Menuju konten utama

'Jalan Pintas' Jokowi Selesaikan Kasus HAM Berat Tanpa Pengadilan

Pemerintah akan membentuk UKP-PPHB. Langkah melalui mekanisme non-yudisial ini disebut 'jalan pintas' untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Pegiat mengikuti aksi kamisan ke-610 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Pemerintah tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui Mekanisme Non-yudisial. Ada 23 pasal tercantum dalam draf ini. Lantas, tim UKP-PPHB nantinya berupaya melakukan pemulihan dan rekonsiliasi penyelesaian perkara pelanggaran tersebut.

UKP-PPHB merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri koordinator.

Unit ini dipimpin oleh seorang ketua; bakal melaksanakan penanganan atas peristiwa pelanggaran HAM berat berdasar kesimpulan penyelidikan Komnas HAM; serta bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk penetapan status korban, jumlah, dan jenis kebutuhan atau bantuan dalam rangka pemulihan korban berdasarkan data verifikasi.

Ketua tim dapat melaporkan pelaksanaan tugas kepada presiden paling sedikit satu kali setiap empat bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan melalui menteri koordinator. Segala pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi UKP-PPHB bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara, masa tugas UKP-PPHB berakhir setelah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terbentuk.

Perpres UKP PPHB Menegasikan Pelaku

Pegiat Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih menolak penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara nonyudisial. Ia meminta negara untuk patuh pada aturan main Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Tampak bahwa tanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dipaksakan atau dialihkan menjadi tanggung jawab Presiden, dan bukan tanggung jawab pelaku,” ujar Sumarsih kepada Tirto, Jumat (19/3/2021).

Ibunda mendiang Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan—mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I—tersebut menilai Perpres tersebut mengingkari janji Presiden Joko Widodo perihal penghapusan impunitas.

Isi Perpres pun dinilai berupaya menegasikan pelaku. Dalam Perpres hanya terdapat definisi tentang korban dan tiada definisi tentang pelaku. Defisini korban, menurut Sumarsih, pun tidak mencakup keseluruhan.

“Pengertian korban, mestinya bukan hanya yang mengalami penderitaan fisik dan mental. Tetapi juga yang meninggal akibat perbuatan pelaku yang melawan hukum,” imbuhnya.

Ia menilai pembentukan UKP-PPHB hanya pintu gerbang menuju pembentukan kembali Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Ia mendesak agar Kejaksaan Agung segera menjalankan mandat UU 26/2000 untuk melakukan penyelidikan.

“Kalau Jaksa Agung tidak mampu menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan, Jaksa Agung wajib membentuk tim penyidik ad hoc sebagaimana diatur dalam pasal 21 UU Pengadilan HAM,” ujarnya.

Munculnya Modus Impunitas

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpendapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, cara penyelesaian nonyudisial adalah pembentukan KKR. Sementara KKR itu dibentuk dengan undang-undang.

“Artinya, tugas tim ini sama (yakni pembentukan) KKR. Ini bertentangan dengan UU 26/2000 dan penting karena bukan sekadar aturan hukum,” ucap Asfinawati kepada Tirto, Jumat (19/3/2021).

Para pembuat undang-undang telah mengantisipasi bahwa akan ada banyak penyelewengan di dalam non-yudisial, yang sebenarnya menjadi modus impunitas.

Seolah-olah ada mediasi cum rekonsiliasi di balik modus tersebut, namun sebetulnya itu dijalankan dengan cara-cara yang tidak pas.

“Justru menekan korban, memberikan beban kepada korban untuk memaafkan terlebih dahulu. Karena itulah dibikin dengan undang-undang supaya jelas ukurannya,” sambung dia. Yang mengerikan dari rancangan Perpres ini adalah sarana impunitas.

Poin ‘mengingat’ pada rancangan ini adalah Pasal 4 (ayat) 1 UUD 1945. Alasan ini dijadikan dasar karena tidak ada cantelan hukum lain. “Kalau dia (pemerintah) gunakan UU 26/2000, ketahuan dia salah. Karena KKR dibentuk melalui undang-undang. Kecuali tugasnya mendata korban tapi tidak penyelesaian non-yudisial, itu artinya bersifat teknis.”

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Dian Rositawati menilai Perpres tersebut jauh dari jelas dan memiliki fungsi terbatas; sehingga ditakutkan akan mengurangi akuntabilitas dalam proses pencarian keadilan bagi korban.

Apabila pelaku tidak pernah diungkap maka mustahil untuk menentukan korban. Sehingga menurutnya tahapan mengungkap kebenaran dengan memunculkan dan mengadili pelaku terlebih dahulu karena tanpa “mekanisme seperti mungkin saja akan terjadi impunitas pelaku.”

“Mekanisme ini sangat beralasan ini hanya upaya mencari jalan pintas, dengan memberikan ganti rugi pada korban. Bukan pada tujuan penyelesaian pelanggaran HAM dengan mekanisme non yudisial yang seharusnya,” ujar Tita kepada Tirto, Jumat malam.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Maya Saputri