tirto.id - Ucapan Insya Allah tentu sudah tidak asing bagi umat muslim, kata ini pun sering diucapkan para pesohor dunia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), insya Allah tulisan bakunya adalah insyaallah yang artinya ungkapan yang digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yang belum dipenuhi (maknanya ‘jika Allah mengizinkan’)
Meski demikian, masih banyak yang bertanya, penulisan yang benar dari insyaallah, yakni “insya Allah” atau “in sha Allah”?
Dalam bahasa Arab, penulisan yang benar adalah:
إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Yang artinya “jika Allah menghendaki” atau “jika Allah berkehendak”
Huruf ش dalam bahasa Indonesia biasa ditulis dan dibaca dengan “sy”, jadi untuk membacanya adalah Insya Allah.
Sementara huruf ش dalam bahasa Inggris biasa ditulis dengan “sh”, sehingga membacanya inshaa Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, memang terdapat perbedaan penulisan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Hal ini pula yang membuat perbedaan mengapa إن شاء الله ditulis dengan “insya Allah” dan “in shaa Allah”.
Untuk kedua penulisan ini, jika maksud dan bunyinya adalah إن شاء الله, maka dia benar.
Namun umumnya dalam bahasa Indonesia ditulis “insya Allah” atau "insyaallah" (sesuai KKBI) sebagaimana kita biasa menulis “salat isya” bukan “salat isha”.
Dikutip laman NU Online, mengucapkan kata insyaallah sesungguhnya bersumber dari perintah Al-Qur’an.
Firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi ayat 23-24:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا . إِلّا أَنْ يَشَاءَ الله
Artinya: “Dan janganlah engkau mengatakan tentang sesuatu, ‘Aku akan melakukannya besok.’ Kecuali jika Allah menghendaki atau mengucapkan insyaallah.”
Ayat ini mengandung pendidikan bagi pengucapnya tentang pentingnya rendah hati. Tidak terlalu mengandalkan kemampuan pribadi karena ada kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya.
Kapan Perlu Mengucapkan Insya Allah?
Mengucapkan insyaallah juga bentuk keinsafan bahwa di balik segala peristiwa ada Sang Penentu.
Tak selalu apa yang kita inginkan terwujud. Seluruhnya bersifat tidak pasti, dan justru karena itulah manusia dituntut berikhtiar.
Kata “insya Allah” merupakan wujud pengakuan atas kelemahan diri di hadapan Allah sembari bekerja keras karena proses yang ditempuhnya belum menemukan kepastian hasil.
Perkataan ‘insyaallah’ pada asalnya digunakan untuk perbuatan yang akan dilakukan di masa mendatang.
Seperti perkataan Nabi Ismail alaihi salam yang terdapat dalam surah berikut ini:
سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Engkau akan mendapati aku, insyaallah, sebagai orang yang sabar” (QS. Ash Shaffat: 102).
Kemudian Itban bin Malik radhiallahu’anhu berkata:
ووَدِدْتُ يا رَسولَ اللَّهِ، أنَّكَ تَأْتِينِي فَتُصَلِّيَ في بَيْتِي، فأتَّخِذَهُ مُصَلًّى، قالَ: فَقالَ له رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: سَأَفْعَلُ إنْ شَاءَ اللَّهُ
“Wahai Rasulullah, Aku berharap anda dapat mendatangi rumahku, lalu anda mengerjakan shalat di sana, kemudian akan aku jadikan tempat tersebut nantinya sebagai ruangan shalat di rumahku”. Dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku akan lakukan itu insyaallah” (HR. Bukhari no.425).
Mengucapkan insyaallah untuk perbuatan yang akan dilakukan di masa mendatang, hukumnya sunah tidak wajib seperti yang tertuang di surah Al-Kahfi ayat 23-24 di atas.
Selain itu, boleh juga mengucapkan insyaallah untuk amalan yang sudah berlalu dalam rangka tawadhu’ (rendah hati).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
أما في العبادات فلا مانع أن يقول: إن شاء الله صليت، إن شاء الله صمت؛ لأنه لا يدري هل كملها وقبلت منه أم لا
“Adapun dalam masalah ibadah, boleh seseorang mengatakan: “Saya sudah shalat, insyaallah”. Atau mengatakan: “Saya sudah puasa, insyaallah”. Karena ia tidak tahu apakah sudah melakukan ibadah tersebut secara sempurna atau tidak, dan tidak tahu apakah diterima atau tidak”.
أما الشيء الذي لا يحتاج إلى ذكر المشيئة مثل أن يقول: بعت إن شاء الله- فهذا لا يحتاج إلى ذلك
“Adapun dalam perkara-perkara yang tidak perlu untuk menyebutkan kehendak Allah di sana, maka tidak perlu mengucapkan ‘insyaallah’. Seperti mengatakan: “Saya sudah membelinya, insyaallah”. Ini tidak diperlukan” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 5/403-404).
Editor: Addi M Idhom