selasa (24/6/2025).
Dalam hal ini, kondisi ekonomi yang kurang memadai dapat mendorong seorang anak kurang memperoleh akses pendidikan yang layak. Kondisi ekonomi demikian juga memicu anak memperoleh perhatian yang memadai karena orang tua lebih banyak terfokus pada pekerjaan. Kondisi ekonomi demikian juga memicu terjadinya perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga yang berdampak buruk pada anak.
“Struktur keluarga yang jauh dari kata ideal itu yang menciptakan akhirnya anak-anak muda ini mereka menarik diri ya dari institusi-institusi yang menopang masyarakat perkotaan itu, termasuk keluarga, pemerintahan, pendidikan, karena mereka merasa tidak mendapatkan dukungan di dalam ruang-ruang semacam itu. Ya, jadi ada ketimpangan akses atau kemiskinan yang membuat mendorong mereka menjadi anak-anak nakal ya. Dalam berbagai bentuknya ya, menjadi anak jalanan, tawuran, narkoba, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Penjelasan Khalid tersebut bukanlah tanpa bukti. Riset yang dilakukan oleh Nur Cahyo dalam skripsi berjudul Kenakalan Remaja dan Pariwisata dalam Tinjauan Teori Kontrol Sosial Travis Hirschi di Kenpark Kenjeran Surabaya, mengungkap bahwa kenakalan remaja di kawasan pariwisata Kenpark Kenjeran terjadi karena selain faktor pergaulan dan usia yang masih labil, juga kondisi ekonomi yang kurang memadai.
Dalam hal ini, banyak anak di kawasan tersebut melakukan pemerasan terhadap wisatawan, tindakan senonoh di tempat umum, dan juga pelecehan seksual terhadap wisatawan. Itulah mengapa Khalid menyebut kebijakan pemberlakuan jam malam hanya menyentuh permukaan dan belum akar permasalahan.
“Ini solusi yang hanya sifatnya solusi permukaan atau surface level solution. Dia enggak menyentuh akar masalahnya,” ungkapnya.
Bisa Menjadi Represif
Khalid juga menyebut bahwa kebijakan pemberlakuan jam malam juga dapat berpotensi menstigmatisasi bahwa, anak yang keluar pada malam hari selain melakukan kegiatan pendidikan atau sosial-keaagamaan adalah anak nakal. Padahal, imbuh Khalid, kehidupan perkotaan berbeda dengan pedesaan, di mana seolah tidak ada batas yang ketat antara siang dan malam hari.
“Dengan adanya pemberlakuan jam malam seperti ini maka semua aktivitas remaja di malam hari itu akan berpotensi distigma sebagai anak-anak nakal. Padahal kan sebetulnya tidak bisa sekonyong-konyong begitu. Apalagi dalam konteks perkotaan malam itu bukan seperti di pedesaan, di mana masih banyak orang yang menjalankan aktivitas,” terangnya.
Terkait dengan sanksi yang diberikan kepada anak yang melanggar aturan tersebut dengan dibina di Rumah Perubahan, Khalid menganggap bahwa program ini cenderung reaksioner. Sebab, kenakalan remaja adalah masalah kompleks yang melibatkan struktur sosial. Sehingga, tak cukup bila hanya dilakukan pembinaan psikologis, mental, ataupun spiritual.
“Program ini juga bisa menjadi represif karena memang program ini didahului oleh penangkapan begitu gitu ya. Jadi, mereka mereka ditangkap lalu dikarantina dan dimasukkan ke suatu tempat lalu dibina begitu ya menggunakan pendekatannya negara. Nah, ketika mereka ditangkap itu kan sebetulnya mereka dipisahkan dari komunitas awal mereka ya. Nah, justru ini kan cara yang sangat represif gitu ya. Kenapa tidak komunitas nya yang diberdayakan begitu ya,” jelas Khalid.
Menurut Khalid, mengatasi masalah kenakalan remaja perlu pendekatan transformatif. Selain mengakui bahwa masalah ini adalah masalah struktural, Pemkot Surabaya juga mesti mengimplementasikan kebijakan bersandar pada masalah ini. Dalam hal ini, kata Khalid, perlu bagi Pemkot Surabaya untuk menyediakan ruang berekspresi bagi remaja.
“Nah, mungkin beberapa strategi itu bisa dipertimbangkan. Misalnya, karena mereka tidak memiliki akses kepada pendidikan untuk mengekspresikan untuk belajar secara nyaman begitu. Maka ya, Pemkot harus menyediakan ruang itu. Ruang bagi remaja untuk bisa berekspresi begitu ya, bisa belajar dengan nyaman begitu ya,” jelasnya.
“Apalagi sekarang itu kan konsep pendidikan itu tidak lagi kaku ya. Ada yang disebut sebagai living school begitu ya. Jadi apa media pembelajaran itu jangan lagi dibayangkan harus melalui satu institusi yang sifatnya kaku formal,” sambung Khalid.
Di sini Khalid mengapresiasi program Goes To School dan Program RIAS dari Pemkot Surabaya yang menyediakan ruang berekspresi bagi remaja. Ia pun berharap program seperti ini dapat terus dilanjutkan.
“Program Goes To school itu sebetulnya langkah awal yang baik tapi butuh skalabilitas dan kesinambungan. Selain itu juga ada program RIAS yang memberikan pelatihan kewirausahaan kepada anak-anak muda. Nah, itu sebetulnya langkah yang bagus tapi skalanya perlu dibesarkan dan di perlu desain pengembangan lebih lanjut supaya keberlanjutannya,” akunya.
Ia pun berharap untuk selanjutnya Pemkot Surabaya dapat menjalankan pendekatan yang partisipatif dalam mengatasi kenakalan remaja. Partisipatif yang dimaksud di sini ialah menganggap remaja sebagai subjek yang dapat diajak berdiskusi.
“Perlu menggunakan pendekatan partisipatif ya. Jadi remaja ini diajak menjadi subjek pendidikan yang berdiskusi kemudian merancang pendidikan yang pas begitu, yang sesuai. Sehingga mereka pun menjadi nyaman untuk berekspresi dan untuk belajar ya” harapnya.
Ia pun berharap nantinya Pemkot Surabaya menggalakkan kerja-kerja riset. Ini mengingat, kerja demikian dapat menjadi landasan yang ilmiah dan memadai bagi program pemerintahan.
“Jadi memang ini yang yang yang sebetulnya masih kurang di di pemerintahan kita ya. Riset itu tidak menjadi landasan bagi program ya. Maka seringkali langkah-langkahnya reaksioner. Jadi harusnya riset-riset seperti yang dilakukan UPTD ini kan di bawah Dinas Sosial itu harusnya digalakkan,” pungkas Khalid.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































