tirto.id - Malam belum lagi datang, namun urat leher peserta Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah keburu menegang.
Baru saja pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono memberikan kata sambutan, Sabtu (27/9/2025) sore, suasana muktamar sudah menjadi gaduh.
Agenda yang juga berbarengan dengan pemilihan Ketua Umum PPP periode 2025-2030 itu, digelar di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta Utara. Alih-alih menghasilkan kepemimpinan baru, muktamar ke-10 PPP justru kembali melahirkan dualisme kepemimpinan.
Dua kubu saling klaim memenangkan muktamar: kubu Mardiono dan kubu Agus Suparmanto.
Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy atau akrab disapa Gus Romy menuturkan, sejak sore, agenda Muktamar X memang sudah gaduh. Ketika acara baru dibuka dengan pidato Mardiono, sejumlah peserta muktamar langsung menyanyikan yel-yel yang memintanya turun panggung.
"Yang gagal mundur, yang gagal mundur, yang gagal mundur," kata Romy menirukan nyanyian para peserta muktamar, ketika dihubungi Tirto, Senin (29/9/2025).
Beberapa peserta juga meneriakkan kata "mundur" dan "perubahan" untuk menyela pidato Mardiono. Romy mengklaim, tindakan itu merupakan ekspresi kekecewaan dari sejumlah DPW dan DPC yang menganggap Mardiono sudah gagal membawa PPP tembus ke DPR dalam Pemilu 2024.
Untuk pertama kali sejak didirikan pada 1973 silam, memang baru periode ini PPP gagal melenggang ke Senayan. Mardiono yang menggantikan Suharso Monoarfa pada 2022 silam sebagai Plt Ketua Umum PPP dituding yang paling bertanggung jawab atas kegagalan ini.

Romy melanjutkan, keributan terus berlangsung selesai Mardiono pidato. Ketika Mardiono melaksanakan konferensi pers dengan awak media di luar ruangan muktamar, kubu penentang Mardiono sempat beradu fisik dengan kubu pendukungnya.
Hal ini lantaran yel-yel terus menggema menyasar Mardiono yang membuat kubu pendukungnya jadi terpancing emosi.
"Lalu terjadilah pukul-pukulan itu, situasi setelah pembukaan sekitar jam setengah enam sore," kata Romy.
Namun adu jotos lebih besar justru terjadi ketika sidang muktamar berlangsung pada malam hari. Sidang dipimpin oleh Amir Uskara yang juga memegang palu sidang.
Namun, terjadi penolakan dari sejumlah DPC dan DPW karena Amir Uskara disebut-sebut bagian tim pemenangan Mardiono. Menurut Romy, peserta muktamar menginginkan pucuk pimpinan sidang diganti.
Ketika Amir tengah membuka sidang, rentetan 'interupsi' menyela kata-katanya. Suasana menjadi memanas saat Amir menegaskan bahwa dia adalah pemimpin sidang yang sah. Peserta muktamar yang tidak terima lantas merangsek ke depan meja pimpinan sidang.
Pada situasi inilah terjadi lagi gesekan fisik antarkubu. Amir Uskara lari meninggalkan ruang sidang. Sementara bangku hingga tinju saling melayang di antara peserta muktamar.
Pada momen setelahnya itulah menurut Romy, justru Amir dan Mardiono serta pendukungnya malah mengumumkan lewat ruangan lain bahwa Mardiono terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP 2025-2030.
Padahal, klaim Romy, usai ribut-ribut itu sebetulnya sidang muktamar terus dilanjutkan hingga rampung dan memilih Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum baru PPP.
Romy menambahkan, saat agenda sidang pemilihan umum ketua baru, cuma Agus yang maju mendaftar. Sementara Mardiono tidak kelihatan batang hidungnya, bahkan ketika agenda sidang laporan pertanggung jawaban masa kepemimpinannya.
Karenanya Romy menepis klaim dari kubu Mardiono yang tiba-tiba mengumumkan memenangkan muktamar di ruangan berbeda. Dengan begitu, dia menegaskan Agus Suparmanto sebagai pucuk pimpinan PPP yang sah.
"Makannya ini saya katakan ini mau muktamar atau mau ngamar? Masa muktamar mengumumkan dia terpilih aklamasi hanya dia dan beberapa belas orang saja dan dari sebuah kamar," ucap Romy.
Alasan klaim kubu Mardiono dan Agus Suparmanto
Di sisi lain, Mardiono juga bersikukuh bahwa keterpilihannya sudah sah sesuai dengan AD/ART partai. Ia menyebut keputusan aklamasi diambil untuk menyelamatkan jalannya Muktamar yang dinilai sudah berada dalam situasi darurat.
Sejumlah kader mengalami luka di bagian kepala dan bibir akibat kericuhan yang terjadi dan dilarikan ke rumah sakit.
"Proses bisa dipercepat karena kami anggap sebagai penyelamatan dalam kondisi situasi yang sangat darurat," ucap Mardiono saat konferensi pers di Hotel Mercure, Sabtu (27/9) malam.
Amir Uskara yang mendampingi Mardiono turut menegaskan keputusannya untuk mempercepat pemilihan ketua umum di awal rangakaian sidang dibenarkan AD/ART.
Ia mengaku sebelum keluar ruangan, sempat mengetuk palu dan menanyakan ke peserta sidang apakah kembali memilih Mardiono. Klaimnya, tak terjadi penolakan.
Ia mengklaim 30 ketua DPW hadir dan memberikan dukungan. Versi Mardiono, sekitar 80 persen menyatakan setuju Muktamar X mengambil langkah cepat dengan memilih ketua umum secara aklamasi. Tentu dengan Mardiono sebagai pemenangnya.
"Saya bacakan, saya langsung meminta kesepakatan. Mereka setuju dan saya ketuk palu," ujar Amir Uskara.
Namun, kubu Agus Suparmanto terus jalan dengan klaimnya memenangkan Muktamar X dengan melangsungkan tasyakuran sehari setelahnya, Minggu (28/9/2025) di Ancol, Jakarta.
Agus yang hadir langsung dalam acara, mengungkapkan dirinya akan segera mengurus keabsahan organisasi partai ke Kementerian Hukum (Kemenkum), walaupun saat masih terdapat dualisme kepengurusan dengan kubu Mardiono.

Mengenai masalah dualisme kepengurusan dengan Mardiono, eks Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo tersebut berharap dapat diselesaikan di internal partai dengan mekanisme yang ada. Ia tak ingin masalah kepengurusan tersebut diselesaikan melalui mekanisme arbitrase di luar partai.
Agus percaya diri bahwa status dirinya sebagai ketua umum memiliki landasan hukum yang kuat dan absah, walaupun kubu Mardiono meragukan hal tersebut.
Salah satu aspek yang diragukan oleh kubu Mardiono adalah rekam jejak Agus sebagai pengurus PPP yang masih seumur jagung. Namun Agus memastikan semua persyaratan sudah dipenuhi.
"Begini, mengenai persyaratan tadi saya sudah serahkan terhadap SC (Steering Committee) yang menilai semua persyaratan dan hal ini telah saya penuhi persyaratan itu kan," klaim Agus.
Sebelumnya lewat keterangan tertulis, Ketua Bidang Hukum DPP PPP dari kubu kepengurusan Mardiono, Andi Surya Wijaya, menegaskan bahwa pelantikan Agus Suparmanto sebagai ketua umum adalah ilegal dan tak sesuai dengan AD/ART partai.
Menurutnya, salah satu yang mendasari alasan pelantikan Agus Suparmanto ilegal karena jumlah peserta yang tidak sesuai dengan kuorum. Andi juga menyinggung Agus yang tidak jelas secara jejak rekam kepengurusan di PPP.
Dia mengklaim hanya Mardiono yang memenuhi syarat menjadi ketua umum karena pernah menjadi pengurus harian DPP atau menjabat minimal satu periode di struktur DPP.
"Dan kemudian memang tidak ada lagi calon lain, ya dianggap kemudian itu aklamasi pada saat sidang awal di buka itu,” ungkap Andi.
Digoyang Dualisme Berkepanjangan
Lahirnya dualisme kepemimpinan dalam kepengurusan PPP periode 2025-2030, seakan mengulang penyakit lama yang berkepanjangan di tubuh parpol ini. Selama satu dekade terakhir misalnya, kasus dualisme pucuk pimpinan terus menggerogoti partai yang menyematkan kata 'persatuan' dalam namanya ini.
Jelang Pilpres 2014 silam, timbul konflik internal PPP antara kubu pimpinan Suryadharma Ali dan kubu Romahurmuziy. Kala itu Suryadharma menjabat Ketua Umum PPP sementara Romy sebagai Sekretaris Jenderal PPP.
Namun, kubu Romy mendepak Suryadharma karena menjadi tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama pada September 2014.
PPP kemudian mengukuhkan Emron Pangkapi sebagai ketua umum dalam rapimnas 15 September 2014 di Jakarta. Namun, Suryadharma menolak pemberhentiannya dan memecat sejumlah pengurus. Termasuk, Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa, Lukman Hakim Saifuddin, dan Romy.

Kubu Romy terus tancap gas, Muktamar lantas digelar kubu di Surabaya yang akhirnya menetapkan dirinya sebagai Ketua Umum PPP baru pada Oktober 2014.
Namun, kubu Romy juga langsung digoyang oleh kubu Djan Faridz yang sebelumnya memang merupakan 'orang' Suryadharma Ali. Djan melangsungkan muktamar tandingan di Jakarta dan langsung mengklaim terpilih sebagai Ketua Umum PPP secara aklamasi untuk menggeser Romy.
Setelah terjadi rangkaian sidang gugatan di pengadilan, pada 2016 pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM memastikan kepengurusan DPP PPP yang sah adalah hasil muktamar 2011 yang menetapkan Suryadharma Ali sebagai Ketua dan Romy sebagai sekjen.
Akhirnya, kubu Romy dan Djan Faridz sepakat islah dengan melangsungkan muktamar bersama pada April 2016. Namun sebetulnya konflik kedua kubu terus berlangsung. Konflik internal baru reda setelah Djan Faridz masuk kepengurusan DPP PPP pada 2021.
Setelah kepengurusan Romy berakhir 2019, giliran Suharso Monoarfa yang naik ke kursi pimpinan PPP. Namun pada 2022, Suharso diberhentikan karena polemik 'amplop Kiai'.
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Serang, Banten, Senin (5/9/2022) lantas menunjuk anggota Muhammad Mardiono sebagai Pelaksana tugas Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Monoarfa.
Masalah Dualisme Rugikan PPP
Kini, dengan kembali terjadinya keretakan di tubuh PPP, tentu menjadi modal awal yang buruk bagi partai senior ini untuk bisa kembali menembus kursi DPR RI. Alih-alih membangun dan membenahi kekuatan parpol untuk Pemilu 2029 mendatang, dualisme kepemimpinan ini berpotensi memeras energi dan fokus kader serta semakin mengikis kepercayaan konstituen PPP.
Analis sosio-politik Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, memandang dualisme yang terjadi di internal PPP saat ini sebenarnya sudah bisa ditebak. Sejak PPP gagal lolos ke Senayan untuk pertama kalinya dalam sejarah partai, terjadi gelombang besar untuk menuntut Mardiono diganti sebagai Ketua Umum.
Mardiono dinilai tidak memiliki kapasitas untuk memimpin partai sebesar PPP. Romahurmuziy, kata Musfi, juga tidak mendukung Mardiono.
"Itu sebenarnya merupakan sinyal kalau internal PPP ingin Mardiono tidak lagi menjabat Ketua Umum," kata Musfi kepada wartawan Tirto, Senin (29/9).
Sebagai salah satu partai tertua, PPP memiliki sejarah sangat panjang. Di Orde Baru, PPP menjadi satu dari tiga partai yang diakui pemerintahan Presiden Soeharto.
Dengan sejarah sebesar itu, tak heran PPP menjadi partai yang tetap menarik diperebutkan. Namun masalahnya, kata Musfi, manajemen partai Ka'bah itu dalam sedekade terakhir mengalami penurunan, terutama dalam menentukan posisi parpol ketika Pilpres.
"Sebagai partai Islam tertua, pilihan mereka di pilpres justru bertolak belakang dengan akar rumputnya," ujar Musfi.

Sedangkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, memandang penyelesaian dualisme PPP sebaiknya didorong lewat mahkamah partai sesuai regulasi.
Sayangnya, kata dia, sering kali putusan mahkamah partai kerap diabaikan dan bahkan pihak yang saling klaim justru berebut SK Kemenkum lewat jalur hukum.
"Pastinya ini bakal berkepanjangan kalo sudah masuk ranah hukum," terang Adi kepada wartawan Tirto, Senin (29/9).
Publik sebetulnya menyayangkan dualisme PPP kembali terjadi. Dalam kondisi saat ini, kata Adi, seharusnya PPP lebih solid dan bersatu mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2029 untuk lolos ke parlemen.
Konflik internal berdampak pada raihan elektoral PPP yang terus anjlok dalam ajang pemilu pasca-reformasi. Dualisme dan keretakan hanya akan semakin merugikan PPP sebagai salah satu parpol yang pernah berjaya.
"Harus ada upaya islah kedua belah pihak sebelum konfliknya ke jalur hukum yang bisa berkepanjaan. Misalnya muktamar islah, siapapun yang menang harus diterima lapang dada," ucap Adi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































