Menuju konten utama

Jadi PNS Kolonial: Impian Menak Sunda Zaman Belanda

Pemerintah kolonial merekrut banyak menak Sunda sebagai pegawai negeri. Mereka menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam berhubungan dengan rakyat. 

Jadi PNS Kolonial: Impian Menak Sunda Zaman Belanda
Gedung Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang, Banten. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan impian banyak orang di Indonesia. Pusat Kajian Reformasi Administrasi pernah melakukan survei kepada sejumlah mahasiswa di tiga perguruan tinggi negeri terkemuka tentang pilihan kerja setelah lulus kuliah.

Sebanyak 43,1 persen responden memilih menjadi PNS dengan sejumlah alasan, yakni keamanan pekerjaan, gaji, gengsi, pengabdian, jaminan hidup, dan passion. Dari keenam alasan tersebut, keamanan pekerjaan menjadi alasan yang paling banyak dikemukakan.

“PNS itu pasti dan jelas. Gajinya pasti, ada jaminan masa tua dan jenjang kariernya jelas. Sektor swasta juga bagus, gajinya besar tapi masa tua akan lebih terjamin kalau jadi PNS,” kata Michael, seorang pekerja swasta kepada Tirto.

Bekerja dengan gaji dari kas negara memang menggiurkan. Di luar perbedaan jumlah gaji yang diterima tiap pegawai, selama negara belum bangkrut, selama itu pula pendapatan terjamin. Maka tak heran bahwa di Indonesia, sejak dulu sampai sekarang, PNS adalah mimpi basah orang ramai yang selalu diburu tiap ada kesempatan.

Lini kala sejarah negeri ini menunjukkan bahwa PNS adalah warisan kolonialisme Belanda. Setelah VOC runtuh dan mewariskan sistem birokrasi yang ruwet, pemerintah kolonial mengubahnya menjadi sistem birokrasi modern. Namun, karena tidak semua pegawai negeri dapat diisi orang-orang Eropa yang jumlahnya sedikit, kaum bumiputra pun dilibatkan untuk menempati pos-pos yang lowong.

Pemerintah kolonial mengangkat para menak atau priyayi sebagai pegawai negeri agar mudah menjangkau rakyat bawah. Para menak yang secara sosial dipandang lebih tinggi tentu akan lebih mudah mensosialisasikan program-program pemerintah.

Mendidik Calon Ambtenaar

Untuk membekali para priyayi yang hendak menjadi pegawai negeri, pemerintah kolonial mendirikan sejumlah sekolah agar memperoleh pekerja yang terdidik dan berbiaya murah. Salah satunya adalah Sekolah Pendidikan Calon Guru atau Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK). Di daerah Priangan, sekolah ini biasa disebut Sakola Raja.

Sekolah ini dibuka sebagai persiapan mendirikan sekolah-sekolah bumiputra. HIK pertama kali diusahakan oleh pihak swasta (Zending) di Ambon pada 1934. Sementara di Pulau Jawa mulai dibuka pemerintah pada 1852 di Surakarta.

Selain HIK, pemerintah kolonial juga mendirikan Hoofdenschool atau Sekolah Khusus untuk Calon Pegawai pada 1880 di Bandung. Pada 29 Agustus 1900, nama Hoofdenschool diubah menjadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Orang Sunda biasa menyebutnya sebagai Sakola Ménak karena sekolah tersebut disediakan khusus untuk anak-anak pegawai pribumi dan tokoh masyarakat.

Menurut Atep Kurnia dalam artikel bertajuk “Diagung-agung ku Payung” yang ia kutip dari Ménak Priangan (1998) karya Nina H. Lubis dan Bupati di Priangan (2014) karya A. Sobana Hardjasaputra, menak Sunda terbagi ke dalam ménak heubeul (lama) dan ménak anyar (baru). Ménak heubeul adalah para priyayi yang punya kedudukan sosial kuat saat Priangan di bawah kekuasaan Mataram. Sementara Ménak anyar adalah priyayi yang kedudukannya lebih rendah dari ménak heubeul tapi mengalami mobilitas vertikal karena mendapat pendidikan ala Barat lewat sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial.

Kedua golongan inilah, dalam konteks Sunda, yang menjadi para pegawai kolonial. Pada praktiknya, para priyayi yang menjadi perantara pemerintah kolonial dengan rakyat kerap memanfaatkan kedudukan untuk keuntungan pribadi. Hal ini membuat mereka berlomba bersikap manis di hadapan pemerintah kolonial agar tetap dipercaya oleh penguasa.

Lagu sebagai Cermin

Dalam permainan tradisonal anak-anak Sunda, ada satu lagu pengiring berjudul “Ayang-ayang Gung” yang liriknya mengkritisi para priyayi yang menyalahgunakan kedudukan. Rakyat mengutarakan unek-unek lewat lagu yang dibawakan secara ceria dan dilantunkan oleh anak-anak. Cara halus ini tentu beralasan karena rakyat jelata berada dalam posisi sosial paling lemah.

“[…] Seorang bangsawan, Tuan Tanu / dia menjadi Wedana / mengapa dia begitu [menjadi Wedana]? / karena [dia] seorang penyanjung / banyak orang tidak suka kepadanya / [karena] dia dekat dengan kompeni atau pemerintah kolonial / tujuannya ingin menjadi pejabat tinggi.”

Lagu tersebut mula-mula diperkenalkan oleh R. Poeradiredja (Ketua editor untuk bahasa Sunda pada kantor Volkslectuur) dan M. Soerijadiradja (guru bahasa Sunda dan Melayu di Opleidingschool di Serang) pada 1919, saat digelar Kongres Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa.

Tokoh dalam lirik lagu tersebut bernama Tuan Tanu. Menurut Nina Lubis dan kawan-kawan dalam Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (2000), Tuan Tanu atau Letnan Tanujiwa adalah orang yang menyertai Scipio (seorang peneliti Belanda) yang melakukan ekspedisi ke daerah hulu Sungai Cisadane pada 1680-an.

Infografik pendidikan bangsawan di tatar sunda

Salah satu versi lagu tersebut dipungkas oleh kalimat “Jalan ka Batawi ngemplong” (Jalan ke Batavia terbuka lebar). Hal ini tentu menunjukkan bahwa jalan menuju kekuasaan (pusat VOC di Batavia) menjadi mudah.

“'Ayang-ayang Gung' adalah nyanyian yang bersumber dari khasanah lagu permainan anak. Teks yang asli sebetulnya merupakan pengisahan secara kritis terhadap tokoh feodal yang bernama Ki Mas Tanu, seorang antek Kolonial Belanda. Dia (Ki Mas Tanu) menjadi prototipe kesewenang-wenangan kekuasaan, dan menjadi sindiran juga guyonan di kalangan orang-orang Sunda, termasuk anak-anak,” tulis Albertus Budi Santoso dalam Politik & Postkolonialitas di Indonesia (2003).

Sementara menurut M.A. Salmoen dalam buku Raden Hadji Muhammad Musa, lagu “Ayang-ayang Gung” merupakan sindiran bagi Hofd Penghulu Limbangan, yaitu Muhammad Musa (1822-1886). Tokoh ini dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan kolonial, terutama persahabatannya dengan Karel Federik Holle. K.F. Holle adalah seorang pengusaha perkebunan, pendorong budaya cetak dalam literasi Sunda, dan penasihat kehormatan pemerintah kolonial untuk urusan pribumi.

Pada 1994, saat melakukan wawancara untuk penyusunan buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005), Mikihiro Moriyama mendapatkan informasi dari salah satu narasumbernya bahwa lagu “Ayang-ayang Gung” merupakan gubahan Muhammad Musa yang merasa khawatir anaknya akan dikalahkan oleh salah satu lawan politiknya yang bernama Tanu.

“Kemampuan Tanu dipertanyakan, kelicikannya diejek, tetapi tak pernah terlintas dalam pikiran Musa bahwa lagu yang dikarangnya akan berkaitan dengan dirinya sendiri, rupanya senjata makan tuan,” tulis Moriyama.

Dua versi zaman yang berbeda dalam mengidentifikasi tokoh Tanu dalam lagu tersebut, yang satu menyebutnya zaman VOC, dan satu lagi di era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, tak mengubah esensi pesan lagu tersebut bahwa mendekat kepada lingkaran kekuasaan merupakan modus lama para priyayi untuk mengamankan kedudukan mereka.

“Ayang-ayang Gung adalah kritik kesadaran kelas yang terobsesi pikiran kolonial, pikiran feodal, atau warisan pendahulu yang menganggap bahwa rakyat adalah representasi hierarki dunia bawah dan pelengkap dunia atas. Rakyat adalah abdi, pelayan, dan berposisi bukan pada level elite politik penguasa atas melainkan sebaliknya,” tambah Albertus Budi Santoso.

Lagu tersebut hadir dalam kehidupan sosial priyayi dan rakyat Sunda sejak ratusan tahun silam. Dan secara subtil menghajar kelakuan kaum ningrat yang secara tak sehat mendekati lingkaran kekuasaan dan menyalahgunakan kedudukan.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Ivan Aulia Ahsan