tirto.id - Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Karyoto bergerak cepat merespons permintaan dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo agar jajaran kepolisian mampu menerima dan merespons cepat aduan dari masyarakat. Pekan lalu dalam Rapat Pimpinan (Rapim) Polri 2025, Sigit meminta Kapolres, Kasatker, serta Kapolda membuat akun media sosial agar dapat merespons secara sigap aduan tanpa menunggu viral.
Merespons permintaan Kapolri, Karyoto memastikan setiap aduan yang masuk lewat media sosial akan segera ditindaklanjuti oleh pihaknya. Kepala Polda Metro Jaya itu menyatakan jangan sampai membuat masyarakat merasa laporan mereka diabaikan hanya karena tidak ada respons. Karyoto menilai langkah ini merupakan upaya untuk membangun kepercayaan publik.
“Dalam rangka meningkatkan pelayanan, seluruh jajaran kepolisian di wilayah Polda Metro Jaya, mulai dari tingkat polda hingga polsek, kini memiliki akun media sosial resmi yang dapat digunakan masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau aduan,” kata Karyoto lewat keterangan yang diterima Tirto, Selasa (4/2/2025).
Polda Metro juga akan melakukan evaluasi rutin melalui analisa dan evaluasi (Anev) yang dilakukan oleh setiap Kasat di jajaran Polda Metro Jaya. Karyoto memastikan Polda Metro Jaya mulai mengimplementasikan langkah nyata untuk memperkuat respons cepat terhadap aduan masyarakat.
“Evaluasi tersebut untuk memastikan tidak ada kasus yang terabaikan dalam proses penyelidikan atau penyidikan," tambah jenderal bintang dua itu.
Lambatnya polisi merespons aduan masyarakat memang terus menjadi sorotan. Penegakan hukum terkesan loyo jika suatu kasus belum menjadi pembicaraan heboh di media sosial. Tak mengherankan, tagar maupun sindiran no viral, no justice, sering disematkan terhadap kinerja jajaran Polri. Kritik publik ini bahkan sampai pada titik merosotnya kepercayaan pada Korps Bhayangkara, ditandai dengan kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi di medsos.
Maka, upaya merespons persoalan kinerja Polri dalam memproses pengaduan masyarakat seharusnya tidak cukup hanya dengan membuat akun-akun medsos baru. Persoalan utama krisis kepercayaan publik terhadap kepolisian tidak berasal dari minimnya kanal komunikasi. Melainkan kegagalan sistemik dalam menjalankan tugas secara profesional, transparan, dan berintegritas. Media sosial mungkin saja bisa menjadi alat untuk merespons aduan dengan cepat, tetapi ia bukan jaminan bahwa keadilan akan ditegakkan secara cepat dan konsisten.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan jelas sekali akar masalah rendahnya kepercayaan publik terhadap Polri terletak dari respons dan kinerja polisi yang tak sesuai mandat Undang-Undang Polri. Terjadi hari ini, justru polisi kerap melayani masyarakat dengan tidak baik dan cenderung pilah-pilih.
“Laporan lambat, disuruh bayar, arogansi, dan lainnya. Memang yang seharusnya dibenahi ya akar masalahnya, yakni budaya kekerasan dan arogansi di tubuh kepolisian,” ucap Isnur kepada wartawan Tirto, Selasa (4/2/2025).
Isnur mencontohkan, teranyar malah terjadi kasus anggota polisi yang memeras mahasiswa di Semarang karena dituding berduaan di dalam mobil. Dua mahasiswa tersebut dipalak duit senilai Rp2,5 juta agar tidak diproses hukum. Kejadian ini, kata Isnur, semakin mempertebal persepsi Polri sebagai instansi yang korup.
Untuk kembali memupuk kepercayaan publik, seharusnya Kapolri Sigit melakukan rombak besar-besaran menghilangkan budaya korupsi dan pemerasan. Kemunculan tagar sindiran ‘no viral, no justice’ atau #PercumaLaporPolisi menandakan ketidakefektifan kinerja polisi dalam menjalankan tugas dan fungsi sehari-hari di markas sendiri.
Isnur menilai, membuat akun-akun medsos baru hanya berupa gimik dan semakin membuat alur aduan masyarakat berbasis viral. Ia memperhatikan, justru saat ini banyak akun yang melakukan counter-critic terhadap masyarakat yang mengkritik performa Polri di medsos.
Perintah Kapolri dikhawatirkan justru semakin membuat akun-akun demikian semakin tidak terkendali. Isnur justru mendorong adanya pencegahan dari Kapolri dengan bentuk perintah agar semua anggotanya dilarang melakukan pengancaman di media sosial ataupun secara langsung kepada orang-orang yang kritis.
“Kapolri harusnya membuat kanal-kanal dumas yang efektif dan banyak, bukan berbasiskan viral. Kita takut sosmed ini malah membuat mekanisme no viral no justice semakin besar,” ucap Isnur.
Sementara itu, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI, Chairul Anam, melihat perintah Kapolri Sigit kepada jajarannya sebagai langkah positif. Dalam kacamata Anam, langkah membuat akun medsos bakal membantu efektivitas kanal-kanal aduan masyarakat (dumas) yang sudah eksis.
Anam percaya bahwa upaya membuat akun medsos baru akan memperkuat program Saling Sapa yang sudah ada di kepolisian. Hal ini akan membuat jajaran kepolisian di tingkat Polda dan Polres memperkuat akuntabilitas mereka di hadapan masyarakat.
Polisi, kata dia, memang harus mempercepat langkah penindakan atas komplain dan aduan yang diterima dari masyarakat. Medsos dipercaya Anam, menjadi medium yang tepat untuk menjembatani aduan masyarakat agar diterima lebih gesit oleh jajaran kepolisian.
Maka, medsos bukan saja berguna bagi masyarakat sebagai penerima layanan, tetapi amat dibutuhkan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas kepolisian. Lewat medsos, Anam yakin masyarakat bisa lebih terbuka mengawasi dan memperhatikan program yang tengah dilakukan polisi di sekitar daerah mereka tinggal.
“Jadi dumas itu tetap harus berlaku secara formal karena untuk memastikan pengaduan itu kredibel. Sementara sosmed melengkapi responsivitas dan kecepatan,” kata Anam, kepada Tirto, Selasa.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, memperhatikan perintah dari Kapolri agar anak buahnya terjun ke medsos bukan sekali ini terjadi. Dalam catatan IPW, ia menjelaskan, sedikitnya ada dalam lima kesempatan berbeda Sigit memerintahkan hal ini. Sebelumnya Kapolri menyampaikan pesan serupa jelang momen Pilpres 2024.
Sugeng melihat arahan itu sebagai upaya merespons cepat kasus-kasus viral. Maka ketika ada satu kasus viral yang diabaikan kepolisian, publik bisa mendesak akun medsos satuan kerja untuk segera direspons.
“Ini jadi hanya salah satu cara saja saya lihat cara untuk merespons agar cepat,” kata Sugeng kepada wartawan Tirto, Selasa.
Namun, Sugeng sepakat bahwa langkah ini tidak membenahi persoalan mengakar di tubuh Polri. Sebab yang dibutuhkan adalah memperkuat profesionalisme anggota Polri dari jajaran bawah sampai tingkat Mabes. Keluhan, kritik, hingga laporan masyarakat harus ditangani secara profesional, proporsional, dan berkeadilan.
Dengan begitu, bila ada tindakan-tindakan dari anggota polisi dikomplain dan memiliki dasar kritik jelas, mesti ada efek jera bagi anggota tersebut. Sugeng menyarankan agar upaya itu dilakukan lewat penindakan secara internal. Baik mencopot jabatan, diproses kode etik, dan memproses secara pidana jika memang terdapat delik yang mendukung.
Kasus-kasus menjadi viral sebab saluran formal pelaporan masyarakat menjadi buntu. Atau bahkan, polisi mengabaikan perkara yang diadukan oleh publik. Terburuk, polisi justru ikut memihak pihak terlapor dan mengkriminalisasi masyarakat yang mengadukan.
“Jadi yang diperlukan adalah satu bentuk pengawasan melekat dan pembinaan oleh atasan langsung, serta penindakan oleh internal jika ada pelanggaran,” tegas Sugeng.
Pengabaian Berujung Fatal
Abainya polisi memproses kasus atau laporan publik yang masuk tidak jarang berujung fatal. Misalnya kasus bos rental Ilyas Abdurrahman (48) yang meregang nyawa karena ditembak di Kilometer 45 Jalan Tol Jakarta-Merak.
Anaknya mengadu ke Polsek Cinangka meminta pendampingan terkait penggelapan kendaraan pada Kamis (2/1/2025), namun ditolak. Polisi beralasan bahwa anak korban tak membawa legalitas mobil yang digelapkan. Padahal, saat itu laporan masuk ketika ancaman todongan senjata dari salah satu pelaku sudah dialami.
Kasus lainnya ketika Dwi Ayu Darmawati menjadi korban penganiayaan anak bos tempat ia bekerja. Dwi dianiaya George Sugama Halim, anak dari pengusaha toko roti yang berada di Cakung, Jakarta Timur. Dwi dianiaya pada Oktober 2024 akibat menolak mengantarkan makanan ke kamar George.
Akibatnya, George melemparinya barang dan membuat kepala Dwi terluka. Sayangnya, kasus ini baru ditangani kepolisian saat video kejadian itu tersebar viral di medsos. Sebelumnya, Dwi terus diping-pong polisi dari satu polsek ke polsek lain.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, memandang, kebijakan Kapolri yang meminta jajarannya membuat medsos sebagai kanal aduan berpotensi tumpang tindih dengan kanal aduan atas nama satker atau satwil masing-masing. Perlu diketahui bahwa masing-masing Satwil (Mabes, Polda, Polres) terdapat Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang mengurusi layanan publik, termasuk layanan Pengaduan Masyarakat.
Menurut Andrie, sebaiknya fungsi SPKT ditingkatkan dan dimaksimalkan dengan dorongan dari para Kepala satwil. Sebab, sering kali kanal aduan formal SPKT tidak menyelesaikan laporan/pengaduan masyarakat. Alih-alih diterima dan ditindaklanjuti, polisi malah menolak aduan masyarakat.
Mengacu dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan tegas dinyatakan bahwa Polri bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dan terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Lebih lanjut, dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP menyatakan: “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.”
Dengan begitu, warga negara berhak melayangkan laporan atau pengaduan masyarakat dan mesti ditindaklanjuti Polri sebagai bentuk tanggung jawab kelembagaan. Akan aneh, apabila Polri menunggu suatu kasus viral dulu. Dan itu dapat dilihat sebagai bentuk tidak patuh mandat perundang-undangan.
“Sebab sebagaimana UU Polri bahwa warga negara berhak atas penikmatan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan,” tegas Andrie kepada wartawan Tirto.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengungkap bahwa kanal aduan yang dibentuk Polri sudah sangat banyak. Ada 110 sedikitnya kanal berbentuk aplikasi atau akun media sosial resmi. Maka problem yang dikeluhkan publik bukan membuat akun atau aplikasi pengaduan tetapi bagaimana tanggap dalam memproses laporan masyarakat.
Perintah Kapolri malah seakan mengkonfirmasi bahwa pengaduan formal polisi tidak efektif. Sementara aduan publik secara non formal melalui medsos juga tidak berfungsi baik.
“Anggaran besar bagi Divhumas bukan dikelola sebagai sebuah layanan, tetapi sebagai upaya pencitraan. Belum lagi anggaran ratusan miliar untuk komunikasi yang dikelola vendor swasta ternyata tak memberi dampak pada perbaikan layanan,” ucap Bambang kepada wartawan Tirto, Selasa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz