tirto.id - Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Gugatan tersebut teregistrasi dengan nomor 145/PUU-XXIII/2025 pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Dalam pengajuan judicial review ke MK, Iwakum diwakili oleh Tim Kuasa Hukum yang terdiri dari Viktor Santoso Tandiasa, Nikita Johanie, Raihan Nugroho, Agustine Pentrantoni Penau, dan Didi Supandi.
Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada majelis menyatakan Pasal 8 UU nomor 40/1999 bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai:
"Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada Wartawan dalam melaksanakan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers. atau, Dalam menjalankan Profesinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers."
Koordinator Tim Kuasa Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menjabarkan alasan gugatan tersebut perlu diajukan. Menurutnya, Pasal 8 UU Pers tidak memberikan kepastian hukum bagi wartawan.
“Rumusan norma ‘perlindungan hukum’ dalam Pasal 8 UU Pers masih sangat multitafsir. Tidak dijelaskan perlindungan seperti apa yang diberikan pemerintah dan masyarakat kepada wartawan,” kata Viktor dalam keterangan tertulis, Minggu (17/8/2025).
Dia menegaskan bahwa ketidakjelasan itu dapat mencelakai para wartawan yang bekerja di lapangan dengan ancaman kriminalisasi soal pemberitaan. “Ketidakjelasan ini membuka celah kriminalisasi dan gugatan perdata terhadap wartawan atas karya jurnalistiknya,” terangnya.
Iwakum meminta MK untuk menyatakan Pasal 8 UU Pers dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
"Satu, tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers;" atau "Kedua, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers."
Ketua Umum Iwakum, Irfan Kami, mengungkapkan bahwa gugatan tersebut dilakukan dalam rangka partipasi awak media terhadap perjuangan kemerdekaan bagi insan pers di Indonesia.
“Wartawan tidak boleh lagi bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi maupun gugatan perdata hanya karena menjalankan tugas jurnalistik,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco Sulaksono, menambahkan bahwa wartawan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang jelas, sama seperti profesi lain.
“Advokat dilindungi oleh Pasal 16 UU Advokat, Jaksa dilindungi Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan. Wartawan juga seharusnya mendapat perlindungan hukum yang tegas dan tidak multitafsir. Jika tidak, kebebasan pers yang dijamin konstitusi akan terus terancam,” kata Ponco.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id

































