tirto.id - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mencopot Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dengan Pelaksana Tugas Ketua Umum Muhamad Mardiono dalam Musyawarah Kerja Nasional yang digelar pada 4-5 September lalu. Keputusan ini adalah ujung dari pernyataan kontroversial Suharso tentang “amplop kiai” pada Agustus lalu.
Peristiwa ini menambah panjang daftar masalah yang pernah dilakukan orang-orang yang pernah menjabat ketua umum partai berlogo ka’bah ini. Kasus-kasus ini juga pada akhirnya menyebabkan kemunduran partai.
Sebelum Suharso, ada nama Suryadharma Ali dan Muhammad Romahurmuziy. Hanya saja kasusnya berbeda. Dua ketua sebelumnya terjerat masalah pidana, sedangkan Suharso terpeleset lidah.
Suryadharma terbukti bersalah karena korupsi haji 2010-2013. Selain itu, sebagai menteri agama di periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ia juga dianggap menyelewengkan Rp1,8 miliar dana operasional menteri (DOM). Suryadharma juga dianggap tak kooperatif dalam persidangan karena memberi pernyataan berbelit-belit. Hal memberatkan lain adalah Suryadharma berstatus pemimpin partai Islam yang seharusnya memberikan teladan.
Suryadharma divonis enam tahun penjara dan denda Rp300 juta untuk subsider 3 bulan kurungan pada 2016 lalu. Ia juga harus membayar ganti rugi ke negara sebanyak Rp1,82 miliar.
Upaya banding dan Peninjauan Kembali (PK) gagal. Suryadharma tetap ditahan bahkan ditambah masa kurungannya menjadi 10 tahun.
Sepeninggal Suryadharma, tampuk kekuasaan PPP berpindah ke Romahurmuziy alias Romy. Romy harus diganti di tengah jalan, lagi-lagi karena korupsi.
Romy ditangkap KPK karena menerima suap Rp255 juta dari mantan Kepala Kantor Wilayah Agama Jawa Timur Haris Hasanudin dan dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik M Muafaq Wirahadi sebesar Rp91,4 juta. Ia juga terbukti melakukan intervensi langsung maupun tidak terhadap proses pengangkatan Haris dan Muafaq. Posisi Romy waktu itu adalah anggota DPR Komisi VIII--yang wilayah kerjanya meliputi Kementerian Agama.
Romy dihukum dua tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Namun hukuman Romy berkurang pada 2020 setelah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. KPK telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tapi ditolak pada 2021. Alhasil, Romy tetap menghirup udara bebas sejak 2020.
Jalan Terjal PPP
Sejak awal berdiri, PPP bisa dikatakan tidak berada dalam situasi yang ideal. Konteks sosial politik saat itu membuat partai sulit berkembang.
Di era Sukarno, kelompok Islam pernah merasa terhimpit karena rezim membubarkan Masyumi. Ketika Orde Baru berdiri, mereka awalnya berharap partai Islam bisa bangkit. Namun kenyataannya tidak semudah itu.
Soeharto ternyata membatasi kekuatan partai-partai, termasuk partai Islam, lewat proyek penyederhanaan. PPP berasal dari proyek ini. Mereka terbentuk dari penyatuan yang dipaksakan berbagai partai Islam, dari mulai Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 5 Januari 1973.
Intervensi tak berhenti sampai proses pembentukan. Asas partai pun diatur dari luar, dari yang awalnya Islam menjadi Pancasila pada 1984.
“Akibat tekanan politik pemerintah Orde Baru, PPP menanggalkan asas Islam-nya menggunakan asas Pancasila, serta mengganti gambar ka’bah dengan bintang segi lima,” catat Munawir Ariffin dalam Sejarah Konflik Partai Persatuan Pembangunan di Masa Orde Baru (2019).
Konflik di internal PPP ramai terjadi menjelang pemilu 1970-an dan di awal 1980-an. Menurut Munawir, pemicunya adalah persaingan antara unsur NU yang mewakili kelompok tradisionalis dengan Masyumi sebagai representasi modernis.
“Kedua unsur sama-sama ingin mengembangkan pengaruhnya dalam partai dan memperoleh semaksimal mungkin jabatan-jabatan strategis dan khususnya memperoleh lebih banyak kursi di parlemen.”
Meski massa NU paling banyak, tapi Parmusi-lah yang berhasil merebut kursi pimpinan. Pimpinan PPP waktu itu adalah Mohammad Syafa'at Mintaredja yang juga mantan Ketua Umum Parmusi.
Konflik antar kedua kelompok ini makin kacau pada 1982. Pada tahun tersebut, kelompok NU di parlemen melakukan walkout menolak pengesahan RUU Pemilu. Sedangkan kelompok lain seperti Serikat Islam (SI), Muslimin Indonesia (MI), dan Perti tidak keberatan.
Saat itu NU tidak puas dengan kepemimpinan PPP yang dipegang oleh Djaelani Naro. Ia dianggap akomodatif pada kepentingan-kepentingan Orde Baru dan kelompok Islam lain di luar NU.
Selain masalah pergantian daftar caleg sementara pada Pemilu 1982, NU juga kecewa terhadap keputusan PPP yang mendepak kaum nahdiyin dari bangku DPR menjelang Pemilu 1987.
Di antara waktu tersebut, pada 1984, NU menyelenggarakan muktamar di Situbondo, Jawa Timur. Hasilnya adalah mereka memutuskan kembali ke khitah 1926, yaitu berperan sebagai organisasi sosial-keagamaan. Mereka pun secara resmi keluar dari PPP meski tetap memperbolehkan anggotanya aktif di partai.
Konflik-konflik internal dan tekanan Orde Baru ini akhirnya menjadi penghalang PPP punya dampak besar dalam politik. Munawir mencatat: “Seiring dengan berjalannya waktu, peran PPP di kancah perpolitikan nasional cenderung kurang signifikan dan tampak semata sebagai unsur pelengkap.”
Tapi toh PPP mampu bertahan di era Orde Baru dan bahkan menjadi partai nomor tiga terbesar dalam pemilu pertama setelah Soeharto tumbang, Pemilu 1999. Ketika itu ada 17 partai Islam yang turut serta.
Namun PPP bukan dipilih berdasar figur, asas, atau tujuannya melainkan, salah satunya, faktor historis dan pengalaman.
Peneliti Saiful Mujani mengatakan PPP selamat karena sosialisasi yang sudah lebih dulu sehingga merekalah partai Islam paling dikenal saat itu. Seorang warga mengatakan memilih PPP karena alasan sederhana, bahwa sebelumnya memang mencoblos partai tersebut.
Konflik internal yang terjadi di era Orde Baru kembali berulang di zaman Reformasi.
Letusan besar berikutnya terjadi pada 2014. Ketika itu terjadi dualisme kepemimpinan antara kubu Djan Faridz--yang satu kubu dengan Suryadharma--dan Romy. Hal ini berdampak ke banyak hal. Dalam salah satu rapat paripurna, misalnya, anggota PPP kubu Romy sempat membanting meja karena tidak puas dengan pembacaan susunan anggota komisi dan alat kelengkapan dewan.
Dampak lain yang mungkin paling terasa adalah perolehan suara yang melorot. Konflik internal merusak citra partai itu sendiri.
Dalam Pemilu 1977, perolehan kursi PPP di DPR yang sebelumnya 27,12% merosot menjadi 19,29%. Lima tahun berikutnya, setelah NU menyatakan keluar, angkanya makin anjlok menjadi 15,97%. Dalam 10 tahun berikutnya, baru suara PPP naik lagi, berturut-turut jadi 17% (1992) dan 22,43% (1997).
Perolehan suara juga merosot saat terjadi konflik dualisme di era Reformasi. Di tahun 2014, PPP mendapat suara 6,53%, tapi lima tahun berikutnya hanya 4,52%--kendati sudah merapat ke pasangan capres pemenang Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Pada Agustus 2022, lembaga survei Poltracking memperkirakan PPP hanya akan mendapat suara nasional sebesar 3,1%. Jika analisis ini menjadi kenyataan, maka bukan tidak mungkin PPP akan keluar dari parlemen setelah hampir lima dekade bercokol di DPR.
Perkiraan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga sama. Mereka menyebut PPP, bersama PAN, terancam tak lolos ke parlemen dalam pemilu berikutnya.
Sebenarnya konflik internal sebagai penyebab tergerusnya suara partai tak hanya dialami PPP. Partai Demokrat misalnya. Salah satu dugaan penurunan suara mereka pada Pemilu 2014 adalah karena konflik antara Anas Urbaningrum dan SBY pada 2012 lalu. Partai lain adalah PKB. Suara mereka pada Pemilu 2009 hanya 4,94 persen, padahal sebelumnya mencapai 10,56 persen. Hal ini terjadi setelah terjadi konflik antara Muhaimin Iskandar dan Gus Dur.
Partai Hanura bahkan tak lagi menghuni Senayan setelah mampu mengirim kader pada Pemilu 2009 dan 2014. Konflik di partai ini melibatkan Oesman Sapta Odang (OSO) dan Wiranto.
Maka, pertanyaannya, apakah PPP akan mengalami nasib serupa?
Editor: Rio Apinino