Menuju konten utama

Istana: Pernyataan soal Presiden Boleh Kampanye Disalahartikan

Ari Dwipayana menilai, publik salah tangkap tentang pernyataan presiden dan menteri bisa menjadi bagian tim sukses atau berpihak di pemilihan umum (Pemilu).

Istana: Pernyataan soal Presiden Boleh Kampanye Disalahartikan
Presiden Joko Widodo (tengah) menyampaikan pidato didampingi Kepala Staff Kantor Presiden Moeldoko (kiri) saat meresmikan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) ruas simpang Indralaya-Muara Enim seksi simpang Indralaya-Prabumulih di Indralaya, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (26/10/2023).ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/rwa.

tirto.id - Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menilai, publik salah tangkap tentang pernyataan presiden dan menteri bisa menjadi bagian tim sukses atau berpihak di pemilihan umum (Pemilu). Hal itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini.

"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu (24/01/2024), telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari dalam keterangan, Kamis (25/1/2024).

Ari menilai, Presiden Jokowi justru tengah memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden.

Jokowi, kata Ari, mengacu pada pasal 281 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan Kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Akan tetapi, memang ada syaratnya jika presiden ikut berkampanye. Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. Kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Dengan diizinkannya presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta Pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," kata Ari.

Ari pun menegaskan, pernyataan Jokowi bukan hal yang baru. Ia mengingatkan bahwa UU Pemilu menjadi koridor aturan pelaksanaan Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas, dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," kata Ari.

Selain itu, kata Ari, Jokowi juga menegaskan bahwa semua pejabat publik/pejabat politik harus berpegang pada aturan main. Kalau aturan memperbolehkan, silakan dijalankan. Kalau aturan melarang maka tidak boleh dilakukan.

"Itu artinya, Presiden menegaskan kembali bahwa setiap pejabat publik atau pejabat politik harus mengikuti atau patuh pada aturan main dalan berdemokrasi," kata Ari.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN BOLEH KAMPANYE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Anggun P Situmorang