tirto.id - Desas-desus mengenai Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar ditepis langsung oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Munaslub adalah agenda partai untuk mengganti ketua umum.
Setidaknya sudah dua kali Airlangga menegaskan kalau partai yang dipimpinnya tidak akan menggelar Munaslub hingga masa jabatannya berakhir di tahun 2024.
Pernyataan pertama dia sampaikan pada Rabu, 26 Juli 2023. Pernyataan kedua dia sampaikan pada Rabu, 13 Juli 2023. Berkata kepada yang berminat menjadi Ketum Golkar, Airlangga menegaskan, silakan mengajukan diri di tahun 2024.
“Munas 2024, silakan kalau berminat jadi Ketua Umum Golkar ke 2024,” ujar Airlangga pada Rabu (13/7/2023) dikutip Antara News.
Bamsoet Bicara soal Munaslub Golkar
Isu Munaslub juga ditampik oleh Wakil Ketum Golkar, Bambang Soesatyo. Dia menjelaskan, saat ini Golkar masih dalam keadaan baik-baik saja, sehingga tidak ada alasan untuk menggelar Munaslub.
Kabar mengenai Munaslub Golkar dipantik oleh isu dari internal partai, yang mengatakan: ada kemungkinan Airlangga turun dari jabatannya apabila Munaslub benar-benar digelar.
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam menyampaikan “karena Munaslub, maka pergantian ketua umum bisa mengarah ke sana, tergantung pemilik suara.”
Isu tersebut semakin panas setelah Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan mengaku sudah ditemui sejumlah tokoh Partai Golkar. Intinya, klaim Luhut, memintanya maju dalam pencalonan Ketum lewat mekanisme Munaslub.
"Saya pikir mereka ceritakan semuanya ke saya. Saya pikir kok sudah semakin parah. Ya kita lihat saja nanti. Itu kan hak konstitusi semua. Kalo mereka sepakat untuk dilakukan, ya hak mereka juga," kata Luhut di Kompas TV.
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkannya, Luhut secara gamblang menyatakan kalau dia siap menggantikan Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar, jika memang dia dukung oleh anggota lainnya.
“Kalau didukung, mau,” ujarnya dikutip Antara News, Selasa, 25 Juli 2023.
Dualisme Partai Golkar Era Abudrizal Bakrie dan Agung Laksono
Gejolak yang sedang dihadapi oleh Golkar mengingatkan kembali pada dualisme kepemimpinan era Abudrizal Bakrie dan Agung Laksono pada rentang waktu 2014 hingga 2016.
Pasca-Pemilu 2014, terjadi perbedaan pandangan politik antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.
Berdasarkan studi dari Ach Busari berjudul "Dualisme Kepemimpianan dalam Partai Golkar", kala itu, kubu Abudrizal Bakrie berada di luar pemerintahan bersama Koalisi Merah Putih (KMP). Sedangkan Kubu Agung Laksono berada di dalam pemerintahan dan bergabung bersama Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Kisruh kepemimpinan Agung Laksono dan Aburizal Bakrie melahirkan dualisme kepengurusan, keduanya masing-masing dikukuhkan menjadi Ketum Golkar dalam Munas yang berbeda.
Abudrizal Bakrie dipilih sebagai Ketum pada Munas IX Golkar di Bali, sementara itu Agung Laksono dipilih sebagai Ketum pada Munas IX Golkar di Ancol, Jakarta.
Kala itu, dua kubu yang berseteru saling ngotot dan mengklaim bahwa kepemimpinan mereka yang sah.
Perseteruan diwarnai tuntutan jalur hukum. Pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono dalam hasil Munas Jakarta.
Kemudian, pada April 2015 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan keputusan yang berisi tentang penundaan pelaksanaan keputusan dari Kemenkumham karena kubu Aburizal Bakrie berusaha menggugat hasil putusan.
Lalu, pada 10 Juli 2015, hakim menolak gugatan dari kubu Aburizal Bakrie, dan resmi menetapkan Agung Laksono sebagai Ketum yang sah.
Usaha yang dilakukan kubu Aburizal Bakrie tidak sampai di situ saja, gagal di PTUN Jakarta, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada Oktober 2015, MA mengabulkan kasasi dari kubu Aburizal Bakrie. Kemenangan di MA membuat Aburizal Bakrie secara sah diakui sebagai Ketum Golkar pada periode Januari hingga Mei 2016.
Meski demikian, suasana yang tidak kondusif masih menyelubungi Golkar. Hingga akhirnya, melalui musyawarah internal partai, kedua kubu setuju untuk menggelar Munaslub demi menciptakan persatuan Golkar.
Dualisme kekuasaan antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie resmi berhenti ketika Setya Novanto terpilih sebagai Ketum Golkar pada 17 Mei 2016 dalam Munaslub yang digelar di Nusa Dua, Bali.
Survei Elektabilitas Golkar Jelang Pemilu 2024
Elektabilitas Golkar berdasarkan survei dari Indikator per 26–30 Mei, Populi Center per 5– 12 Juni, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) per 1–8 Juli 2023.
- Elektabilitas Golkar di Indikator: 7,7 persen (posisi ketiga)
- Elektabilitas Golkar di Populi Center: 10,1 persen (posisi ketiga)
- Elektabilitas Golkar di LSI: 6,2 persen (posisi keempat)
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto