tirto.id - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan surat edaran nomor 1035/E/KM/2020, Jumat (9/10/2020), yang salah satu poinnya adalah mengimbau mahasiswa tidak berunjuk rasa menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dengan alasan “membahayakan keselamatan dan kesehatan.” Ini tertulis dalam poin keempat dari total tujuh poin.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Nizam mengatakan untuk memperkuat imbauan ini mereka meminta “para orang tua/wali mahasiswa untuk turut menjaga putra/putrinya agar melakukan pembelajaran dari tempat tinggal masing-masing.”
Pada poin ke-5, Kemdikbud juga meminta kampus membuat kajian akademis yang objektif, dan hasilnya “disampaikan kepada Pemerintah maupun DPR melalui mekanisme yang ada dengan cara-cara yang santun.” Ini penting karena menurut Nizam kepada reporter Tirto, Sabtu (10/10/2020), “kampus harus jadi garda intelektual pencari kebenaran.”
Ia juga mengatakan “jangan sampai adik-adik mahasiswa jadi korban hoaks. Mahasiswa harus tetap kritis dengan kajian akademis sebagai intelektual muda yang peduli bangsa.”
Sementara poin ke-6 menginstruksikan kepada para dosen agar “tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti/mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi.”
Kampus Merdeka?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan sikap Kemdikbud ini bertolak belakang dengan semangat ‘merdeka belajar: kampus merdeka’ yang mereka gagas sendiri. “Katanya kampus merdeka, demo saja dilarang. Lalu merdekanya di mana?” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Senin (12/10/2020).
Demonstrasi mahasiswa menentang UU Ciptaker muncul di mana-mana, dan mencapai puncaknya pada Kamis 8 Oktober 2020. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI)--terdiri dari BEM-BEM kampus negeri--memperkirakan 20 kampus terlibat, dengan jumlah demonstran diperkirakan mencapai 5.000.
Ini belum termasuk mahasiswa yang tidak terlibat dalam ‘payung’ BEM SI--misalnya yang berasal dari organisasi ekstra kampus atau yang tidak punya organisasi sama sekali--dan mahasiswa di luar Jakarta.
Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian mengatakan demonstrasi hari itu tujuannya untuk menekan Presiden Joko Widodo “mengeluarkan perppu” menggantikan UU Ciptaker, yang disahkan pada 5 Oktober.
Kabar terakhir dari Istana, Jokowi tidak berniat mengeluarkan perppu yang diminta. Istana lebih memilih meminta publik melakukan uji materi saja jika tidak sepakat terhadap UU Ciptaker.
Menurut Ubaid, jika kampus merdeka tak sekadar jargon atau slogan yang hanya menguntungkan pemerintah, mahasiswa semestinya diberikan ruang untuk berpikir kritis, termasuk merespons masalah yang dibuat oleh penyelenggara negara, “bukan malah dikebiri dan diborgol gerakannya.”
Ia juga menyinggung Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) atau prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dirumuskan oleh Serikat Pengajar HAM dan Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 2017. Menurutnya, surat imbauan itu bertentangan dengan prinsip tersebut, terutama prinsip nomor 4: Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan.
Imbauan ini juga bertolak belakang dengan prinsip nomor 5: Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
Kritik serupa disampaikan oleh Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Menurutnya sikap Kemdikbud membikin jargon kampus merdeka menjadi ‘kosong’ sebab itu sama saja membatasi nalar kritis mahasiswa. Semestinya yang dilakukan Kemdikbud sebaliknya; karena itu mampu menghasilkan generasi pemikir yang tidak berjarak dengan realitas.
“Mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas,” ujarnya.
Atas dasar itu menurutnya “Kemdikbud tak usah alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap UU Ciptaker ini.”
Ia menyinggung dosen karena faktanya yang menentang peraturan ini juga berasal dari kalangan pengajar di perguruan tinggi. Aliansi Akademisi salah satunya. Perwakilan Aliansi Akademisi yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta Abdil Mughis Mudhoffir mengatakan aliansi justru mendorong seluruh sivitas perguruan tinggi untuk mengkritisi UU Ciptaker serta mendesak perguruan tinggi mendukung demonstrasi.
“Perguruan tinggi yang bertanggung jawab pada tegaknya kebenaran seharusnya menjadi institusi yang berdiri paling depan menentang segala bentuk kesewenang-wenangan penguasa, bukan sebaliknya,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin.
Fokus yang dia sorot terkait imbauan agar dosen tidak memprovokasi mahasiswa terlibat dalam unjuk rasa menolak UU Ciptaker. Menurutnya imbauan itu sama saja merendahkan mahasiswa, seakan-akan mereka tidak dapat berpikir dan bergerak atas dasar kesadaran sendiri.
Ia juga mempersoalkan imbauan tidak ikut serta menyebarkan hoaks. Menurutnya keliru menyebut segala informasi merugikan terkait UU Ciptaker itu tidak benar karena faktanya dokumen final UU tersebut masih belum jelas. Bagaimana mungkin menyebut satu informasi hoaks jika naskah yang semestinya dijadikan rujukan utama saja tidak ada.
Bahkan Forum Rektor Indonesia meminta pemerintah membuka salinan resmi UU Ciptaker kepada publik. Mereka menilai ini penting sebagai “pedoman dalam memberikan pendampingan atau melayani konsultasi.”
Meski sudah disahkan pada 5 Oktober dan setelahnya beredar naskah Ciptaker setebal 905 halaman, nyatanya dokumen tersebut belum rampung. Sekjen DPR Indra Iskandar, 12 Oktober lalu, mendaku masih merampungkan UU Ciptaker final setebal 1.035 halaman.
“Hal ini menunjukkan bahwa justru pemerintahlah yang menyebarkan disinformasi dan hoaks mengenai UU Cipta Kerja,” ujar Abdil.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino