tirto.id - Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2021-2023, Alfian Nasution, menyebut Pertamina tak akan mengalami kerugian apabila seluruh penjualan bahan bakar minyak (BBM) menggunakan harga dengan nilai jual terendah atau bottom price.
“Kita usahakan tidak rugi. Jadi, penjualan-penjualan yang dilakukan Pertamina itu pada dasarnya, Pak, itu semuanya tidak rugi, Pak karena bottom price itu di dalamnya itu ada margin di situ,” kata Alfian saat menjadi salah satu saksi di sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Alfian menjelaskan penjualan BBM dan solar nonsubsidi menggunakan bottom price sah saja selama Pertamina tak merugi.
Merespons itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar Alfian untuk menanyakan untung dan rugi Pertamina Patra Niaga saat itu.
“Kalau di bawah bottom price itu boleh ya, tapi tidak boleh rugi. Kenyataannya pada saat itu rugi nggak?,” tanya jaksa dengan tegas kepada Alfian.
Alfian pun menjawab perlunya melihat portofolio atau kontrak kerja sama secara menyeluruh untuk bisa melihat untung rugi. Ia mengatakan harga kontrak dapat sampai bertahun-tahun. Namun, itu tergantung kerja sama yang disepakati.
Dia pun menjelaskan harga kontrak tak bisa disandingkan dengan harga jual terendah atau bottom price. Hal tersebut lantaran harga oni adalah harga yang dikalkulasikan ulang setiap dua pekan.
“Jadi begini, Pak, penjualan kita itu harus kita lihat secara portofolio total juga, Pak. Kita harus lihatnya seperti itu.
"Membandingkan harganya tidak bisa dengan bottom price. Karena gini Pak kontrak jangka panjang, kita dengan suatu perusahaan itu kan kontraknya kan 5 tahun misalnya atau 2 tahun. Itu kan harganya, harga perkiraan semua,” jelas Alfian.
Sementara, lanjutnya, penjualan solar nonsubsidi kepada pihak industri dikatakan memberi profit untuk Pertamina Patra Niaga (PT PPN). Jaksa menanyakan kontrak antara Pertamina dengan perusahaan swasta lainnya dalam menjual solar non subsidi dengan harga bottom price.
“Kalau yang setahu saksi, itu kontraknya dengan para
perusahaan yang tadi saksi bilang ada banyak itu, rata-rata berapa tahun penjualan solar non-subsidi?,” tanya jaksa.
“Macam-macam, Pak. Ada yang kontrak setahun, dua tahun, ada yang lima tahun. Saya enggak, enggak hafal, Pak,” jawab Alfian.
Ketika ditanya perusahaan apa saja yang diteken kontrak kerjasamanya oleh Pertamina dalam menjual beli BBM dengan harga bottom price, Alfian hanya menyebut PT Adaro Indonesia Tbk. Jaksa membeberkan terdapat sebanyak 14 kontrak perusahaan yang telah diteken oleh para terdakwa, yakni Riva dan tiga terdakwa lainnya.
“Yang ditandatangani para terdakwa tuh ada 14 perusahaan. Saya sebutin lah, ya, saksi ya, majelis. PT Berau, Bumi, Merah Putih, Adaro, Pama, Ganda Alam, Makmur, Indosemen, Aneka Tambang, Maritim, Vale Indonesia, Kuranusa,” kata jaksa.
“Sedangkan ini banyak perusahaan, kok cuma Adaro doang yang saudara ingat?,” sambung jaksa.
“Saya yang masuk yang ke otorisasi saya itu, kebetulan hanya satu, Pak. Adaro itu loh,” jawab Alfian.
Alfian pun membeberkan alasan penjualan solar tersebut lebih murah dibandingkan harga untuk sejumlah perusahaan lainnya.
“Di poin 81 di BAP saksi ya. Ini kan ada pertanyaan, mengapa harga jual biosolar di industri kepada Adaro Group lebih murah dibandingkan dengan yang lain?,” tanya jaksa.
Alfian menyatakan harga untuk Adaro lebih murah karena pada saat penawaran dilakukan, terdapat kompetitor Pertamina yang juga melakukan penawaran kepada Adaro.
“Karena adanya rencana kompetitor (dari Pertamina), yaitu Exxon, yang akan masuk sebagai supplier ke Adaro, yang dikhawatirkan akan membuat efek negatif terhadap market PT Pertamina di wilayah Kalimantan,” ucap jaksa saat membacakan berita acara pemeriksaan (BAP).
Alfian pun membenarkan hal tersebut. Per tahunnya, kata Alfian, Adaro membutuhkan 550.000 hingga 600.000 kilo liter BBM.
“Dan market non-Adaro yang disuplai dari terminal IBT milik mereka (Adaro) kurang lebih 600.000 sampai 700.000 kiloliter per tahun, sehingga apabila market tersebut lepas, dikhawatirkan akan sangat mengganggu dan produksi kilang bisa tidak terserap,” terang Alfian.
Dengan demikian, Alfi menekankan walaupun harga yang diberikan Pertamina kepada Adaro murah, Pertamina masih mendapatkan untung. “Jadi, memang kita marginnya itu tipis, tapi kertas kerjanya tuh masih profit, masih untung,” kata Alfian.
Setidaknya total 14 perusahaan besar yang diperkaya dari tindakan Rp2.544.277.386.935 atau Rp2,54 triliun. Kerugian negara atau perekonomian negara terdiri atas kerugian keuangan dalam pengadaan impor produk kilang/BBM sebesar 5.740.532,61 dolar AS atau 5,7 juta dolar AS. Kemudian kerugian negara dalam penjualan solar non-subsidi selama periode 2021-2023 sebesar Rp2.544.277.386.935 atau Rp2,54 triliun.
Kerugian negara atau perekonomian negara terdiri atas kerugian keuangan dalam pengadaan impor produk kilang/BBM sebesar 5.740.532,61 dolar AS atau 5,7 juta dolar AS. Kemudian kerugian negara dalam penjualan solar non-subsidi selama periode 2021-2023 sebesar Rp2.544.277.386.935 atau Rp2,54 triliun.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































